Rabu, 31 Desember 2014

Pandangan Terhadap Paradigma Ilmu Hukum


MENERAPKAN ILMU HUKUM YANG UP TO DATE 
"YURIDIS DOGMATIK - NON DOGMATIK"
FAISAL FARHAN S.H.,M.H



Jika seorang sarjana hukum indonesia pada zaman 1990-an ditanya tentang beberapa tokoh ilmu hukum? Mereka pasti akan menjawab tokoh - tokoh yang beraliran dogmatik atau yang biasa kita kenal dengan aliaran yuridis normatif, salah satunya  adalah L.J. Van Apeldoorn. Beliau merupakan pakar ilmu hukum dari Belanda dan pengarang buku yang berjudul Inleiding Tot de Studie van het nederlands Recht (Pengantar Ilmu Hukum).
Namun menurut Prof. Dr. Sunaryati Hartono S.H (mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional), para sarjana hukum tahun 1970-an di negeri Belanda justru tidak lagi mengenal Van Apeldoorn maupun bukunya, bahkan beliau mengatakan, sejak tahun 1960-an buku tersebut sudah tidak lagi sebagai pedoman dalam pembelajaran di fakultas hukum.
Selama ini para sarjana hukum yang masih menggunakan buku yang beraliran yuridis dogmatik, menerapkan dasar - dasar dan asas - asas hukum yang cendrung kaku berdasarkan aliran subsatansi dari aliran tersbut.
Seiring dengan perkembangan dan transformasi di bidang hukum, menurut beberapa pakar ilmu hukum di dalam penelitiannya, kini aliran tersebut sudah tidak lagi up to date apabila kita membandingkan dengan beberapa aliran non-dogmatik yang di anut oleh beberapa tokoh beraliran sosiological yurisprudence, seperti halnya Oliver Wondel Holmes, Max Weeber, Karl Marx dan Emile Durkheim. Mereka merupakan tokoh - tokoh yang menetang aliran yuridis dogmatik. 
Ketika kita coba untuk membandingkan (comparative) kedua aliran tersebut, keduanya sama - sama memiliki kekurangan dan kelebihan apabila kita gunakan untuk memecahkan suatu persoalan hukum, namun dua aliran tersebut bisa menyelesaikan persoalan dengan baik asalkan para penegak hukum konsisten dengan substansi yang terdapat didalam kedua aliran tersebut. 
Masalah yang sering terjadi didalam penegakan hukum di negara kita adalah pembentukan regulasi  dan penerapan hukumnya, kedua hal tersebut yang sering tidak bersirnergi satu sama lain sehingga menimbulkan masalah didalam penegakan hukum. 
Dengan demikian dapat disimpulkan di dalam meningkatkan penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan aliran hukum, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pertama kita harus memilih mazhab atau aliran yang dapat kita pilih sebagai alat untuk menganalisa dan menyelesaikan persoalan hukum, dan yang kedua menyinergikan anatara pembentukan regulasi dengan penerapan hukumnya. 
Seyogyanya para penegak hukum, peneliti, dan pemerhati hukum, kita wajib mengikuti perkembangan zaman khususnya dibidang ilmu hukum, bertujuan sebagai knowledge dalam rangka membenahi penegakan hukum di Indonesia. 
Hasil dari penegakan hukum yang baik yaitu, dari bagaimana para penegak hukum membekali dirinya dengan ilmu hukum dan ilmu pengetahuan yang mengikuti perkembangan zaman khususnya dibidang hukum (up to date).

Senin, 24 Maret 2014

Teori Hukum Jhon Austin


TEORI HUKUM POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN

PENDAHULUAN

Abad kesembilanbelas menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut menerima pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis seperti halnya hukum alam. Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad kesembilanbelas itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Kita mengetahui, bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yaitu ilmu yang nantinya mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah ummat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman “tradisional”. Oleh pikiran kritis  ditunjukkan, betapa hukum tersebut tidak mempunyai dasar atau merupakan hasil dari penalaran yang palsu (Dias, 1976:451). Penganut paham ini akan senantiasa menggunakan parameter hukum positif  bahkan cenderung mengagung-agungkan hukum positif  untuk melakukan penilaian terhadap  masalah dengan mekanisme hirarki perundang-undangan.
Pada umumnya, orang bisa melihat banyak dari para ahli teori sebelum Austin mencontohkan sebuah pendekatan yang lebih “berorientasi masyarakat”, hukum yang timbul dari nilai-nilai masyarakat atau kebutuhan, atau ekspresif dari masyarakat adat atau moralitas. Sebaliknya, Austin adalah salah satu yang pertama, dan salah satu yang paling khas, teori bahwa hukum dilihat sebagai peraturan yang dipaksakan dari atas dari yang berwenang, lebih “top-down” teori-teori hukum, seperti Austin, lebih cocok dengan lebih terpusat pada pemerintah (dan teori-teori politik modern tentang pemerintah) dari zaman modern. (Cotterrell 2003:pp.21-77).

POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN

Austin adalah tokoh yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama.
John Austin fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin, hukum merupakan sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas dipisahkan dari moral. Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
John Austin membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk manusia (law set by God to men= law of God). Dan Hukum yang dibuat oleh manusia (law set by men to men=human law). Hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu hukum yang tepat disebut hukum (law properly so colled=positive law) adalah hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang secara politis ada dibawah kekuasaannya, contohnya undang-undang.  Selanjutnya hukum yang tidak tepat disebut hukum (law improperly so colled) adalah aturan-aturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, contohnya : ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan, ketentuan-ketentuan mode, ketentuan-ketentuan ilmu kesusilaan, ketentuan-ketentuan hukum Internasional.
Prinsip dasar positivism hukum adalah yang pertama merupakan suatu tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya  suatu instansi yang berwenang. Selanjutnya dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum  hanya ada dengan bentuk formalnya.
Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan  ilmu pengetahuan hukum, karena isi merupakan variabel yang bersifat sewenang-wenangan. Isi hukum tergantung dari situasi  etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari ilmu pengetahuan lain
Selanjutnya Austin, mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut hukum (hukum positip) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: Command (perintah),Sanction (sanksi=ancaman hukuman), Duty (kewajiban), dan Sovereignty (kedaulatan) Hukum positip semacam “perintah” (command), karena perintah, maka mesti berasal dari satu sumber tertentu.
 Bila suatu perintah dikeluarkan atau diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang lain (kewajiban), dan pihak yang terakhir ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (sanksi) yang akan dibebankan kepadanya, jika ia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama. Tiap hukum positip dibuat oleh seseorang / badan yang berdaulat  yang memegang (suvereign).
Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan) akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat.
Aliran ini mendekonstruksi kosep-konsep hukum aliran hukum alam, dari konsepnya yang semula metafisik (hukum sbg ius atau asas-asas keadilan yang abstrak) kekonsepnya yang lebih positif (hukum sebagai lege  atau aturan perundang-undangan), oleh sebab itu harus dirumuskan secara jelas dan pasti.

PENUTUP
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa John Austin telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengetahuan tentang teori hukum maupun pengaruhnya terhadap pengadilan di beberapa Negara.
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekan.” (Bodenheimer, 1974:94).  Jadi menurut Austin penguasa/pembuat undang-undang (kedaulatan) membuat hukum(hukum positif) yang merupakan perintah yang wajib dilaksanakan oleh warga negara, apabila tidak maka akan mendapatkan sanksi.



DAFTAR PUSTAKA

Austin, John, provinsi Fikih Bertekad, W. Rumble(ed.), Cambridge: Cambridge University Press, 1995 (pertama kali diterbitkan, 1832)
Bentham, Jeremy, Sebuah Pengantar Prinsip-prinsip Akhlak dan Perundang-undangan (JH Burns & HLA Hart, eds, oxford: Oxford University Press, 1996) (pertama kali diterbitkan 1789)
Cotterrell, Roger, The Politics of Fikih: A Critical Introduction to legal Philosophy, 2nd ed. (London:LexisNexis,
  Prof.Dr.I Ketut Oka Setiawan, S.H.MH, Modul Teori Hukum, program studi magister ilmu hukum universitas Tama Jagakarsa, Jakarta 2007
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H.Ilmu Hukum, cetakan keenam, penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2006

