Minggu, 30 Juni 2013

FILSAFAT HUKUM



PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

Memang sulit menemukan suatu definisi tentang hukum yang disetujui semua ahli hukum. Kiranya itulah sesuatu mustahil. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mengetahui tentang arti hukum. Hukum itu bukan lagi sesuatu yang mistik seperti pada zaman purbakala, melainkan sesuatu yang rasional yang dijangkau oleh tiap – tiap orang yang hidup dalam masyarakat secara sadar. Karenanya semua orang bicara tentang hukum, dan mengerti tentang apa mereka berbicara.
Kesulitan timbul, bila orang ingin mengerti tentang hukum secara lebih mendalam. Ternyata arti hukum begitu kompleks sehingga macam – macam teori yang berbeda – beda masih dapat dianut samapai abad XX ini.[1]
Bila kita menghadap hukum, pertama – tama kita insyaf bahwa hukum harus dikaitkan dengan kehidupan sosial : ‘’hukum adalah pertama – tama penataan hidup sosial’’.[2] Perumusan ini masih sangat abstrak, akan tetapi justru karenanya meliputi macam – macam bentuk hukum. Bila hukum ditanggapi lebih kongkret, pengertiannya berbeda – beda. Hal ini paling tampak, bisa kita membandingkan pengertian hukum pada zaman primitif. Penataan hidup bersama primitif, yang diselidiki dalam antropologi hukum, berlainan dengan penataan hidup bersama kita. Namun sewajarnya hukum primitif disebut hukum juga.[3]
Namun dengan membatasi makna hukum yang hakiki pada undang – undang Negara, pengertian dasar yang abstrak tentang hukum tidak hilang. Peraturan – peraturan yang mengatur kehidupan orang – orang dalam masyarkat, baik masyarakat besar, seperti Negara, maupun masyarakat kecil, seperti perkumpulan dan lembaga swasta, sewajarnya kedua – keduanya disebut hukum.[4]
Bila kita mengikuti pandangan modern ini yang kiranya sulit untuk ditantang maka :
1.      Bidang yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur Negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu Negara.
2.      Hukum mengandung arti kemajukan, sebab terdapat beberapa bidang hukum disamping Negara, walaupun bidang – bidang itu tidak mempunyai hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari Negara dan yang dikukuhkan oleh Negara. Hukum – hukum lain tetap dapat disebut hukum, tetapi mereka tidak mempunyai arti yuridis yang sesungguhnya.

Bahwa hukum adalah pertama – tama tata hukum Negara, paling nampak dalam aliran positivisme, pada khususnya pada John Austin (analytical legal positivism). Austin bertolak dari kenyataan bahwa terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintah – perintah, dan bahwa ada orang yang pada umumnya metaati perintah – perintah tersebut. Tidak penting mengapa orang mentaati perintah – perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati sebab merasa berwajib memeperhatikan kepentingan umum, ada yang mentaati sebab takut  akan kekacauan, ada yang mentaati sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi.
Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur – unsur yang berikut : seorang penguasa (souvereighnity), suatu perintah (command), kewajiban untuk mentaati (duty), sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction). Dengan demikian Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala hukum dengan perintah seorang yang berkuasa. Definisi Austin tentang hukum berbunyi, hukum adalah tiap – tiap undang – undang positif yang ditentukan secara langsung atau tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota – anggota suatu masyarakat politik yang berdaulat, dimana yang membentuk adalah yang tertinggi.[5]
Indonesia sebagai negara hukum menganur system hukum Civil Law (Eropa Continental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Oleh karena dalam System Civil Law salah satu karakteristiknya adalah mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber hukum, maka dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia juga mengutamakan peraturan tertulis (Undang-undang) sebagai hukum. Akibatnya sesuai dengan ajaran Legisme, muara penegakan hukum terutama putusan pengadilan masih bersifat formal legalisme, yang dikejar adalah keadilan formal sesuai UU. Dan dalam prakteknya produk hukum yang bersifat formal legalistic itu sering tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan, sering menghadapi kenyataan bahwa ternyata hukum tertulis (Undang-undang) tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Bahkan seringkali atas inisiatif sendiri hakim harus menemukan hukumnya (rechtsvinding) dan atau menciptakan hukum (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada. Karena sesuai UU kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau hukumnya masih samar.
Disinilah letak pentingnya penemuan hukum oleh  Hakim, untuk mengisi kekosongan hukum sehingga tercipta putusan Pengadilan yang baik yang dapat digunakan sebagai sumber pembaharuan hukum atau perkembangan ilmu hukum. Permasalahannya adalah bagaimana seharusnya seorang Hakim berfikir dalam rangka penemuan hukum agar dapat menghasilkan putusan yang berkualitas dalam setiap menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Tentunya Hakim sebagai lembaga pengadil dalam setiap putusannya harus senantiasa mengisi kekosongan hukum melalui proses berfikir tidak hanya berdasarkan Ilmu hukum dan berbagai ilmu-ilmu bantuannya tetai juga melibatkan Filsafat hukum dan teori hukum. Hakim dalam memutus sengketa tidak boleh hanya membaca teks-teks formal UU secara normatif melainkan harus mampu merenungkan hal-hal yang melatarbelakangi ketentuan tertulis secara filsafat dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu. Disinilah pentingnya seorang Hakim harus menghayati dan mendalami filsafat hukum dalam setiap langkahnya menemukan hukum.


Peranan Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum Yang Diberikan Wewenang Oleh Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman  Dalam Telaah Filsafat Hukum

