Rabu, 30 Januari 2013

Apa dan Siapa Penjahat

APA DAN SIAPA PENJAHAT ?

KRIMINALITAS
Kriminalitas berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan. Berbagai sarjana telah berusaha memberikan pengertian kejahatan secara yuridis berarti segala tingkah laku manusia yang dapat dipidana ,yang diatur dalam hukum pidana.
Hal yang sama pernah dilakukan pula oleh para ahli hukum dalam mencari arti hukum sebagaimana dikemukakan oleh Immanuel Kant : “noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hlm.13)
Berikut pengertian kejahatan dipandang dalam berbagai segi:
  • Secara yuridis, kejahatan berarti segala tingkah laku manusia yang dapat dipidana,yang diatur dalam hukum pidana.
  • Dari segi kriminologi, setiap tindakan dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti social,merugikansertab menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan
  • Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum, mungkin adalah yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hukum kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum,dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).
Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)
We have seen that the concept of crime is highly relative in commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same behavior differs from moment to moment(time), from group to group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.)
Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.

PENJAHAT DAN JENIS-JENISNYA
Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat.
Berdasarkan tradisi hukum (peradilan) yang demokratis bahkan eorang yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan menurut proses peradilan yang telah ditetapkan.
Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan dapat dibenarkan menurut hukum kalau menerima sesorang yang tidak pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan dapat secara benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung jawabkan menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).
Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut penjahat; dalam proses peradilan pidana, kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah : tersangka, tertuduh, terdakwa dan terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti penjahat, bandit, bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak mendasar pada ketentuan hukum.

  1. Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya adalah sebagai berikut ;
  1. Penjahat dari kecendrungan (bukan karena bakat).
  2. Penjahat karena kelemahan (karena kelemahan jiwa sehingga sulit  menghindarkan diri untuk tidak berbuat).
  3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa, penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan.

  1. Pembagian menurut Seelig :
  1. Penjahat karena segan bekerja.
  2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan.
  3. Penjahat karena nafsu menyarang.
  4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks.
  5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan
  6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive.
  7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
  8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.
  9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat pada butir 1 s/d 8 )

  1. Pembagian menurut Capelli
  1. Kejahatan karena faktor-faktor psikopathologis, yang pelakunya terdiri dari
a)      Orang-orang yang sakit jiwa.
b)      Orang-orang yang berjiwa abnormal (sekalipun tidak sakit jiwa).
  1. Kejahatan karena faktor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :
a)      Orang-orang yang menderita cacad setelah usia lanjut.
b)      Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah sejak masa kanak-kanak ; sehingga sukar menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.
  1. Kejahatan karena faktor-faktor sosial yang pelakunya terdiri dari : Penjahat kebiasaan.
a)      Penjahat kesempatan,karena menderita kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.
b)      Penjahat yang karena pertama kali pernah berbuat kejahatan kecil yang sifatnya kebetulan dan kemudian berkembang melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih sering.
c)      Orang-orng yang turut serta pada kejahatan kelompok seperti, pencurian-pencurian di pabrik dan lain sebagainya.

Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hukum atau disebut dalam bahasa inggris Criminal , yang sementara kita alih bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat yang dalam melakukan kejahatannya dengan:
  1. Kesadaran yang memang sudah merupakan pekerjaannya (professional criminal). Yang dapat dilakukan oleh perorangan seperti penjahat-penjahat bayaran, yang diupah untuk menganiaya atau bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok dan teratur seperti dalam bentuk kejahatan yang diorganisir (beda misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”, Heiniman Educational Books,London,1972).
  2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sekalipun merupakan pelanggaran hukum ; yaitu penjahat yang melakukan kejahatan dengan ditimbang-timbang atau dengan persiapan terlebih dahulu.
  3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias memberi hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.