Diskriminasi Hukum Donald Black

Teori Diskriminasi Hukum Donald Black

Donald Black menginformasikan pembaca langsung bahwa perspektifnya adalah sosiologis. Dia prihatin dengan “kehidupan sosial” yang berarti bagaimana masyarakat berperilaku. Penjelasan-Nya itu akan menggunakan faktor sosiologis.Kira-kira, faktor sosiologis mewakili tingkat makro fitur dan dimensi sepanjang yang diselenggarakan masyarakat. Ada banyak dari mereka. Ia mengumumkan dimensi masyarakat yang akan menarik baginya:
Dimensi vertikal, yang sesuai dengan status sosial ekonomi (SES) atau kelas sosial;
Dimensi horizontal,sesuai dengan ras, suku, dan status kelahiran asli vs lahir di negeri asing;
Budaya, sesuai denagan kesopanan; 4. struktur organisasi, jika salah satu pihak yang bersengketa atau kejahatan adalah kelompok, atau jika kedua belah pihak adalah kelompok, tingkat ukuran dan organisasi kelompok atau kelompok akan sangat penting, dan ;
Kontrol sosial, yang mengacu pada cara orang mendapatkan orang lain untuk menginap sesuai tanpa menyerukan hukum.

Black memperkenalkan dimensi vertikal masyarakat, ia mengatakan “Hukum bervariasi secara langsung dengan stratifikasi”. Black menggunakan jarak istilah untuk merujuk pada jarak sosiologis mereka dari satu sama lain. pemisahan itu berlangsung sepanjang dimensi vertikal SES, dan ia mengacu pada ini sebagai “jarak vertikal”. Black daun titik ini tersirat. Kejahatan memiliki arah. Jika korban SES tinggi (orang bisnis kaya) dan pelaku SES rendah (tunawisma menganggur), kejahatan memiliki arah ke atas. Anda dapat menggambarkannya sebagai kejahatan atas. Hal ini diprakarsai oleh orang SES rendah terhadap milik orang SES tinggi. Hitam berbicara tentang “hukum ke atas” dan “hukum ke bawah”. 
Negara bertindak atas nama korban, dan menghukum pelaku. Jadi hukum akan “dari” korban “untuk” pelaku, dan itu adalah negara yang menerapkan hukum atas nama korban. Jadi jika negara adalah menghukum orang tunawisma untuk kejahatan yang dilakukan terhadap orang bisnis kaya, ini adalah hukum ke bawah untuk ke atas kejahatan. Black juga mengatakan secara tersirat, Hukum berperilaku atas nama korban. Korban itu mungkin seorang individu, kelompok, organisasi, atau negara itu sendiri. Arah di mana hukum diterapkan adalah berlawanan dengan arah kejahatan itu sendiri. Jadi jika kejahatan itu “bergerak” ke atas hukum akan bergerak ke arah yang berlawanan, ke bawah.
Black tergelincir dalam titik kunci yang mudah untuk mengabaikan: “ke atas kejahatan lebih serius daripada kejahatan ke bawah.” Black mengatakan “hukum ke bawah lebih besar daripada hukum ke atas” ia mengatakan bahwa jika ada suatu kejahatan ke atas, akan terlihat sebagai lebih serius, dan hukum lebih akan dikirim – beberapa lebih mungkin untuk mendapatkan ditangkap, lebih mungkin dihukum , lebih mungkin untuk mendapatkan hukuman lebih lama – karena arah hukum adalah ke bawah. 
Jika permusuhan antara pihak status yang lebih tinggi, hukum lebih akan dikirim. Jika antara dua pihak SES rendah, hukum mungkin sedikit akan dikirimkan. Dalam membuat titik ini, Black tampaknya membingungkan jumlah hukum yang disampaikan oleh sebuah lembaga negara, seperti polisi atau hakim, dan kemampuan orang yang berbeda untuk merasakan theseriousness berbagai kejahatan; meskipun perbedaan, bagaimanapun, ada juga kesepakatan substansial seluruh masyarakat tentang keseriusan relatif kejahatan yang berbeda. Poin penting adalah bahwa norma ada dan berlaku secara umum jika bukan anggota kelompok yang paling mematuhi itu.

Perbandingan Hukum Pidana

Tujuan Pemidanaan Dalam Perspektif Perbandingan Hukum

Tujuan Pemidanaan
Dalam Konsep 2005-2006, tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 54 sebagai berikut :
Pemidanaan bertujuan:
mencegah dilakukannya  tindak  pidana  dengan menegak_kan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
menyelesaikan konflik yang  ditimbulkan  oleh tindak pidana, memulihkan keseim-bangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah_kan martabat manu-sia.