Hakim merupakan salah satu catur wangsa dalam sistem penegakan hukum, yang mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa dan memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu seorang Hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para pencari keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat diputus oleh Hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum) tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice (keadilan masyarakat).
Begitu pentingnya peran Hakim dalam penegakan hukum, sehingga dalam Hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (ius curia novit) yang akan menentukan hitam putihnya hukum melalui putusannya. Namun dalam prakteknya penegakan hukum sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam dalam perundang-undangan. Atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas, karena memang tidak ada satu hukum atau UU mengatur yang selengkap-lengkapnya mengingat masyarakat yang diatur oleh hukum senantiasa berubah (dinamis).
Oleh karena itu kekurangan atau ketidaklengkapan aturan hukum atau Undang-undang harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dan subyek yang memiliki wewenang dalam menegakan hukum cq.menemukan hukum itu adalah Hakim.
Pada hakekatnya semua perkara yang harus diselesaikan oleh Hakim di Pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan putusan yang ideal, yang mengandung aspek juridis(kepastian), filosofis (keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis).
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh Hakim melalui penemuan hukum itu termasuk obyek pokok dari telaah filsafat hukum. Disamping masalah lainnya seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan hukum dan berlakunya hukum.[6]
Sedangkan menurut Lili Rasyidi, obyek pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan hukum melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam masyarakat dan memerlukan pemecahan. Masalah itu antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat(socialengineering).[7]
Sedangkan menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol dalam telaah filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum alam serta prinsip etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan masyarakat, pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi manusia.[8]
Dengan demikian dalam menjalankan tugasnya memeriksa dan memutus perkara terutama dalam menemukan hukum dan nilai-nilai keadilan, seorang Hakim dituntut selain menguasai teori ilmu hukumnya juga harus menguasai filsafat hukum. Namun tidak mudah bagi seorang Hakim untuk membuat putusan yang idealnya harus memenuhi unsur filsafat seperti Keadilan (filosofis), kepastian hukum(juridis) dan kemanfaatan(sosiologis) sekaligus. Oleh karena itulah diperlukan keberanian Hakim melalui diskresi/kewenangan yang dimilikinya untuk dapat menemukan hukumnya (rechtsfinding) berdasarkan pendekatan yang lebih komprehensif dan integral melalui analisis filsafat.
Sebagai praktisi yang menekuni dunia hukum, seorang Hakim dapat memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui putusannya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat hukum yang bercorak tidak semata-mata logis-rasional-intelektual tetapi sekaligus ethis, intuitif dan bahkan divinatoris, yakni mempertaruhkan dan melibatkan panca indera bathin/sensus interior yang khusuk tinarbuka dan siap menerima hidayah, inayah Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap permasalahan yang harus dihadapi Hakim dalam proses menemukan hukum.
Karya dan proses pemikiran dan penggarapan atas suatu masalah hukum konkrit dengan menggunakan suatu atau pelbagai metode interpretasi hingga sampai kepada kesimpulan dan keputusan itulah merupakan pokok pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding) dari pelbagai kepustakaan.[9] Sedangkan hakekat tugas dan fungsi Hakim adalah melakukan penemuan hukum dengan hasil keputusan hati nurani terhadap perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Suyono membedakan definisi penemuan hukum dalam arti umum dan dalam arti khusus sebagai berikut.[10]
Definisi yang umum penemuan hukum, adalah keseluruhan proses berpikir dari seorang juris, yang dengan menggunakan suatu metode interpretasi menghantarkan dan membawanya kepada suatu putusan hukum atau pengembangan dan pertumbuhan hukum.
Definisi yang khusus, penemuan hukum adalah proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani.
Dan karya itu bersifat intelektual, rasional, logis, intuitif dan ethis Idealnya setiap pelaku penemuan hukum, khususnya Hakim harus mampu ber ”triwikrama”, yaitu yang secara fundamental proporsional memahami dan menguasai Trilogi Dunia hukum yang meliputi faktisitas normativitas dan idealitas hukum in abstracto dan in concreto setiap kali menghadapi perkara untuk diperiksa dan diadili. Dengan demikian fungsi
Hakim dalam triwikrama adalah :
1. Hakim sebagai corong yang menyuarakan Undang-undang.
2. Hakim sebagai penterjemah dan penyambung lidah Undang-undang.
3. Hakim sebagai manusia susila yang berpikir dan menimbang demi dan   menurut keadilan.
(bandingkan dengan ajaran G.J.WIARDA tentang tipologi penemuan hukum dalam bukunya ”drie typen van rechtsvinding”.