SEBAB TERJADINYA KEJAHATAN
Sebab – sebab terjadinya kejahatan adalah bermacam-macam . Walaupun secara jelas belum dapat diberikan sutu teori tentang sebab-sebab kejahatan, namun banyak faktor yang telah diidentifikasikan, yang sedikt banyaknya mempunyai korelasi dengan frekuensi kejahatan. Factor-faktor tersebut secara kasar dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori,walaupun demarkasi antara ketiganya tidak selalu jelas, yaitu:
  1. Kondisi-kondisi social yang menimbulkan hal-hal yang merugikan hidup manusia. Kemiskinan yang meluas dan pengangguran,pemerataan kekayaan yang belum berhasil diterapkan, pemberian ganti rugi tidak memadai, pada orang-orang yang tanahnya diambil pemerintah kurangnya fasilitas pendidikan,dan lain-lain.
  2. Kondisi yang ditimbulkan oleh urbanisasi dan industrialasai. Indonesia sebagai suatu Negara berkembang sebenarnya menghadapi suatu dilemma. Pada satu pihak merupakan suatu keharusan untuk melaksanakan pembangunan,dan pada pihak lain pengakuan yang bertambah kuat, bahwa harga diri pembangunan itu ,adalah peningkatan yang menyolok dari kejahatan. Luasnya problema yang timbul karena banyaknya perpindahan, dan peningkatan fasilitas kehidupan,bisanya ,biasanya dinyatakan sebagai “urbanisasi yang berlebihan” (overurbanization) dari suatu Negara. Keadaan-keadaan tersebut menimbulkan peningkatan kejahatan yang tambah lama tambah kejam diluar kemanusiaan.
  3. Kondisi lingkungan yang memudahkan orng melakukan kejahatan. Contoh-ciontoh adalah memamerkan barang-barang dengan menggiurkan di supermarket,mobil dan rumah yang tidak terkunci ,took-toko yang tidak dijaga, dan kurangnya pengawasan atas senjata api dan senjata-senjata lain yang berbahaya. Tidak diragukan bahwa banyak calon-calon penjahat yang ingin melakukannya jika melakukannya jika pelaksanannya secara fisik dibuat sulit.(anami)

JENIS-JENIS KEJAHATAN
  1. Pelanggaran – pelanggaran ringan.
  2. Kejahatan – kejahatan ringan.
  3. Kejahatan yang disebabkan oleh dorongan emosi.
  4. Kejahatan yang dilakukan oleh orang – orang yang berstatus sosial tinggi dan perbuatannya terselubung dalam jabatannya.
  5. Penjahat yang mengulang – ngulang perbuatan jahatnya.
  6. Penjahat yang melakukan kejahatannya sebagai suatu nafkah.
  7. Kejahatan – kejahatan yang diorganisir umumnya bergerak di bidang pengedaran gelap narkotik, perjudian, rumah – rumah prostitusi dan lain –lain.
  8. Penjahat-penjahat yang melakukan peerperbuatannya karena ketidaknormalan (psychopatis dan psychotis).
  9. Penjahat atau katakanlah pelanggar – pelanggar hukum, yang melakukan perbuatan yang menurut kesadaran dan atau kepercayaan bukan merupakan kejahatan bahkan menganggapnya suci.
Sedangkan W.A.Bonger dalam buku kecilnya Pengantar Tentang Kriminologi, secara sederhana  dan lebih bersifat umum dan universal, membagi kejahatan dalam 4 jenis, yaitu :
  1. Kejahatan ekonomi
  2. Kejahatan kekerasan
  3. Kejahatan Seks
  4. Kejahatan Politik
Pembagian tersebut didasarkan pada motivasi dilakukannya kejahatan tersebut yang berhubungan dengan faktor-faktor  ekonomi yaitu dorongan untuk melakukan kekerasan dan siksaan, dorongan seksual dan motif - motif politis.

                                                           

