Senin, 04 Maret 2013

Hukum dan Masyarakat


PERBUATAN DI TINJAU DARI KRIMINOLOGI

A.   Perbuatan yang menurut Undang-Undang salah akan tetapi menurut masyarakat belum tentu salah
          Jika di tinjau dari persfektif kriminologis ada beberapa perbuatan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dapat di katakan salah atau melanggar hukum berdasarkan Peraturan Perundang – undangan.
1.     Menurut UU No. 1 tahun 1974;
Pernikahan di usia dini, ( di bawah umur berdasarkan undang-undang N0. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dalam undang-undang tersebut Peria berumur 19 tahun dan awanita 16 tahun, akan tetapi menurut masyarakat adat hal yang biasa saja dan lumrah atau bukan termasuk sebagai kesalahan jika melakukan pernikahan usia dini, karena di Indonesia mengenal adanya hukum adat atau hukum kebiasaan di dalam suatu daerah yang di Indonesia berbeda – beda karena budaya dan kebiasaanya, salah satu contohnya yang di jelaskan di atas perihal perkawinan di dalam suatu daerah yang menjadi suatu kebiasaan walaupun apabila di tinjau secara yuridis hal tersebut melanggar UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
2.     Perda Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ;
Memberikan uang pada pengemis di jalan atau di daerah hukum (yuridiksi) Provinsi DKI Jakarta, menurut undang undang (PERDA) dapat di persalahkan akan tetapi menurut masyarakat dianggap hal yang lumrah di lakukan dan biasa.
3. Memberikan sesuatu hal dalam bentuk apapun kepada Pegawai Negeri (GERATIFIKASI) yang berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi menurut masyarakat belum tentu bersalah atau dikatakan salah.
4.  Berdasarkan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana Pornografi dapat di kualifikasikan warga Negara yang memperlihatkan tubuhnya di muka umum sebagai Tindak Pidana Pornografi, akan tetapi menurut masyarakat belum tentu itu dikatakan salah, seperti masyarakat adat papua yang memakai koteka ke Jakarta atau ke daerah lain yang bukan merupakan adat istiadatnya.
5. Membangun bangunan di pingir-pinggir jalan, yang menurut perundang-undangan itu di katakana salah, belum tentu dapat di katakana salah oleh masyarakat.

B.   Perbuatan yang menurut masyarakat salah akan tetapi menurut Undang - undang belum tentu salah
          Perbuatan yang menurut masyarakat salah belum tentu menurut peraturan Perundang-undangan dapat di katakan salah.
1.  Penerimaan uang dari hasil rapat kerja anggota dewan yang berdasarkan peraturan Perundang - undangan di benarkan karena sudah dialokasikan, akan tetapi menurut masyarakat belum tentu benar, dan dapat di katakan salah.
2.   Pelebelan, mantan nara pidana pada saat pembuatan SKCK (Surat Keterangan Cacat Kriminal),  dapat di katakan salah karena tujuan dari pemidanaan tersebut tidak tercapai tidak mendapatkan rehabilitasi, akan tetapi menurut Undang-undang tidak dapat di salahkan karena hal tersebut yang di jalankan.
3.  Memberikan sesuatu  kepada Pejabat Administrasi, dapat di katakan benar sesuai dengan kultur / budaya  yang hidup pada suatu wilayah tertentu, akan tetapi berdasarkan undang-undang belum tentu benar atau salah.

