Rabu, 17 April 2013

Pengaruh Positivisme Hukum Jhon Austin Terhadap Perkembangan Ilmu Hukum Di Indonesia


Positivisme adalah sebuah aliran kejiwaan yang sejak bagian ke – 2 abad XIX sampai sekarang telah menjalankan pengaruhnya yang besar. Asas – asasnya telah dirumuskan oleh seorang ahli filsafat Perancis Agus Comte (1798-1857) namun hal – hal tersebut pada hakikatnya adalah ekpresi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan di warnai oleh perkembangan pesat ilmu – ilmu eksakta berikut penerapan – penerapannya di dalam teknik industri. Kesemuanya ini merupakan pengejawantahan yang nyata – nyata gagasan kemajuan yang diraih oleh ilmu pengetahuan yang telah dipropagandakan oleh kaum ensiklopedist dan ahli – ahli filsafat kecerahan pada abad ke XVIII.
Comte telah menemukan perkembangan pemikiran manusia mengikuti tiga fase yang menurutnya terdiri dari suatu rentetan ketentuan – ketentuan umum yang sudah ditetapkan.
Yang penting bagi Comte adalah stadium ilmiah, sebagai stadium terakhir dan tertinggi pemikiran manusia, yang di capai pada abad XIX, diperluas menjadi suatu konsep total, yang dapat disebarkan secara umum dan yang diatasnya dapat didirikan suatu tertib sosial dan politik yang stabil setelah periode revolusi akhir abad XVIII dan abad XIX. Ini lah yang pada hakikatnya menyebabkan menaruh perhatian yang besar terhadap perancangan sebuah “physique sosiale ou sociologie”, yang harus merampungkan keseluruhan pengetahuan ilmiah. Dengan cara demikian pemikiran manusia, yang di atasnya praktek sosial perlu juga didasarkan menjadi homogeny dan akan dibersihkan dari pengertian – pengertian teologis, metafisis atau abstrak murni.
Ciri khas umum suatu sikap positivis  sampai kini dan di sini masih terasa pengaruhnya, dan ide bahwa manusia mengenal suatu evolusi melalui stadium pandangan – pandangan teologis yang sarat dengan unsur – unsur irasional, menjurus kea rah sikap yang diilhami oleh pemikiran positif nampaknya bagi banyak orang masih tetap merupakan skema yang menyakinkan untuk menunjukan berlangsungnya kultur. Pada suatu sisi hukum ditinjau dari sudut pandang positivis ditandai sebagai sebuah fakta sosial, yang dapat diinterpretasi secara utilitaristis. Pada sisi lain postivisme filosofis umum mempunyai keterkaitan dengan sebuah postivisme yuridis dalam arti yang mutlak objek studi ilmu pengetahuan hukum adalah undang – undang postif yang diketahui dan disistematisasi dalam bentuk kodifikasi – kodifikasi yang terselenggara dalam abad XIX.[1] Dengan demikian pakar hukum Belgia Francois Laurent  merumuskan hukum itu  “(… une science qui devrait la stabilite’ de sciences exactes, pusqu’elle sur des textes authentiques)”[2]
Positivisme hukum merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu), dalam definisinya yang paling tradisonal tentang hakekat hukum, dimaknai sebagai norma – norma positif dalam sistem perundang – undangan.[3] Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan matrealisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan penjelasan seperti itu mengacu kepada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon Austin[4] dan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret.
Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat di maknai sebagai berikut :
1.      Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara ekslusif, dan berakar pada peraturan perundang – undangan yang sedang berlaku saat ini.
2.      Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma – norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrument di dalam sebuah Negara.