Dalam praktek ternyata masih banyak Hakim yang masuk dalam golongan pertama yaitu yang berpendirian segala sesuatu tentang hukum sudah termuat dalam Undang-undang sehingga cukup menerapkannya secara sillogisme dan berasumsi akan diperoleh putusan yang benar atas suatu kasus yang dihadapi. Masih sedikit diantara Hakim-hakim kita yang mampu secara mandiri berkarya sebagai penerjemah dan penyambung lidah Undang-undang.Apalagi mampu berpikir sebagai manusia berbudi dalam menimbang dan berfikir secara adil dan bijaksana.
Sesungguhnya secara filsafati konsepsi tersebut masing-masing adalah identik dengan cita/tujuan dari hukum yang tidak lain adalah keadilan yang komponennya terdiri dari kepastian hukum, kegunaan menurut tujuan dan keadilan dalam arti sempit. Sebagaimana dikemukakan Prof.Dr.H.Muchsin, SH. Bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban.[11]
Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan ” rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan).[12]
Sedangkan Soejono K.S mendefinisikan Keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan.[13]
Penegakan hukum oleh Hakim pada hakekatnya adalah pelaksanaan atau pengamalan hukum yang menurut Soejono K.S. termasuk obyek telaah filsafat hukum. Dalam melaksanakan tugas menerapkan hukum yang dilandasi dengan penafsiran hukum secara filsafati itulah dinamakan Hakim telah melakukan penemuan hukum. Jadi penemuan hukum itu adalah salah satu wujud dari penegakan hukum oleh Hakim.
Menurut Paul Scholten, penemuan hukum itu senantiasa merupakan karya yang bersifat intelektuil sekaligus intuitif susila. Sedangkan menurut Esser, penemuan hukum tidaklah pernah semata-mata pekerjaan subsumsi. Lebih fundamentil penemuan hukum sebagai hasil/resultante cq. Putusan hakim sebagai ”gewetensbeslissing” (putusan hati nurani) menurut konsepsi Scholten.[14]
Seperti telah dikemukakan dimuka bahwa tujuan peradilan tidak dapat lain kecuali pemulihan hak secara adil. Dan untuk mencapai keadilan itu hakekat tugas dan fungsi dari Hakim adalah melakukan penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Dan untuk memperoleh sebuah putusan pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang bersifat intelektual rasional, rasional logis, intuitif dan ethis serta divinatoris. Metode pendekatan tersebut oleh Soejono K.S disebutnya sebagai "METODE ONTOLOGIS”.[15]
Aspek intelektual rasional, maksudnya Hakim sebagai subyek penemuan hukum seharusnya mengenal dan memahami fakta/kenyataan kejadiannya dan peraturan hukumnya yang berlaku yang akan diterapkan sesuai ilmunya. Intelektual logis, artinya dalam penerapan aturan hokum normatif terhadap kasus posisi yang dihadapi, seharusnya mengindahkan hukum logika baik yang formil maupun yang materiil. Sedangkan aspek Intuitif, mendambakan perasaan halus murni yang mendampingi ratio dan logika sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan yang pada akhirnya senantiasa diujikan dan dibimbing oleh hati nurani, sehingga mengejawantahkan keadilan yang bersifat universal.
Aspek terakhir itulah yang memberikan watak irasionil pada penemuan hukum. Aspek itu pula yang menterjemahkan aspek ethis sehingga mampu menerima hidayah dan inayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang menurut Soejono yang memberikan corak divinatoris. Karena penemuan hukum yang semata-mata hanya mengandalkan intuisi dan rasa hukum belaka terlalu rawan dan gawat emosionil dalam menghadapi kekerasan dan kepahitan kenyataan kehidupan. Karena rasa hukum itu sendiri bukanlah fungsi dari jiwa manusia yang mampu melepaskan diri dari pelbagai motif irrasionil yang dapat mempengaruhi subyek penemu hukum (hakim) dalam mengambil keputusan.
Penemuan hukum melalui putusan peradilan dengan menggunakan metode Ontologis itu secara struktural dan fungsional akan mampu mewujudkan hasil karya putusan yang memenuhi syarat fundamental dari suatu putusan ideal yakni adil, dan gesetzkonform atau systeem consistent yaitu sesuai sistem hukum yang berlaku dinegara yang bersangkutan, baik peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Proses penemuan hukum itu sendiri terdiri dari 2 bagian yaitu : Pertama fase heuristik/pencarian (context of discovery) yaitu proses pencarian mengenai fakta-fakta yang juridis relevant dan pasal-pasal UU atau peraturan hukum yang bersangkut paut dengan mengesampingkan subyektifitas/kesan pribadi maupun bisikan hati atau ilham. Dan kedua fase legitimasi (context of justification) yang merupakan konstruksi pembenaran juridis kemudian setelah diperoleh kesan pribadi yang membentuk pra putusan.
Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti atau error juris) pada fase heuristik. Namun pada fase legitimasi, khususnya yang didahului oleh kesan pribadi yang lalu membentuk pra putusan yang diperoleh secara intuitif segera setelah konfrontasi dengan kasus/perkara yang bersangkutan kemungkinan akan menjadi amat subyektif.
Sedangkan putusan hakim hendaknya bersifat rasional, dapat dipertanggungjawabkan (dapat dikontrol/ditelusur/dilacak/dianalisa lagi dan9 dipahami) perihal segi adilnya dan serasi pada sistem hukumnya, terutama akseptabel/dapat diterima oleh para pencari keadilan (justitiabelen) dan dapat benar-benar dipahami pula oleh masyarakat yang merupakan auditorium yang dirangkum oleh kultur hukumnya.[16]
Hakim yang besar menurut Soejono, adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati nuraninya yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum serta mengandung penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Kendala yang timbul dalam penegakan hukum cq. Penemuan hukum oleh Hakim bisa bersifat obyektif dan subyektif atau bahkan kedua-duanya. Pada pihak obyeknya yakni masalah/perkara yang diperiksa dan ditangani Hakim adalah penuh kerumitan/seluk beluk dan tidak sederhana (complicated). Sedangkan dari segi subyektif yakni adanya kekeliruan dari pengambil keputusan (hakim) atau tidak proporsional metodologinya dan atau semrawut arbitrer psikologinya. Menurut Josep Esser, metodologi ilmiah akademis tidak selamanya dapat memberikan bantuan maupun pengawasan bagi pekerjaan hakim. Yang menonjol justru aspek psikologinya, walaupun diperlukan dasar penjelasan dan pertanggungjawaban rechtstheoretisnya bagi penemuan hukum.[17]
Dari segi psikologis proses terbentuknya putusan tergantung pada temperamen dan kepribadian hakim yang bersangkutan. Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti atau error juris) pada fase heuristik. Kekeringan ilmu pengetahuan dan ketandusan pengalaman dari Hakim sehingga menggunakan metodologi yang timpang, besar kemungkinan akan menghasilkan suatu putusan yang error facti dan error iuris pada fase ini. Kendala pada fase legitimasi, berupa kosntruks pembenaran segera setelah penelaahan singkat atas kasus perkara secara intuitif diperoleh pra putusan yang berwujud pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kebenaran semu, yang seringkali dodorong oleh faktor subyektif.
Kendala lain yang bercorak rechtstheoretis fundamental adalah mengenai hukum perihal konsepsi dan persepsi dalam rangka pengamalan hukum. Karenanya yang diperlukan adalah cara berpikir yuridis filosofis untuk bisa mengkaji bersama masalah penegakan hukum dan keadilan sekaligus menggalakan dan mengamalkannya.
Untuk mengatasi berbagai kendala dalam menjalankan tugas menemukan hukum, maka seorang Hakim haruslah memahami dan menguasai filosofi dalam metode penemuan hukum secara ontologis sebagaimana telah diuraikan dimuka dan menghayatinya dengan cara selalu tekun dan ajeg samadhi (sembahyang dan berdoa) atau meditasi dan kontemplasi (tafakur) serta membiasakan tidak mementingkan diri sendiri. Juga dengan menjalankan ajaran leluhur tentang sifat-sifat yang utama sebagaimana dalam Hasta Sila yaitu : 1.Heling, 2. pracaya/piyandel, 3. mituhu (senantiasa ingat dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, 4. rela/ikhlas, 5. Narimo (tidak rakus, loba, tamak serta iri dengki terhadap orang lain), 6. jujur, 7.sabar, 8. berbudi luhur.[18]
Seorang filosof Islam yang bernama Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi, juga pernah mengajarkan ajaran moral yang hampir mirip dengan hasta sila, yaitu ia mengajarkan agar hidup ini jangan terlalu zuhud tetapi jangan pula terlalu tamak. Yang baik adalah yang moderat, segala sesuatu itu hendaknya menurut kebutuhan.[19]
Dilingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang membawahi Hakim-hakim di seluruh Indonesia juga telah mengeluarkan semacam pedoman perilaku bagi Hakim yang harus ditaati oleh setiap Hakim. Pedoman itu tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung No: KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. Dalam pedoman perilaku tersebut terdapat 10 sifat utama yang harus diikuti oleh Hakim sebagai pemtus perkara dan subyek penemu hukum. Tiga diantaranya mirip dalam Hasta Sila yaitu berperilaku jujur, arif dan bijaksana, rendah hati disamping sifat lainnya yaitu berperilaku adil, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjungjung tnggi harga diri,berdisiplin tinggi dan profesional.
Sikap dan perilaku Hakim yang harus adil dan arif bijaksana seperti diatur dalam pedoman perilaku itu tentunya tidak bisa dilepaskan dari moto dan lambang dari jabatan Hakim yaitu ”Cakra”, yang merupakan senjata pamungkas Batara Kresna yang diambil dari kisah pewayangan (budaya jawa).
Dimana Kresna adalah titisan Dewa Wisnu yang berarti dewa keadilan dan kebijaksanaan. Jadi filosofi yang terkandung dalam lambang jabatan Hakim adalah sangat tinggi dan mulia yaitu seorang Hakim diharapkan memiliki sifat- sifat seperti Dewa Wisnu yaitu adil dan bijaksana dalam setiap mengambil keputusan.
Sebagai penutup tulisan ini tidak salahnya, penulis mengutip salah satu falsafah leluhur kita Ki Ronggowarsito dalam SERAT SABDA JATI yaitu dengan maksud tidak lain untuk menyelamatkan diri dan tugas agar berhasil mencapai tujuan kemaslahatan bersama. Maka setiap negarawan terutama pelaksana penegak hukum khususnya Hakim wajib mengamalkan amanat berikut ini[20]:
”Aywa pegat ngudiya ronging budyayu Marganing suka basuki Dimen luwar kang kinayun Kalis ing panggawe sisip Ingkang taberi prihatos” Yang maknanya adalah : jangan berhenti/jemu mengejar dan menghayati budi luhur nan damai, jalan kearah bahagia-gembira-selamat, agar kabul-tercapai yang dikehendaki, jauh bebas dari tingkah laku nan keliru, dan hendaklah tekun teguh ber prihatin