C.   Perbuatan yang oleh Undang-undang dan masyarakat di katakana salah
          Dalam perbuatan - perbuatan ada perbuatan yang kedua-duanya, oleh Undang - undang dan masyarakat nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat  di katakan salah oleh keduanya.
1.     Pencurian, yang di salahkan oleh Undang-undang (Pasal 362 Kitab Undang – undang Hukum Pidana) dan di salahkan pula oleh masyarakat.
2. Pembunuhan, berdasarkan Undang - undang (Pasal 338 Kitab Undang – undang Hukum Pidana) perbuatan tersebut dapat di salahkan, sama halnya dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat pembunuhan tersebut di katagorikan salah dan melanggar norma sosial yang ada di masyarakat.
3.   Penghinaan, berdasarkan peraturan Perundang - undangan dapat di katakana salah dan sama halnya jika di pandang dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat di katakana salah pula.
4.   Memperkerjakan anak di bawah umur dengan tidak sesuai persyaratan dan prosedur, berdasarkan Undang - undang ketenagakerjaan dapat di kategorikan pelanggaran atau kesalahan , sama halnya dengan apa yang hidup dalam nilai - niai yang ada dalam masyarakat.
5.    Perjinahan, di katakan bersalah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan (Pasal 284 Kitab Undang – undang Hukum Pidana),  sama halnya berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat pula di katakan salah dan melanggar norma – norma sosial, agama, dan hukum.


Hukum Tajam Ke Bawah dan Tumpul Ke Atas


PENEGAKAN HUKUM DI KESAMPINGKAN KARENA ADANYA INTERVENSI POLITIK DAN EKONOMI DI DALAM SALAH SATU CONTOH KASUS DI INDONESIA

A.    Latar Belakang
Di dalam suatu masyarakat yang oleh Mac Iver (The Web of Government, 1954) digambarkan sebagai Barang laba-laba (web), terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang bertujuan untuk tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan. Seperti diketahui, terdapat berbagai ragam kepentingan yang melekat kepada masing-masing individu tersebut yang bersifat sejajar  (Hama), berlainan, atau berlawanan dalam usahanya memenuhi apa yang disebut sebagai kebutuhan pokok maupun kebutuhan sekundernya. Dan agar dalam memenuhi kebutuhan tersebut tidak terjadi ekses-ekses dalam masyarakat akibat adanya benturan-benturan, terutama antara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan, diperlukan adanya kaidah-kaidah tersebut di atas agar segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur.
Dalam hubungan pergaulan antar manusia, manusia itu memperoleh pengalaman-pengalaman dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Pengalaman-pengalaman ini rnenciptakan nilai-nilai, baik yang bersifat positif maupun negatif, yang lalu menjadi suatu patokan bagi mereka tentang apa yang baik yang harus diikuti, dan apa yang dianggap buruk yang harus dihindari. Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda, maupun keadaankeadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia adalah berbeda-beda; oleh karena itu diperlukan patokan-patokan yang berupa kaidah-kaidah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kaidah merupakan patokan - patokan atau pedoman-pedoman perihal tingkah laku atau pen kelakuan yang diharapkan (Soerjono Soekanto, 1980:67).
Kaidah-kaidah ataupun tatanan-tatanan yang mengatur pergaulan hidup manusia itu bermacam-macam. Mochtar Kusumaatmadja 0 980) menyebutkan tiga macam, yaitu. kaidah Hukum, Kesusilaan, dan Kesopanan. Satjipto Rahardjo (1982:15) mengemukakan tiga macam pula, tetapi agak berlainan, yaitu kaidah Kebiasaan, Hukum, dan Kesusilaan, sedangkan Soerjono Soekanto (1980:67, 68) menyebutkan kaidah-kaidah Kepercayaan, Kesusilaan, Kesopan.an, dan Hukum sebagai kaidah-kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia.
Menurut Satjipto Rahardjo (dengan mengutip pendapat Radbruch 1961), terdapatnya sifat yang berlainan pada kaidah-kaidah atau tatanan-tatanan itu disebabkan oleh adanya norma-norma yang tidak sama yang mendukung masing-masing tatanan. Perbedaannya dapat dilihat pada tegangan antara ideal dan kenyataan (1982:14).