Menurut positivisme hukum, norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma hukum pula bukan dengan non – norma hukum. Norma hukum positive akan diterima sebagai doktrin yang aksiomatis sepanjang ia mengikuti The rule systematizing logic of legal science yang memuat asas ekslusi, subsumsi, derogasi dan non kontradiksi.[5]
Positivisme hukum dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Negara modern. [6]Sebelum abad ke – 18 pikiran itu sudah hadir, dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran Negara modern. Jauh sebelum tradisi untuk menuangkan atau menjadikan hukum iru positif, masyarakat lebih menggunakan apa yang dikenal dengan intercational law atau customary law.
Postivisme hukum mencoba menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum. Latar belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan dunia hukum dari segala sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum itu. Sistem normatif yang berlaku umum itu dimanifestasikan di dalam kekuasaan Negara untuk memberlakukan hukum dengan sarana kelengkapannya, yaitu sanksi. Tentang hubungan hukum dan moral diakui oleh kaum positivisme hukum, bahkan hubungan kedua hal tersebut sangat penting dalam kehidupan masyarakat meskipun hubungan itu tidak nampak secara langsung.
Ada yan berpandangan yang menyatakan bahwa hukum dan moral harus berkaitan satu sama lain, sebab hukum moral memerintahkan muatan aktual hukum bantuan manusia (hukum positif).
Hukum moral dan hukum positif itu tidak berhubungan satu sama lain, sebab masing – masing memiliki wilayah keberlakuannya sendiri, meskipun sebagai hukum yang lebih tinggi, hukum moral menentukan validitas keberlakuannya hukum positif. Bila hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, yang mengatur perbuatan batin adalah kaidah yang lain yaitu hukum moral atau kaidah kesusilaan. Hukum positif menyelengarakan kedamaian dan ketenangan hidup manusia di dalam masyarkat, hukum moral justru berperan menyempurnakan kehidupan manusia tersebut.
Hukum dan moralitas masing –masing memiliki otonomi ruang lingkup yang ekslusif. Hal ini berarti validitas sebuah aturan hukum pertama – tama bergantung pada kriteria hukum. Dalam pandangan positivisme hukum satu – satunya kriteria validitas sebuah hukum adalah pandangan yang formal.
Positivisme hukum mendefinisikan hukum sebagai kehendak yaitu perintah yang berasal dari penguasa yang ditunjukan kepada semua warga Negara masyarakat politik (atau Negara ) yang merdeka. Perintah ini memuat tujuan dan kekuatan untuk menggunakan sanksi bagi mereka yang melawan atau melanggarnya.[7]
Positivisme sosiologis tidak mengakui adanya hukum lain selain dari hukum yang telah ditentukan atau ditetapkan oleh masyarakat. Norma – norma kritis yang ada hubungannya dengan kesadaran akan keadilan di dalam hati manusia tidak memiliki tempat di dalam sistem hukum sosiologis tersebut. Menurut pandangan ini, hukum diterima dan diselidiki semata – mata sebagai gejala sosial. salah satu aliran positivisme sosiologis ini adalah aliran pemikiran utilitarianisme yuridis. Theo Huijbers menjelaskan bahwa dalam positivisme sosiologis, hukum ditanggapi sebagai terbuka bagi kehidupan masyarkat, yang harus diselidiki melalui metode – metode ilmiah. Aliran ini mencerminkan hubungan yang erat antara hukum dan Negara.[8]
Bagi aliran pemikiran hukum positif analistis hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum menurut Jhon Austin (1790 – 1859) terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup. Austin menyatakan “Law is a command are which obliges a person or person … Laws and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”
Inti ajaran dari Jhon Austin kurang lebih adalah sebagai berikut :
a.       Hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat, sebagaimana dijelaskan oleh Austin, Positive law … is set by sovereign person, or a sovereign body a person, to members of independent political society wherein that person or body is sovereign or suprme”
b.      Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan – ketentuan yang lain secara tegas dapat disebut demikian yaitu diterima tanpa memerhatikan kebaikan atau keburukannya;
c.       Konsep kedaulatan tentang Negara mewarnai hampir seluruh ajaran Austin, yang dapat dibuat penjelasan singkat sebagai berikut :
1.      Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut Negara yang bersifat internal maupun eksternal;
2.      Sifat eksternal dari kedaulatan Negara tercermin pada hukum iternasional, sedangkan sifat internal kedaulatan Negara tercermin pada hukum positif.
3.      Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap kedaulatan Negara itu berbeda – beda sesuai dengan kebutuhan subjeknya;
4.      Ada perbedaan anatara ketaatan terhdap kedaulatan Negara dengan ketaatan terhadap ancaman pendorong, misalnya, yang membedakan keduanya adalaha ligitimasi. Kedaulatan Negara berdasarkan ligitimasi (didasarkan pada undang – undang) yang berlaku dan di akui secara sah. Pada keataatan terhadap kedaulatan Negara, subjeknya merasakan “ a moral duty to obey” (ada kewajiban moral untuk mentatainya).