Perumusan tujuan pemidanaan dalam Konsep di atas, masih sering diper-masalahkan. Yang dipermasalahkan tidak hanya perlu tidaknya tujuan pemida-naan itu dirumuskan di dalam RKUHP, tetapi juga perumusan isi/muatannya. Mengenai perlu tidaknya hal itu dirumuskan, dari berbagai diskusi/seminar nampak ada kecenderungan untuk dapat menerima atau dapat memaklumi hal itu dirumuskan dalam RKUHP, berdasarkan latar belakang pemikiran sebagai-mana dikemukakan di atas. Terlebih di berbagai KUHP asingpun, tujuan pidana itupun dirumuskan, bahkan ada yang juga merumuskan tujuan hukum pidana (KUHP). Mengenai isi/substansi perumusannya, memang masih selalu terbuka untuk dikaji ulang.
Sebagai bahan kajian komparasi, dapat dikemukakan berbagai perumus-an tujuan pidana/hukum pidana di berbagai negara, antara lain :
ARMENIA
Membedakan antara “tujuan hukum pidana/KUHP” (The objectives of the Criminal Code) dengan “tujuan pidana” (The purpose of punishment). 
Tujuan “criminal code” (Psl. 2): melindungi hak-hak dan kebebasan manu-sia dan penduduk, hak-hak badan hukum, harta kekayaan, lingkungan, tatanan/ketertiban dan keamanan publik, tatanan konstitusi dari pelang-garan/gangguan jahat dan juga untuk mencegah kejahatan 
(The objectives of the Criminal Code are as follows: to protect from criminal encroachment human and citizens’ rights and freedoms, the rights of legal entities, property, the environment, public order and security, constitutional order, as well as to prevent crime).

Tujuan “punishment” dirumuskan dalam Bab 9 Pasal 48 ayat 2: ”The purpose of punishment is applied to restore social justice, to correct the punished person, and to prevent crimes”. Jadi, tujuannya adalah untuk :
memperbaiki/memulihkan kembali keadilan sosial (to restore social justice);
memperbaiki terpidana (to correct the punished person);
mencegah kejahatan (to prevent crimes).

Di samping itu di dalam Pasal 11 yang berjudul “Humanitarian principle” (Asas Kemanusiaan/Humanistik), ada penegasan pada ayat 2 nya tentang hakikat pemidanaan, yaitu: Tidak seorangpun dapat dikenakan pidana dan tindakan yang bersifat penyiksaan, kejam, tidak manusiawi, atau yang menghina/mempermalukan (No one shall be subjected to torture or cruel, inhuman or humiliating treatment or punishment). 

BELLARUS
Dibedakan antara ”tujuan KUHP/hukum pidana” (Purposes of the Criminal Code), dengan ”tujuan pidana” (Purposes of Punishment). 
Menurut Pasal 1, KUHP (Hukum Pidana) bertujuan untuk : 
melindungi kehidupan/nyawa, kesehatan, hak dan kebebasan manusia; masyarakat, kepentingan negara dan publik; harta milik, lingkungan, dan hukum yang ada (protecting the life and health of the human being, his rights and freedoms, the constitutional society, state and public interests, property, the environment and the established law against criminal encroach-ments). 
pencegahan kejahatan dan mendidik ketaatan/kesadaran hukum warga masyarakat (promote the prevention of criminal encroachments and contribute to the education of citizens in the spirit of observance of the laws). 
Tujuan Pidana (Pasal 20) : 
Pidana tidak hanya semata-mata merupakan penghukuman untuk tin-dak pidana yang dilakukan, tetapi juga bertujuan untuk memperbaiki dan mendidik si terhukum; dan mencegah diulanginya lagi kejahatan oleh si pelaku (prevensi special) dan orang lain (prevensi general).
Pidana tidak ditujukan untuk menyebabkan penderitaan fisik dan merendahkan martabat kemanusiaan.
[Punishment shall not only be a punishment for the committed crime but also shall be aimed at correcting and educating the convicts in the spirit of the exact administration of laws as well as at preventing the committing of new crimes both by convicts and by other persons. 
Punishment shall not be aimed at causing physical suffering and humiliating human dignity]. 

BULGARIA
Tujuan Pidana dirumuskan dalam Pasal 36 sbb. :
Pidana dikenakan untuk tujuan :
memperbaiki dan mendidik kembali terpidana untuk mematuhi UU dan peraturan/kebiasaan dari masyarakat sosialis; (correcting and re-educating the convict to comply to the laws and rules of socialist community); 
peringatan keras kepadanya dan mencabut kemungkinan dia untuk melakukan kejahatan lainnya (exerting warning impact on him and depriving him of the possibility to commit other crimes); dan 
menimbulkan pengaruh mendidik dan memperingatkan kepada ang-gota masyarakat lainnya (producing an educative and warning effect on the other members of society);

Pidana tidak boleh bertujuan untuk menyebabkan penderitaan fisik atau menghancurkan martabat manusia (The punishment may not have as purpose the causing of physical suffering or crushing of human dignity).