Selasa, 29 Januari 2013

Media Policy


 Konsep Kebijakan Media

Media itu bersifat terbuka, dan media itu tidak boleh menyembunyikan fakta dan media itu juga merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat seseorang. Suatu kebijakan memperlihatkan bentuk perhatian dari pemerintah dan juga masyarakattentang bagaimana membentuk dan mengatur aktivitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi, termasuk aktivitas media agar dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umum. Sesungguhnya kebijakan media massa termasuk kebijakan komunikasi, yaitu kebijakan komunikasi yang menggunakan media massa. 
Sebagai kebijakan komunikasi, kebijakan mediamassa merupakan kebijakan publik. (Abrar, 2008:13). Tujuan kebijakan media massa, paling tidak bisa dilihat dari dua segi, sosiologi dan komunikasi. Dari sisi sosiologi, tujuan kebijakan komunikasi adalah untuk menempatkan proses komunikasi sebagai salah satu bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan masyarakat (Abrar, 2008:16).
Dengan demikian, masyarakat bisa mengendalikan proses komunikasi yang terjadi di antara mereka. Tegasnya, dari sudut sosiologi, kebijakan komunikasi memberdayakan masyarakat dalam melakukan proses komunikasi. Sementara dari sisi komunikasi, kebijakan komunikasi bertujuan untuk melancarkan sistem komunikasi. Selain itu, kita juga bisa mengatakan bahwa kebijakan media massa Indonesia merupakan kumpulan prinsip dan norma yang mengatur sistem media massa Indonesia. Sebagai kumpulan prinsip dan norma yang mengatur sistem media massa, kebijakan media massa tak bisa dipisahkan dari perkembangan sosial, politik dan ekonomi sebuah negara. Sedangkan makna dari kebijakan komunikasi, adalah pedoman untuk melancarkan sistem komunikasi. Sebagai pedoman, ia merupakan kumpulan prinsip-prinsip dan norma-norma yangsengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi (Abrar, 2008:3). Konteks kebijakan media massa adalah keterkaitan kebijakan tersebut dengan sesuatuyang melingkupi dirinya, misalnya ekonomi politik, politik komunikasi dan sebagainya. Konteksini begitu penting. Begitu pentingnya, sehingga ia bisa menentukan domain kebijakan mediamassa

Ilmu Hukum


Pengertian Hukum
Hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai demgan kenyataan, hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.[1]
Kisch mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat dilihat atau ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum. Pengertian hukum perlu dikemukakan di sini sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya.
1.      Hukum dalam arti ilmu;
2.      Hukum dalam arti disiplin atau system ajaran tentang kenyataan;
3.      Hukum dalam arti kaedah atau norma;
4.      Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis;
5.      Hukum dalam arti keputusan pejabat;
6.      Hukum dalam arti proses pemerintahan;
7.      Hukum dalam arti perilaku yang teratur;
8.      Hukum dalam arti jalinan nilai;

Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus – menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti – hentinya dengan gejala – gejala lainnya.[2] Hukum memilik banyak dimensi yang sulit utuk disatukan, mengingat masig – masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum tersebut dapat dikelompokakan menjadi tiga (3) pengertian dasar.
1.      Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak.
2.      Hukum dilihat sebagai suatu system peraturan yang abstrak.
3.      Hukum dipahami sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat.[3]

Disisi lain hukum hendaknya dipandang dengan pengertian ketiga hal tersebut sehingga hukum tidak lagi menjadi sosok yang terkotak – kotak atau terfragmentasikan, maka hukum harus dilihat secara holistik.
           
Tujuan Hukum
Dalam literature dikenal bbeberapa teori tentang tujuan hukum. Pertama teroi etis yang mengajukan tesis bahwa hukum itu semata – mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Dengan perkataan lain, hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Salah seorang pendukung teori ini adalah Geny.[4]
Pertama, Menurut para penganut teori etis ini, bahwa hakikat keadilan itu terletak pada penilaian terhadap suatu perilaku atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakuan dan pihak yang menerima perlakuan.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam keadilan, yaitu justisia distributive yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, dan justisia commutative yang menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan).
Roscou Pound melihat keadilan dalam hasil – hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarkat, berupa pengalokasian sumber – sumber daya kepada anggota – anggota dan kelompok – kelompok masyarkat.[5]
Kedua, Teori Utillitas. Penganut teori ini, antara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak – banyaknya (the greatest happiness of the greatest number). Pada hakekatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar -  besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.
Ketiga, Teori Campuran, yang berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarkat yang teratur. Disamping ketertiban, Muctar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda – beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarkat dan zamannya. [6]
Demikian pula Purnadi Purbacaraka dam Soerjonono Soekanto berpendapat bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern  pribadi.[7]
Secara garis besar tujuan – tujuan tersebut meliputi pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagian atau kesejahteraan.