B.     Kasus Posisi
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berusaha mendeskripsikan fenomena – fenomena hukum yang terjadi di masyarakat, dan dalam hal ini proses penyelesaian hukum dikesampingkan oleh intervensi politik dan ekonomi.
Dalam pendeskripsian fenomena kasus ini penulis tidak akan menjelaskan tentang di mana tempat kejadian berlangsug karena keterbatasan kode etik.
Baik langsung saja penulis akan mendeskripsikan kasus yang terjadi yaitu mengenai kasus tindak pidana pemerkosaan dan pembunuhan (perbarengan tindak pidana), seorang perempuan yang berusia sekitar 24 tahun diperkosa oleh seoarang supir angkot dan di gilir secara bergantian oleh teman – teman supir tersebut yang berjumlah 8 orang, setelah terpuasi napsu bejatnya para pelaku tega menghabisi nyawa korban dengan cara membunuh dan membuangnya ke sungai. Pihak keluarga korban melaporkan kasus tersebut ke pihak yang berwajib setempat berdasarkan tempus dan locus delicti  terjadinya kasus tersebut, yang lebih mirisnya lagi penegak hukum berusaha tutup mata dan tutup telinga atas laporan kejadian tersebut dengan alasan bahwa kasus tersebut kewenangan pihak yang bewajib di tingkat kabupaten kota untuk menidak lanjuti tetapi pihak berwajib tingkat kecamatan (sektor) tidak melimpahkan kasus tersebut ke yang lebih tinggi kewenangannya dengan alasan tidak ada akomodasi untuk ke melimpahkan ke pihak yang berwajib tingkat (kabupaten kota) setempat, ternyata ada intervensi baik politik maupun ekonomi yang dilakukan oleh pihak pelaku, karena menilai kasus tersebut terjadi di desa dan jauh dari keramaian Kota sehingga sulit untuk di expose ke media, disinilah telah terjadi ke carut marutan penegakan hukum di Negara kita dengan adanya intervensi politik dan ekonomi.

C.    Penyelesaian Kasus
Sebelum penulis menganalisa kasus tersebut berdasarkan fakta – fakta hukum yang terjadi, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai intervensi politik dan ekonomi sehingga dalam proses penyelesaian kasus ini hukum yang harus nya dapat menyelesaikan dengan baik sesuai tujuan dasar dan hakekat hukum, malah hukum di kesampingkan dalam kasus ini.
Oleh karena hukum adalah suatu produk hubungan – hubungan dan perimbangan – perimbangan kemasyarakatan maka di dalam proses penciptaan dan perkembangannya ia ditentukan oleh sejumlah aspek hubungan – hubungan dan perimbangan – perimbangan tersebut. Sebagaimana telah dipeprlihatkan di atas nampaknya mustahil untuk menentukan dengan suatu kepastian hubungan sebab akibat antara setap aspek tersebut dan perkembangan hukum itu sendiri, satu dan lain karena sejumlah besar faktor kemasyarakatan ini bekerja secara bersamaan, terkadang seayun selangkah menjurus kea rah yang sama, tetapi sering pula mengarahkan pengaruhnya  kejurusan yang berawanan. Jadi dengan demikian sulit sekali, kalau tak mau disebut mustahil untuk menelusuri dan menetapkan sumbangsih yang tepat setiap unsur yang berperan dalam perkembangan hukum ini. Namun betapa pun juga tidak tertutup kemungkinan untuk membedakan beberapa faktor, yang benar – benar berperan dalam penciptaan dan perkembangan hukum.
Faktor – faktor tersebut tampil kepermukaan dalam beraneka ragam sifat dan bentuk. Dengan demikian kita perlu membatasi diri untuk mengulas beberapa di antara mereka yang nampaknya termasuk yang paling penting, yakni faktor – faktor politik, ekonomi, religi – ideologis dan kultur budaya