Austin menjelaskan bahwa pihak yang memiliki kekuasaan  yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang dilarang, kekuasaan dari lembaga superior itu pula memaksa orang lain untuk taat, sebagaimana di jelaskan Austin,
“..it is positive law, or law strictly so called, by the institution of the present sovereign in the character of politicall superior…The superiority that is styled sovereignity ana independent political society which sovereignity implies, is distinguished from other superiority and from other society are in a habbit of obedience or submission to a determinated  and common superior : let that common superior be certain individual person, or a certain body of individuals, is not habit of obedience to like superior…
Austin membedakan hukum dalam dua jenis (a) hukum dari tuhan untuk manusia, dan (b) hukum yang dibuat oleh manusia, yang dapat dibedakan lagi kedalam (1) hukum yang sebenarnya,dan (2) hukum tidak sebenarnya. Hukum dalam arti sebenarnya ini disebut hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak – hak yang diberikan individu kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari organisasi atau club tertentu.[9]
      
      Pengaruh Aliran Positivisme Hukum Jhon Austin Terhadap Perkembangan Hukum Di Indonesia
Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad kesembilanbelas itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Kita mengetahui, bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yaitu ilmu yang nantinya mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah ummat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman “tradisional”. Oleh pikiran kritis  ditunjukkan, betapa hukum tersebut tidak mempunyai dasar atau merupakan hasil dari penalaran yang palsu (Dias, 1976:451). Penganut paham ini akan senantiasa menggunakan parameter hukum positif  bahkan cenderung mengagung-agungkan hukum positif  untuk melakukan penilaian terhadap  masalah dengan mekanisme hirarki perundang-undangan.
Pada umumnya, orang bisa melihat banyak dari para ahli teori sebelum Austin mencontohkan sebuah pendekatan yang lebih “berorientasi masyarakat”, hukum yang timbul dari nilai-nilai masyarakat atau kebutuhan, atau ekspresif dari masyarakat adat atau moralitas. Sebaliknya, Austin adalah salah satu yang pertama, dan salah satu yang paling khas, teori bahwa hukum dilihat sebagai peraturan yang dipaksakan dari atas dari yang berwenang, lebih “top-down” teori-teori hukum, seperti Austin, lebih cocok dengan lebih terpusat pada pemerintah (dan teori-teori politik modern tentang pemerintah) dari zaman modern. (Cotterrell 2003:pp.21-77).
Austin adalah tokoh yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama.
John Austin fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin, hukum merupakan sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas dipisahkan dari moral. Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar.
Prinsip dasar positivisme hukum adalah yang pertama merupakan suatu tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya  suatu instansi yang berwenang. Selanjutnya dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum  hanya ada dengan bentuk formalnya.
Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan  ilmu pengetahuan hukum, karena isi merupakan variabel yang bersifat sewenang-wenangan. Isi hukum tergantung dari situasi  etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari ilmu pengetahuan lain
Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan) akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat.
Aliran ini mendekonstruksi kosep-konsep hukum aliran hukum alam, dari konsepnya yang semula metafisik (hukum sebagai ius atau asas-asas keadilan yang abstrak) kekonsepnya yang lebih positif (hukum sebagai lege  atau aturan perundang-undangan), oleh sebab itu harus dirumuskan secara jelas dan pasti.
Secara epistimologi kata “positif” diturunkan dari bahasa Latin ponere-posui-positus yang berati meletakan. Kata “meletakan” menunjukkan bahwa dalam positivisme adalah sesuatu yang sudah tersaji (given). Dalam bidang hukum, sesuatu yang tersaji itu adalah sumber hukum positif, yang sudah diletakkan oleh penguasa politik.
Pemikiran postivisme dapat dibagi menjadi dua Postivisme Klasik tokohnya antara lain John Austin dan Hans Kelsen dan Neopostivisme tokohnya antara lain HLA Hart, Lon Fuller dan Dworkin. Dalam tulisan ini tidak dibahas seluruh tokoh Postivisme, akan tetapi hanya mencoba John Austin. Tulisan ini mencoba memahami secara sederhana pemikiran John Austin yakni “ Analitical Jurisprudence”.
Menurut Austin, filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, akan menimbulkan kekaburan baik intelektual maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yakni yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif.
1.      Yurisprudensi analitis (analytical jurisprudence), berkaitan dengan tugas filsafat hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum bagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggungjawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.
2.      Yurisprudensi normatif (normative jurisprudence) berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib mentaati hukum, manakah basis validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.