PENUTUP

A.     Kesimpulan
Penemuan hukum adalah suatu proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani. Dan karya itu hendaknya mampu mewujudkan putusan ideal yakni adil, sesuai hukum yang berlaku baik peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Untuk mencapai keadilan itu hakekat tugas dan fungsi dari Hakim adalah melakukan penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Dan untuk memperoleh sebuah putusan pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang proporsional yaitu tidak hanya bersifat intelektual rasional, tetapi juga rasional logis, intuitif dan ethis serta divinatoris.
Metode pendekatan tersebut dinamakan sebagai "METODE ONTOLOGIS”. Hakim yang besar adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati nuraninya yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum serta mengandung penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Untuk itu seorang Hakim wajib menghayati falsafah tentang sifat-sifat utama seorang Penemu hukum yang baik sebagaimana termuat dalam Hasta sila, lambang cakra maupun Pedoman perilaku Hakim.

B.     Saran
Seyogyanya seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum harus mempertimbangkan beberapa aspek baik yuridis maupun sosiologis. Aspek yuridis merupakan suatu hal yang dapat menciptakan kepastian hukum, sedangkan aspek sosiologis suatu hal yang menciptakan keadilan substansial apabila dalam suatu kasus di mana tidak ada peraturan yang mengatur maka seorang hakim wajib melakukan cara seperti ini, dan ini dikuatkan oleh Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman di mana dalam hal ini seorang hakim di berikan wewenang untuk melakukan penemuan hukum. Dan selanjutnya hakim tidak terlepas dari acuan landasan filsafat hukum dalam melakukan penemuan hukum dengan demikian seorang hakim yang melakukan penemuan hukum dengan melandasakan filsafat hukum tidak akan terjadi suatu kekeliruan dan peradilan yang sesat, yang bertujuan tercapainya tiga instrumen dasar hukum yang harus di capai yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam menciptakan penegakan hukum yang baik atau yang di idam – idamkan oleh setiap warga negara Indonesia, maka hakim mempunyai peranan penting di dalam terciptanya hal tersebut khususnya di dalam sistem peradilan yang ada di negara kita, dan dengan adanya Komisi Yudisial sebagai institusi di bidang pengawasan hakim maka seorang hakim di pantau dalam setiap melakukan tugas dan tanggung jawabnya di dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Lily Rasyidi, “DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM”, penerbit Alumni Bandung, 1982,
Muchsin, Prof.Dr., SH., “Sebuah Ikhtisar PIAGAM MADINAH, FILSAFAT TIMUR, FILOSOF ISLAM DAN PEMIKIRANNYA”, penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 2004.
Muchsin, Prof.Dr.,SH., “NILAI-NILAI KEADILAN ”, bahan kuliah filsafat hukum.
Soeyono Koesoemo Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, “ Dengan semangat Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”,
Soeyono Koesoemo Sisworo(2),“BEBERAPA PEMIKIRAN tentang FILSAFAT HUKUM”, penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Theo Huijbers OSC, “FILSAFAT HUKUM dalam lintasan sejarah”, penerbit yayasan Kanisius, Yogjakarta, 1982,
                                  , Filsafat Huku, Pustaka Filsafat, Kansius, Yogyakarta 1995.


[1]      Terkenal adalah perkataan I.Kant, yang diucapkan dua abad yang lampau : Noch suchen die Juristen eine Defenition zu ihrem Begriffe vom Recht (para yuris masih mencari suatu definisi bagi pengertian mereka tentang hukum). Apakah sama sekali mustahil membuat suatu definisi tentang hukum, yakni suatu perumusan yang pendek dan substansial tentang makna hukum? L.J. Van Apeldoorn menulis : tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum, yang sungguh – sungguh dapat memadai kenyataan. (Pengantar, halaman 13). Karenanya penulis ini hanya memberikan sesuatu definisi yang sangat umum sebagai pegangan bagi para pelajar di bidang hukum. Namun menurut pendapat penulis lebih tepat mengatakan, bahwa tidak mustahil membuat suatu definisi tentang hukum, hanya mustahil membuat suatu definisi yang memuaskan segala pihak. Maksud penulis menerangkan gagasan ini dalam tulisan ilmiah ini.
[2]    O. Notohamidjojo, Soal – soal. Halaman.15.
     Suatu definisi yang sedikit lebih terperinci dikemukakan oleh C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, halaman 38; hukum ini adalah himpunan peraturan – peraturan (perintah – perintah dan larangan – larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. (E.Utrecht).
[3]   Para ahli antropologi menekankan hal ini. Umpamanya Leopold Pospisil menulis, bahwa memang tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat yang tidak memiliki peraturan – peraturan yang abstrak, dianggap sebagai masyarakat tanpa hukum (halaman.97). Menurut Pospisil ‘’pengawasan sosial merupakan unsur inti dari hukum ‘’ (halaman.92). Lagipula : ‘’ciri mendasar dari fenomena yang termasuk dalam kategori konseptual ini, adalah bahwa gejala itu haruslah merupakan pengawasan sosial yang melembaga ‘’(halaman.99).
[4]    Menurut kebanyakan sarjana terdapat hukum juga dalam masyarakat non-negara, yakni lembaga – lembaga swasta. Ditulis oleh O. Notohamidjojo: suatu lembaga memiliki otonomi dalam lingkungannya sendiri, tetapi terbatas. (Makna Negara Hukum, halaman.49).
[5]    ‘’Every positive law...is set directly or circuitously, by a souvereighn individual or body, to a member or members of the independent political society wherein its author is supreme’’. Kesimpulan yang di ambil oleh Friedman memang tepat : dengan definisi ini Austin menggantikan ideal keadilan (dalam pengertian hukum yang tradisional) dengan perintah seorang yang berkuasa. (Legal Theory, halaman. 211-213).
       [6] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, “ Dengan semangat Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”, hal. 9. Lihat juga karya Soeyono K.S yang lain berupa kumpulan tulisan beliau dalam “Beberapa pemikiran tentang filsafat Hukum, penerbit Universitas Diponegoro Semarang, hal.97.
      [7] Lily Rasyidi, “DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM”, penerbit Alumni Bandung, 1982, hal.10.
   [8] Dr. Theo Huijbers OSC, “ FILSAFAT HUKUM dalam lintasan sejarah”, penerbit yayasan Kanisius, Yogjakarta, 1982, hal.273.
       [9] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.13
    [10] Soeyono Koesoemo Sisworo,(2) “ BEBERAPA PEMIKIRAN tentang FILSAFAT HUKUM” penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Hal: 57.
       [11] Prof.Dr.H.Muchsin,SH.,dalam “NILAI-NILAI KEADILAN”
       [12] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.8.
       [13] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.55.
       [14] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.14
       [15] Suyono Koesoemo Sisworo (2), opcit, hal.28-29.
       [16] Suyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.15
       [17] Suyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.17
       [18] Suyono Koesoemo Sisworo (2), opcit, hal.53-54.
      [19] Prof.Dr.Muchsin, SH., “Sebuah Ikhtisar PIAGAM MADINAH, FILSAFAT TIMUR, FILOSOF ISLAM DAN PEMIKIRANNYA”, penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 2004, hal.30.
       [20] Suyono Koesoemo Sisworo (2), opcit, hal.88.