1.      Faktor – faktor Politik
Kenyataan yang terjadi bahwa tidak mungkin kita jumpai hukum tanpa adanya suatu bentuk penguasa, merupakan faktor politik pertama dan utama. Marilah kita ilustrasikan. Di dalam masyarakat – masyarakat yang sudah maju maka penguasa Negara, pada hakikatnya merupakan salah satu penulis terpenting tentang hukum. Ketiga kekuasaan Negara kekuasaan – kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif selain itu, nampaknya bertumpang tindih dengan ketiiga cara yang menjadi dasar ketertiban hukum itu berfungsi melalui pembentukan aturan – aturan pembuat undang – undang mengeluarkan aturan – aturan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, melalui cara – cara mempertahankan dan menegakan aturan – aturan ini kekuasaan pelaksana yang menentukan modalitas pelaksanaan aturan tersebut di dalam ruang lingkup dan daya jangkau yang telah ditetapkan oleh pembat undang – undang dan melalui penyelesaian perselisihan – perselisihan kekuasaan kehakiman ini menentukan makna yang terkandung di dalam aturan tersebut untuk ditafsirkan, mengisi dan melengkapi kekosongan di dalam hukum dan sterusnya.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan bahwa oleh karena Negara adalah ekspresi atau paling tidak merupakan forum kekuatan – kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa.

2.      Faktor – faktor Ekonomi
Marx dan Engels berpendapat bahwa faktor – faktor ekonomis mempunyai pengaruh absolut atas perkembangan kemasyarakatan. Masyarakat pada hakikatnya berbasiskan perimbangan – pertimbangan dan hubungan – hubungan proses produksi dan semua pengenjawantahan keasadaran kemasyarakatan, seperti struktur politik, hukum, moral, agama, seni dan begitu banya lagi hanya merupakan bangunan atas (bovenbous), yang ditentukan oleh basis tersebut.
Ruang lingkup yang di dalamnya penguasaan barang – barang memainkan peranan penting pada hubungan dan perimbanan kekuasaan yang mengendalikan pergaulan hidup, merupakan pembagian kekuasaan ekonomi, yang pada hakikatnya adalah akibat struktur pemilikan barang – barang yang menguasai masyarakat, suatu faktor politik penting yang mempunyai atas perkembangan hukum. Namun hukum dapat pula mempunyai kekuatan menghilangkan perwalian jika kelompok – kelompok masyarkat yang kurang bernasib baik di dalam situasi ekonomi terebut melalui kekuatan politik dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki keterpurukannya mereka.
Jadi, disini kita jumpai suatu ikatan yang tidak dapat dibantah lagi antara kekuatan- kekuatan politik dan ekonomi, dalam makna inilah maka ekonomi merupakan faktor penting dalam mempengaruhi penegakan hukum.[1]
           
Berdasarkan pemaparan landasan teori terkait dengan substansi yang terdapat dalam kasus di atas, analisa penulis bahwa sebaiknya dan seharusnya hukum itu harus ditegakan seadil mungkin sebagai mana yang tertuang dalam tujuan hukum secara filosofi, mengutip pendapat dari Hans Kelsen tentang teori nya yang di namakan Teori Hukum Murni, secara singkatnya menjelaskan bahwa hukum itu tidak boleh tercamur oleh anasir – anasir di luar hukum seperti halnya politik dan ekonomi.
Hal ini harus diselesaikan melalui proses hukum dengan cara melaporkan kasus tersebut ke tingkat Polda agar oknum yang tidak menjalankan tugas dengan sebagai mana mestinya dapat di proses berdasarkan kode etik institusinya, di lain hal bahwa faktor politik dan ekonomi harus di kesampingkan jauh – jauh dari penyelesaian kasus ini, agar hasil penyelesaian kasus tersebut menghasilkan kemanfaata, keadilan dan kepastian hukum di dalam proses penegakan hukum, khususnya di dalam penyelasaian kasus ini dan umumnya di proses penegakan hukum di Indonesia.


[1] Emeritus John Gilissen, Emeritus Frits Gorle, dan H. Lili Rasjidi, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,  PT. Refika Aditama, 2005, halaman. 91 s.d 97.