Pemikiran Austin bertolak dari kenyataan yang terjadi di Negara Indonesia  bahwa terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintah-perintah, dan ada orang yang pada umunya mentaati perintah-perintah tersebut. Apabila meraka tidak mematuhi perintah maka dijatuhi sanksi. Di Indonesia menitik beratkan terhadap keberadaan sanksi, disini sangatlah menjadi penting karena Austin tidak mempermasalahkan dalam kenyataannya mereka patuh karena takut, karena rasa hormat atau karena dipaksa. Menurut Austin, keberadaan sanksi di Indonesia  adalah:
1.      Sanksi atau kepatuhan yang dipaksakan “the evil” yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi.
2.      Sesuatu yang tidak enak yang tak dapat dipisahkan dari satu perintah.
3.      Suatu intimidasi dari yang berkehendak yang berupa kata-kata  atau tanda-tanda.

Di Indonesia untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur-unsur yakni: (1) Adanya seorang penguasa (souvereighnity), (2) Perintah (command), (3) Kewajiban Mentaatinya (duty), (4) sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction).
Kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Adapaun yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu.
 Syaratnya: (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang  de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun.[1]
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1.      Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
2.      Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8).

Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada pada masa itu.
Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat khususnya perasaan keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist – instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan dan kepatutan.
Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup, walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat, meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak sebenarnya.
Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum.
Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka ataupun mau dan tidak mau.
Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah sekali.[2] 

Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa John Austin telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengetahuan tentang teori hukum maupun pengaruhnya terhadap pengadilan di beberapa Negara. 
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekan.” (Bodenheimer, 1974:94).  Jadi menurut Austin penguasa/pembuat undang-undang (kedaulatan) membuat hukum(hukum positif) yang merupakan perintah yang wajib dilaksanakan oleh warga negara, apabila tidak maka akan mendapatkan sanksi.
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aliran hukum positif yang analitis mempunyai suatu kekuatan yakni aliran ini banyak dianut oleh para pemikir hukum di Barat di abad ke 19 dan awal abad ke-20. keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya.
Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan absolut. Hal ini disebabkan karena adanya empat unsur penting dari ajaran John Austin untuk dapat dinamakan hukum, yang di dalamnya terdiri dari perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sehingga dengan empat unsur penting dari hukum tersebut membuat para penguasa yang mebentuk ketentuan hukum dan undang-undang menjadi suatu keputusan yang mutlak harus dilaksanakan tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memberikan masukan-masukan yang berkembang dan tumbuh dari dalam masyarakatnya sendiri. Semua ketentuan hukum dan undang-undang yang terbentuk menjadi suatu perintah dan kewajiban yang harus dijalankan dan ditaati, kemudian mempunyai sanksi yang mengikat para pelaksana hukum menjadi secara langsung terikat karenanya.
Kemudian yang terakhir bahwa semua pembuat ketentuan hukum dan undang-undang yang dalam hal ini adalah pihak penguasa hanya dapat terlaksana jika pihak penguasa sebagai pihak yang memerintah tersebut merupakan pihak yang berdaulat. Dari ketentuan tersebut dapat dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun pihak pemerintah yang berdaulat sebagai pembentuk ketentuan hukum dan undang-undang sebetulnya tidak perlu dipertegas lagi, karena jelas suatu Negara yang telah memiliki pemeritahan sendiri, rakyat sendiri dan wilayah sendiri tentunya sudah merupakan sesuatu (dalam hal ini dapat disebut Negara) yang dianggap berdaulat atau memiliki kedaulatan sendiri, dan juga sebenarnya dengan telah adanya kedaulatan yang merupakan bagian dari suatu negara yang tidak dapat dipisahkan, maka kedaulatan sudah merupakan bagian dari bentuk dan sistem politik pemerintahan dalam negara itu sendiri.