FILSAFAT HUKUM



‘’PENGGARAPAN HUKUM TEORITIS, ILMU HUKUM, TEORI HUKUM, DAN FILSAFAT HUKUM SEBUAH TELAAH’’.

Hukum muncul dalam pengalaman tiap – tiap orang. Menurut pengalaman itu hukum pertama kali muncul sebagai kaidah – kaidah yang mengatur hidup bersama. [1]Kaidah – kaidah itu ada yang berbentuk perintah dan larangan, yakni kaidah – kaidah imperatif; ada juga yang berbentuk disposisi (membuka peluang, mengizinkan, menjanji), yakni kaidah – kaidah fakultatif. Kaidah – kaidah itu ada yang tertulis, ada yang tidak tertulis, ini merupakan kaidah hukum objektif.
Berkaitan dengan kaidah – kaidah tersebut hukum menyatakan diri juga sebagai hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang ada pada orang – orang yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu, ini merupakan kaidah hukum subjektif.
Terdapat kaidah – kaidah hukum dalam kelompok – kelompok kecil, yang tujuannya terbatas, umpamanya peraturan – peraturan klub – klub olah raga, universitas, serikat buruh dan sebagainya. Terdapat kaidah – kaidah hukum juga (dan inilah paling tampak) dalam masyarakat besar, yakni negara, yang mempunyai tujuan hukum untuk mengatur hidup bersama secara keseluruhan.
Kaidah – kaidah hukum berbeda dengan kaidah – kaidah moral dan sopan santun.
Kaidah moral tidak mengatur hidup secara hukum, umpamanya kaidah yang memerintahkan untuk bicara jujur, bersikap baik hati dan sebagaianya. Kaidah – kaidah itu biasanya disampaikan kepada kita melalui agama (agama mengandung norma – norma bagi hidup keagamaan sendiri juga, umpamanya tentang puasa, yang tidak dapat disampaikan dengan kaidah hukum).
Kaidah – kaidah sopan santun mengatur kehidupan bersama sebagai bagian suatu kebudayaan, namun tidak mengaturnya secara hukum umpamanya peraturan bagi upacar – upacara perkawinan, adat istiadat pada kelahiran anak – anak dan sebagainya.
Perlu kita insyaf juga bahwa hukum mungkin dimengerti dalam arti lain, yakni untuk menunjukan suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita – cita orang tentang hidup bersama. Arti hukum ini kiranya timbul pada orang yang merasa diperlakukan secara tidak adil, sehingga muncullah perselisihan tentang tanah, jabatan, pajak, dan sebagainya. Bila orang menuntut hukum di depan pengadilan, mereka sebenarnya menuntut keadilan, lain tidak (pengadilan memang untuk keadilan). Disini jelas bahwa harus dibedakan antara hukum riil (undang – undang dan peraturan lainnya) dan hukum idiil (keadilan).[2]
Timbulnya hukum sebagai peraturan bagi hidup bersama sudah ditemukan pada bangsa – bangsa yang hidup pada zaman purbakala, entah berdasarkan suatu perjanjian bersama entah berdasarkan kehendak seorang yang berwibawa. Hukum itu kemudian disebut hukum rakyat, hukum kebiasaan atau hukum adat.
Pada zaman kuno dalam negara – negara dengan kebudayaan tinggi sudah ada juga daftar – daftar peraturan negara. Dianatara kebudayaan tinggi itu perlu disebut kebudayaan Mesir (arsitektur piramida). Yang paling terkenal di antara perundang – undangan kuno adalah tata hukum Hammurabi dari Babilonia (abad ke-18 sebelum Masehi) dan tata hukum Nabi Musa dari Israel (abad ke -13 sebelum Masehi). Pada zaman kuno itu hukum lebih – lebih dipandang sebagai kebijaksanaan para penguasa. Tetapi sudah sejak zaman Romawi hukum dikerjakan secara lebih sistematis oleh ahli – ahli hukum, sehingga menjadi undang – undang negara.

1.      Ilmu Hkum
Pada suatu ketika orang – orang mempelajari hukum secara lebih metodis dan sistematis. Inilah awal mula ilmu hukum. Berpikir secara metodis berarti menggunakan metodis berarti menggunakan metode yang tepat, sesuai dengan objek yang dipikirkan. Berpikir secara sistematis berarti memisahkan dan menggabungkan pengertian – pengertian, sesuai dengan tempat pengertian – pengertian tersebut dalam suatu sistem rasional. Maka keilmuan berpikir nyata dalam kedua sifat berpikir tersebut, yakni metodis dan sistematis.
Sebenarnya sejak awal mulanya studi hukum menghasilkan dua jenis ilmu hukum yang cukup berbeda. Ilmu yang pertama tinggal dalam rangka suatu sistem tata hukum tertentu, umpamanya ilmu hukum Romawi dan ilmu hukum Indonesia. Ilmu – ilmu hukum itu (unpamanya Romawi dan Indonesia) memang berbeda.
Ilmu hukum yang kedua tidak mengenai suatu tata hukum tertentu, yang hukum ini atau hukum itu, akan tetapi mengenai hukum sebagai hukum.[3]
Menurut pandangan tradisional, ilmu hukum dogmatik adalah ilmu hukum in optima (dalam bentuknya yang optimal). Ia dapat juga kita namakan “Dogmatika Hukum” dengan istilah ini mencakup semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkret. Sifat dogmatikalnya itu terletak dalam hal bahwa orang sungguh – sungguh membatasi diri pada satu sistem hukum spesifik. Orang membatasi diri pada kaidah – kaidah hukum positif tertentu, dan menutup diri terhadap sistem – sistem hukum yang lain. Sememntara itu orang menemukan dalam kepustakaan berbagai pendekatan yang berbeda dari dogmatika hukum.
 Hal itu banyak tergantung pada bagaimana orang memandang sifat khas dari hukum positif itu. Jadi ilmu hukum dogmatik juga memiliki dimensi politik praktikal (F. Mueller, Juristische Methodik, 1976; H. Ryffel, Rechts Und Staatsphilosophie, 1969). Ilmu hukum dogmatik itu memiliki suatu karakter sendiri, ia adalah sebuah ilmu “sui generis”, yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang mana pun. Ia memiliki berbagai ciri, kita dapat mengemukakan dan menjelaskan ciri – ciri tersebut sebagai berikut:
a.       Ilmu hukum memiliki suatu sifat empirik analitikal.
b.      Ilmu hukum mensistemasi gejala – gejala hukum dipaparkan dan dianalisis.
c.       Ilmu hukum menginterpretasi hukum yang berlaku.
d.      Ilmu hukum itu menilai hukum yang berlaku.
e.       Arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik

Ilmu hukum dogmatik itu sangat diragukan (dipersoalkan) oleh para penganut dari suatu teori hukum empirik. Mereka berpendapat bahwa ilmu hukum, dalam berbagai bentuknya harus diemban sebagai suatu ilmu empirik.
Sekarang kita terlebih dahulu akan memberikan secara singkat suatu karakteristik umum dari ilmu hukum empirik. Ilmu hukum empirik membedakan secara tajam antara fakta – fakta dan norma – norma, antara keputusan – keputusan yang memaparkan dan yan normatif, gejala – gejala hukum dipandang sebagai gejala – gejala empirikal yang murni. Mereka adalah fakta – fakta kemasyarakatan yang dapat di amati secara indrawi.

2.      Teori hukum
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern “teater” yang berarti “pertunjukan” atau “tontonan”. Soetandyo Wignjosoebrot menjelaskan, bahwa selalu saja timbul perdebatan yang sangat sengit apabila membicarakan mengenai makna realitas. Tidak hanya menyangkut persoalan ontologis saja, yaitu tatkala orang bersoal jawab tentang ikhwal hakekat kebenaran asli, sejati dan yang dikatakan pula bersifat mutlak tersebut.
Ada kajian filosofis di dalam teori hukum sebagaiamana dikatakan Radburch bahwa, tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai – nilai oleh postulat – postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Sehingga akan nampak kesulitan untuk membedakannya dengan kajian yang disebut filsafat hukum, karena teori hukum juga akan mempermasalahkan hal sebagai berikut, mengapa hukum berlaku ? apa dasar kekuatan mengikatnya ? apa yang menjadi tujuan hukum ? bagaimana seharusnya hukum itu dipahami ? apa hubungannya dengan individu dan masyarakat ? apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum ? apa keadilan itu, bagaimana hukum hukum itu yang adil ?. Teori hukum, tentu tidak dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya  dan senantiasa berkembang karena teori hukum biasanya muncul sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat suatu pikiran yang dominan pada suatu saat. Oleh karena itu meskipun teori hukum senantiasa mengajukan pemikiran secara universal, tetapi sangat bijaksana apabila memahami kondisi yang disebutkan di atas.
Plato, Aristoteles, Cicero adalah beberapa pemikir terkemuka pada zaman itu disamping pemikir lainnya. Teori yang dibangun oleh kaum positivis, utilitarian yang muncul bersamaan dengan modernisasi dibidang hukum, muncul pula pemikiran kontemporer yang diwakili oleh aliran kritis dan posmodernis yang saat ini tengah digandrung banyak kalangan. Gambaran pertama membawa kita kepada pandangan bahwa teori hukum bersifat deterministik, reduksionis, dan realistik.
Selain istilah teori hukum, cabang ilmu hukum ini dikenal juga dengan sebutan pelajaran hukum umum, ilmu hukum sistematis atau illmu hukum dogmatis. Teori hukum mempelajari tentang pengertian – pengertian pokok dan sistematika hukum. Pengertian – pengertian pokok itu seperti misalnya subjek hukum, perbuatan hukum, objek hukum, peristiwa hukum, badan hukum, dan lain – lian, memiliki pengertian yang bersifat umum dan bersifat teknis. Pengertian – pengertian pokok ini amat penting untuk dapat memahami sistem hukum pada umumnya, maupun sistem hukum positif. Oleh karena itu, teori hukum dipelajari secara intensif mendahului ilmu hukum positif dan dilanjutkan secara lebih mendasar melalui suatu cabang ilmu yang lain yaitu filsafat hukum.[4]

3.      Filsafat hukum
Filsafat hukum yang dibentuk dalam zaman Yunani kuno menjelaskan bahwa aturan masyarakat ada hubungannya dengan aturan alam. Alam ini ditanggapi sebagai suci dan sakaral sebab berkaitan dengan kekuasaan ilahi. Karenanya dalam hati rakyat hiduplah kesadaran bahwa aturan alam harus ditaati. Aturan alam dicerminkan dalam aturan masyarakat, maka aturan ini harus di taati pula. Ketaatan kepada aturan menimbulkan keadilan dalam hidup bersama dan menjamin keamanan dan kebahagian hidup.
Dalam abad pertengahan aturan alam tetap di anggap sebagai norma bagi kehidupan orang, akan tetapi motifnya berubah. Alam tidak dipandang  lagi sebagai sesuatu yang suci, sehingga alas an dari dulu untuk tunduk kepadanya telah hilang.[5]
Filsafat hukum adalah filsafat. Filsafat hukum merefleksi (merenungkan) semua permasalahan fundamental yang berkaitan dengan hukum dan tidak hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat hukum bersikap kritis terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Jadi, filsafat hukum tidak puas dengan kesimpulan – kesimpulan dri teori hukum, karena filsafat hukum mempertanyakan :
-          Apakah hukum itu ?
-          Apakah ilmu itu ?
-          Apakah arti khusus dari : menjelaskan, memahami, mengerti serta beragumentasi?
Bahkan lebih dari itu, filsafat hukum merefleksi pertanyaan – pertanyaan yang bagi teori hukum sama sekali tidak relevan lagi, khususnya persoalan etika. Ternyata, hubungan antara hukum dan etika merupakan masalah yang terpokok dalam filsafat hukum. Ini dikenal sebagai masalah keadilan yang sudah sejak zaman kuno dipermasalahkan oleh sebagian besar dari filsuf.
Baik hukum maupun etika masing – mmasing memberikan kriteria tersendiri bagi penilaian atas perilaku manusia. Dengan begitu, tampak bahwa dari permasalahan ini, diskusi yang sangat lama antara aliran di dalam filsafat hukum. Khususnya antara aliran hukum alam dengan aliran hukum positivisme hukum sampai kini masih tetap actual. Tentang arti dari pengertian – pengertian hukum, etika dan keadilan terdapat perbedaan pandangan yang jauh di antara para filsuf hukum tadi.
Filsafat hukum merupakan refleksi dari kenyataan tentang hukum. Kenyataan hukum ini oleh filsafat hukum dipandang sebagai realisasi dari ide – ide hukum. Dalam hukum positif dapat kita temukan empat kenyataan hukum dalam bentuk aturan hukum, keputusan hukum, figure hukum dan lembaga hukum.
Negara merupakan lembaga hukum yang terpenting sebagai gejala historis dengan ciri – ciri tertentu. Khususnya berkenaan dengan faktor kekuasaan yang dimilikinya. Karenanya, makna praktis dari filsafat hukum saat ini terletak dalam perlunya dikembangkan filsafat baru tentang demokrasi. Filsafat hukum adalah suatu sistem yang di dalamnya semua tema dari hukum dipertutkan satu dengan lainnya.[6]