            Fungsi – fungsi Hukum
                        Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu :[8]
1.      Menetapkan hubungan – hubungan anatara para anggota masyrakat, dengan menunjukan jenis – jenis tingkah laku – tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
2.      Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi – sanksinya yang tepat dan efektif;
3.      Menyelesaikan sengketa;
4.      Memelihara kemampuan masyrakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi – kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggoat – anggota masyarakat.

Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial, demikian pula hukum berfungsi sarana memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroprasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan masyarkat.
Selanjutnya, apabila penyelengaraan keadilan dalam masyarakat yan dilakukan melalui hukum dilihat sebagai institusi sosial, maka kita mulai melihat hukum dalam kerangka yang luas, yaitu dengan melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.
Hukum sebagai ideal memiliki hubungan yang erat dengan konseptualisasi kedailan secara abstrak. Dalam rangka itu maka apa yang dilakukan oleh hukum adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh masyarakatt kedalam bentuk yang kongkrit berupa pembagian maupun pengolahan sumber – sumber daya kepada masyarkat.
Selanjutnya Aubert sebagaiaman dikutip Gunther Teubner, menambahkan lagi fungsi hukum yang bersifat prevention to promotion, yang pararel dengan konsepnya Brockman dan Ewald, yakni socialization of law. Konsep ini pun sejalan dengan pandangan Luhman tentang konsep hukum sebagai social engineering as a political approach to law,  dan pandangan Heller yang melihat hukum setara dengan positive state.[9]
           
            Hukum Sebagai Suatu Sistem Norma
Apapun namanya maupun fungsinya apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma. Pemahanan yang demikian itu menjadi penting, karena dalam menjalanakan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dihendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai subsistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.
Oleh karena itu hukum juga dipandang sebagai suatu sistem, maka untuk dpat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Lawrence M, Friedman bahwa hukum itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur.[10]
1.      Komponen strukttur;
2.      Komponen substantive;
3.      Komponen kultur;

Komponen kultur hukum ini hendaknya dibedakan antara Internal legal culture yaitu kultur hukum para lawyers and judges dan external culture yaitu kultur hukum masyarkatluas.[11]
Delapan (8) azas atau principle of legalitiy :
1.      Sistem hukum harus mengandung peraturan – peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan – keputusan yang bersifat ad hoc.
2.      Peraturan – peraturan yang telah dibuat itu harus dirumuskan.
3.      Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4.      Peraturan – peraturan disusun dalam rumusan yang bias dimengerti.
5.      Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan – peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6.      Peraturan – peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.      Peraturan tidak boleh sering dirubah – rubah.
8.      Harus ada kecocokan anatara peraturan yang diundankan dengan pelaksanaannya sehari – hari.

Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (norma dasar), dan grundnorm pada dasarnya tidak berubah – ubah. Untuk mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem norma, maka Kelsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis.
Hukum positif  hanyalah perwujudan dari adanya norma – norma dan rangka untuk menyampaikan norma – norma hukum. Akhirnya norma – norma yang terkandung dalam hukum positif itu pun harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling mendasar yaitu Grundnorm.

                        Simpulan
Bertolak dari rangkaian pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam perumusannya sebagai hukum positif harus dipahamai suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentanggan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman itu semakin penting artinya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan (eksistensi) hukum sebagai suatu sistem norma mempunyai daya guna dalam menjalankan tugasnya di masyarkat.


[1]  Sudikno Mertokusumo,  Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberti, 1986, halaman 37.
[2]  C. Van Vollen Hoven,  Penemuan Hukum Adat, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1981, hlaman 6.
[3]  Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung:Penerbit Alumni, 1986 halaman 5-6.
[4] Sudikno Mertokusumo, op.cit, halaman 57.
[5] Satjipto Rahardjo, op.cit, 1986, halaman 50.
[6] Ibid, halaman 50.
[7] Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung ; Alumni, 1978, halaman 67.
[8] Edwin M.Schur, Law and Society: A Sociological View, New York: Random House 1968, halaman 79-82.
[9] Gunther Teubner, The Transformation of Law in Welfare State, Dilemmas of Law in the Welfare State, Walter de Gruyter & Co, Berlin, 1985, halaman 5.
[10] Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York : Russel Sage Foundation, 1986, halaman 17.
[11] Ibid, halaman 17.