Saran
Seyogyanya hukum di Indonesia tidak harus di terapkan ajaran hukum menurut Austin adalah perintah – hukum dalam masyarakat adalah perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang  berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang  de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun. Dengan demikian, Austin mempertanggungjawabkan validitas hukum dengan merujuk pada asal usul atau sumber yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum.
Di lain sisi hukum tidak hanya mengaakan hanya kepastian hukum melainkan ada beberapa hal tujuan hukum di anataranya meliputi keadilan dan kemanfaatan selain dari kepastian hukum (positivistik), karena nilai – nilai itu sangat penting agar terciptanya penegakan hukum yang di idam – idamkan di Negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam tujuan hukum. Dengan demikian, apabila diterapkan secara keterkaitan satu sama lain atu salin berkoheren maka hukum di Indonesia akan tercipta dengan baik.



[1] Lili Rasydi dan I.B. Wyasa Putera, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mmandar Maju, 2003),  hlm. 119.

[2] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, halaman 58 s.d 60.




[1] Comte, A., Course de Philosophie Positive, Paris, Schleicher Feres, 1907, Jilid I, halaman 2.
[2] Laurent, F.,’Course elemenraire de Drooit Civil, Brussel Paris 1878, halaman 6.
[3] Darji Darmodihardjo dan Shidarta berpendapat, positivisme hukum (aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yag seharusnya, antara das Sein dan das sollen), Lihat Darji Darmohardjo dan Shidarta , Pokok – pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004, halaman 113.
[4] Jhon Austin dapat disebut sebagai salah satu tokoh penganut aliaran positivisme hukum yang inti pemikirannya dapat dijelaskan sebagai berikut  :
a.       Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat, atau dalam bahasa aslinya “Law .. was the Command of sovereign, Bagi Austin “No, Law, no sovereign no law.
b.       Ilmu hukum berkaitn dengan hukum positif atau dengan ketentuan lain yang secar tegas dapat disebut demikian, yang diterima tanpa memerhatikan kebaikan atau keburukannya;
c.        Konsep tentan kedaulatan Negara (doctrine of sovereignity) mewarnai hampir seluruhan ajaran Austin. Lihat dalam Achmad Ali , Menguak Tabir Hukum Satu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta, 2002, halaman 266-267.
[5] E. Sumaryono, Etika Hukum, halaman 183.
[6] Satjipto Rahardjo, Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Makalah pada Seminar Nasioanl, Program Doktor Undip Semarang, Sabtu 22 Juli 2000 halaman 4.
[7] Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Di Indoensia), Genta Publhising, 2010, halaman 77 s.d 80.
[8] Theo Huijbers menyebutkan, positivisme sosiologis hukum dipandang sebagai bagian kehidupan masyarakat, Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jakarta Halaman 33. Namun harus diberikan catatan bahwa konsep positivisme sosiologis yang dimaksud hukum gejala sosial, menunjuk pula kepada apa yang disebut sebagai fakta – fakta empiric, sebagaimana ditegaskan Comte dan Durkheim, bukan makna – makna simbolik (simbolik interaksionis).
[9] Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Di Indoensia),Op.Chit, halaman 85 s.d 88.