Perkembangan Hukum Teoritis Di Dalam Penggarapan Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum
Hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, faset, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan abstraksi yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara teoritis yang meliputi tahapan – tahapan rasional, sistematikal, metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendeketan dengan demikian hukum dapat dikatakan sebagai hukum yang teoritis. Dari pengkajian tersebut terbentuklah sebuah disiplin ilmiah yang objeknya adalah hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah tersebut dapat disebut dengan satu istilah, yaitu disiplin teoiritis tentang hukum, atau ilmu hukum atau pengembanan hukum teoritikal (theoretische rechtsbeofening, Meuwissen).
Istilah – istilah tersebut menunjukan pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional, sistematikal, metodikal dan terus menerus) berupaya untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual atas hukum
Berbagai disiplin ilmu tentang hukum dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu disiplin ilmu hukum dan disiplin non hukum atau disiplin ilmu – ilmu lain yang objek telaahnya hukum. Disiplin hukum mempelajari hukum secara teoritis sebagai objeknya dengan menggunakan pendekatan internal, artinya melakukan pengkajian dari dalam ilmu hukum itu sendiri, atau dengan kata lain bertolak dari titik partisipan. Disiplin hukum itu dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.
Sedangkan disiplin non hukum menggunakan pendekatan yang eksternal, yaitu sebagai pengamat yang mempelajari hukum dari luar hukum itu sendiri. Disiplin ini mencakup sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum dan psikologi hukum. Di samping itu, berkembang juga perbandingan hukum dan logika hukum.
Dalam perkembangannya hukum teoritis bahwa hukum itu tidak mersoalkan suatu tatanan hukum terntentu yang kebetulan berlaku di suatu negara. Objeknya di sini adalah hukum sebagai suatu fenomena dalam kehidupan manusia dimanapun di dunia ini dan dari masa kepanpun, artinya hukum disini dilihat sebagai fenomena universal dan dapat dipelajari secara teoritis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ilmu hukum itu mempunyai jangkauan yang sangat luas dan teoritis, meliputi hukum semua bangsa dan negara secara universal. Ilmu hukum itu tidak hanya mempelajari peraturan – peraturan perundang – undangan saja, akan tetapi juga akan membicarakan hukum sebagai suatu gejala dalam masyarakat manusia, dan membahas hal yang bersifat filsafat, seperti membicarakan tentang hakikat dan asal usul hukum yang berkaitan dengan kekuasaan, keadilan, kegunaan dan lain – lain.
Karena ilmu hukum itu berobjekkan hukum yang dipelajari secara teoritis, maka tugas ilmu hukum itu pada dasarnya adalah untuk memantau perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam dunia hukum. Hal ini disebabkan karena hukum selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang terjadi secara alamiah dan teoritis dalam pergaulan hidup manusia.
Filsafat dan teori hukum lazimnya mengajukan dan menjawab pertanyaan abstrak seperti demikian, misalnya apakah arti hukum ? apakah dasar dari peraturan – peraturan hukum ? bagaimana hakim memutus banyak kasus ? apakah pengadilan itu ? bagaimana hubungan dan fenomena sosial seperti lebudayaan, ideologi, aktivitas eknomi dan Negara ? apakah masyarakat yang berbeda jenis mempunyai hukum yang berbeda pula ? mungkinkah terdapat suatu masyarakat tanpa hukum ?. Bagaimanapun pertanyaan – pertanyaan yang di ajukan itu merupakan pertanyaan yang fundamental dan terkait dengan hakekat hukum.
Sulit untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena terdapat  dua alasan yang secara teoritis.
Pertama, hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstruktivis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistik, atau menggunakan bahasa kaum hermenian ‘ditafsirkan’, sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagaimana orang tersebut mengkosntruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.
Kedua, satu pemikiran akan memiliki latar belakang / sudut pandang yang berbeda dengan aliran pemikiran, ini merupkan ragam dari kelemahan dan keunggulan masing – masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasan, karena hukum perkembangannya bersifat teoritis akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hasilnya lebih positif, baik di lihat dari sudut pandang ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.
Dalam menelaah perkembangan hukum teoritis sebagai penggarapan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum, terdapat sebuah jawaban yang bisa saja mengarah kepada pemahaman metafisis, sosial dan bahasa, yang seringkali di kacau balaukan dan di campur adukan. Geking menggunakan istilah “konsep kelompok” untuk kata – kata semacam itu dan Wittfenstein telah menciptakan istilah “persamaan keluarga” untuk pengguna beberapa kata yang mempunyai kemiripan tentang ‘hukum’, yang digunakan dalam permainan bahasa yang berbeda akan mengacu pada beberapa di antara ciri – ciri ini.
Dengan menyetir pendapat salah satu kelompok kehidupan sosial yang dalam berbagai kombinasi disebut ‘hukum’ oleh anggota masyarakat. Teori hukum sistem digunakkan secara bebas terhadap banyak hal dalam kehidupan, alam semesta, masyarakat, termasuk hukum digambarkan dalam bentuk yang jelas – jelas dapat diakui sebagai istilah mekanis dan sistematis, dalam rangka menelaah perkembangan hukum teoritis.
Teori hukum modern seringkali memberikan gambaran, apakah itu praktek hukum, sosiologi hukum sebagai sebuah gambaran yang sistematis, dan para ahli melihat kunci untuk memahami hukum di dalam uraian sistem yang mereka buat.
Teori hukum yang bersifat sistematis dianggap sebagai salah satu keyakinan – keyakinan mereka yang telah berakar dan terorganisir dalam hukum, yaitu suatu yang mengarah kepada sikap yang keras kepala sehingga cenderung untuk menolak dalam melahirkan kreasi – kreasi keyakinan – keyakinan lain.
Teori hukum sama sekali tidak berada pada jalur yang disebut sebagai sistem, pandangan ini menolak bahwa teori hukum harus selalu bersifat sistematis dan teratur secara teoritis. Namun demikian jelas bahwa dikemukakan dua pandangan besar itu tidak lain untuk menjembatani  pemikiran kita selanjutnya dalam membahas teori dalam ilmu hukum.
Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum atau keberadaan hukum. Hakekat hukum meliputi :
1.      Hukum merupakan perintah (teori imperatif)
Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat
Aliran hukum alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang teratas, yaitu :
a.       Lex aeterna (Rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang disamakan hukum abadi).
b.       Lex divina (Rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia).
c.        Lex naturalis (Penjelmaan dari Lex aeterna dan Lex divina).
d.       Lex positive (hukum yang berlaku     merupakan tetesan dari Lex divina        kitab suci
Aliran positivisme hukum     Jhon Austin beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law (undang-undang) dan morality (hukum kebiasan).

2.      Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif)
Mahzab sejarah : Carl von savigny beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”.
·         Hukum tertulis atau hukum positif
Hukum posistif  atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu. Contoh : UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
·         Hukum tidak tertulis
Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait
Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat.
Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka.
Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan “azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law).

3.      Tujuan hukum (teori optatiif)
a.       Keadilan         
Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :
1.      Distributive, yang didasarkan pada prestasi.
2.      Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa.
3.      Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya.
4.      Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif.
5.      Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang.

b.      Kepastian
Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti :
1.      Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
2.      Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.
3.      Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.
4.      Hukum itu bersifat dogmatik

c.       Kegunaan
Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.[7]

      PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ilmu hukum dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari hukum atau ilmu yang pokok bahasannya adalah hukum secara teoritis. Bahkan dalam arti yang luas dikatakan bahwa ilmu hukum itu mengkaji dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum dan dapat di telaah secara teoritis.
Dengan demikian, yang menjadi objek dari ilmu hukum itu adalah hukum itu sendiri adapun ruang lingkup pengkajian ilmu hukum tersebut secara umum adalah sosiologi hukum, yang menyelidiki hubungan hukum dengan masyarakat, sejarah hukum, yang mempelajari perkembangan sejarah hukum, perbandingan hukum, yang mempelajari berbagai sistem hukum yang ada, dan dogmatika hukum atau ilmu hukum positif, yang mempelajari hukum yang berlaku secara sistematis dan teoritis.
Namun teori hukum memperlihatkan suatu konsistensi. Pertama – tama para sarjana yang dalam uriaannya berbeda pandangan bergulat dengan pertanyaan – pertanyaan yang sama, yakni apakah arti hukum, dan manakah dasar hukum, kemudian dalam lintasan filsafat hukum dapat ditemukan garis – garis pikiran yang akhirnya membuka kepada suatu pengertian hukum yang lebih mendalam dan secara teoritis.
Pertanyaan – pertanyaan tentang arti hukum tidak dijawab juga dengan penggunaan prinsip – prinsip logis, bahwa hukum harus di pandang dari segi formalnya sebab segi formal menentukan arti hukum dapat dipelajari secara ilmiah. Isi hukum tidak perlu di indahkan kedalam penyelidikan tentang hukum.

B.     Saran
Seyogyanya Ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum, dalam perkembangan hukum teorits atau sebagai penggarapan ilmu hukum merupakan suatu cara untuk mempelajari hukum di dalam obyek studi ilmu hukum baik secara universal maupun secara bertahap karena sifatnya yang sistematis dan teoritis. Mengharuskan kita sebagai orang – orang yang memahami ilmu hukum harus menggunakan cara tersebut untuk mempelajari dan menelaahnya sehingga kita dapat memahami arti hukum yang sebenarnya secara teoritis dan praktis.
 Dalam hal ini misalnya dalam menjawab suatu persoalan hukum yang mendasar maka yang akan menjawab terlibih dahulu yaitu menggunakan metode ilmu hukum, apabila dengan metode ilmu hukum tidak terjawab maka menggunakan teori hukum, begitupun dalam teori hukum apabila tidak terjawab maka menggunakan filsafat hukum, dengan demikian filsafat hukum menjawab persoalan – persoalan hukum yang tidak terjawab oleh ilmu hukum dan teori hukum, berdasarkan hakekat hukum secara teoritis di dalam penggarapan ilmu hukum.
  
DAFTAR PUSTAKA

A.    Sumber Buku
Bernard Arif Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, (Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum), PT. Refika Aditama 2009.
Darji Darmohardjo dan Shidarta , Pokok – pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004
H.R Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT.Refika Aditama, 2009
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika 2006
Soejono Koesoemo Sisworo, Beberpa Tentan Pemikiran Filsafat Hukum.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, PT. Kansius Yogyakarta 1982.
                                     , Filsafat Hukum, Pustaka Filsafat PT. Kansius Yogyakarta 1995.





       [1] Apakah hukum sungguh – sungguh muncul ? apakah hukum dapat disebut gejala, atau fenomena (dari phainomai = menyatakan diri).
                Dalam karangan “Hukum, bentuk atribut dan penerapannya’’ Pospisil menulis bahwa penggunaan kata gejala dalam hubungan dengan hukum kurang tepat. ‘’Hukum itu bukan gejala, melainkan gagasan, yakni suatu kategori konseptual yang digunakan untuk mengerti gejala – gejala yang muncul’’ (Ihroni, Antropologi dan Hukum, halaman 90-91).
                Namun pandangan ini tidak dapat dipertahankan. Hukum itu memang gejala, sebab tampak bagi manusia berdasarkan pengalamannya. Dalam masyrakat modern hukum tampak terutama dalam kaidah – kaidah yang disusun oleh pemerintah dan yang oleh ditaati oleh rakyat. Memang pengertian kita tentang hukum merupakan hasil suatu kegiatan intelektual dari subjek, akan tetapi kegiatan ini tidak mungkin bila tidak bertolak dari apa yang telah muncul dalam pengalaman.
       [2] Undang – undang Nomor. 14 Tahun 1970, Pasal 4 ayat (1) : peradilan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
       [3] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Pustaka Filsafat Kansius 1995, halaman 15 – 18.
       [4] Lili Rasjidi, Dasar – dasar Filsaffat Dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 2007, halaman 35 s.d 36.
       [5] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, PT. Kansius Yogyakarta 1982, halaman 269.
[6] Loc.Chit¸ Dasar – dasar Filsafat dan Teori Hukum, Halaman 163  s.d 164.
       [7] Lili Rasjidi, Dasar – dasar Filsaffat Dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 2007.