LATVIA 
Tujuan pidana (The objective of sentence) dirumuskan dalam Pasal 35 (2), yaitu :
untuk menghukum si pelaku tindak pidana (to punish the offender for a com-mitted criminal offence); 
agar terpidana dan orang lain mematuhi hukum dan menahan diri dari melakukan tindak pidana (as to achieve that the convicted person or other persons comply with the law and refrain from committing criminal offences).

MACEDONIA 
Tujuan pidana dirumuskan dalam Pasal 32 (The aim of punishment) yang me-nyatakan :
“Di samping merupakan perwujuan keadilan (the realization of justice), tujuan pidana adalah :
mencegah pelaku melakukan kejahatan dan memperbaikinya (to prevent the offender from committing crimes and his correction); 
pengaruh mendidik terhadap orang lain agar tidak melakukan kejahatan (educational influence upon others, as not to perform crimes)”.

ROMANIA 
Psl. 52 :
Penalty is a measure of constraint and a means of re-educating the convict. The purpose of the penalty consists in prevention of other crimes' perpetration. 
The purpose of the penalty's execution is to develop an appropriate attitude towards labour, towards rule of law and towards rules of social cohabitation. The penalty's execution must neither cause physical harm nor humiliate the convicted person.

Pidana merupakan “tindakan paksaan” (measure of constraint) dan “sarana mendidik kembali terpidana” (a means of reeducating the convict). 
Tujuan pidana untuk mencegah dilakukannya kejahatan lain  (prevention of other crimes’ perpetration); 
Tujuan pelaksanaan/eksekusi pidana : untuk membangun sikap yg patut terhadap kerja, aturan perundang-undangan, dan  aturan hidup bersama/ bermasyarakat (to develop an appropriate attitude towards labour, towards rule of law and towards rules of social cohabitation); 
Pelaksanaan/eksekusi pidana harus tidak menyebabkan penderitaan fisik maupun menghina/mempermalukan terpidana (must neither cause physical harm nor humiliate the convicted person).

YUGOSLAVIA 
Tujuan pidana (Psl. 33 - The purpose of punishment) :
mencegah pembuat melakukan tindak pidana dan untuk rehabilitasi (pre-venting the offender from committing criminal acts and his rehabilitation); 
pengaruh perbaikan terhadap orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana (rehabilitative influence on others not to commit criminal acts); 
memperkuat jaringan/ahlak moral dari masyarakat sosialis dan memba-ngun tanggung jawab sosial serta disiplin warga negara (strengthening the moral fibre of a socialist self-managing society and influence on the development of citizens' social responsibility and discipline).
Dari berbagai bahan komparasi di atas, menarik untuk diperhatikan ada-nya perumusan tujuan pidana/hukum pidana yang tidak dirumuskan secara eksplisit di dalam Konsep, yaitu :
memperkuat jaringan/ahlak moral dari masyarakat sosialis (the moral fibre of a socialist society) dan membangun tanggung jawab sosial (social responsibility)- Psl. 33 KUHP Yugoslavia; 
melindungi tatanan/ketertiban masyarakat dan  tatanan konstitusi (public and constitutional order) - Psl. 2 KUHP Armenia;
memperbaiki/memulihkan kembali keadilan sosial (to restore social justice; Psl. 48:2 KUHP Armenia);
mendidik ketaatan/kesadaran hukum warga masyarakat (the education of citizens in the spirit of observance of the laws) - Psl. 1 KUHP Bellarus; 
memperbaiki dan mendidik kembali terpidana untuk mematuhi UU dan per-aturan/kebiasaan dari masyarakat sosialis (the laws and rules of socialist commu-nity) - Psl. 36:1 KUHP Bulgaria; 
untuk membangun sikap yang patut terhadap aturan hidup bersama/berma-syarakat (rules of social cohabitation); Psl. 52 KUHP Rumania.

Pedoman Pemidanaan
Pertama-tama perlu dikemukakan, bahwa istilah ”pedoman pemidanaan” merupakan suatu istilah yang masih terbuka untuk dikaji ulang, karena bisa mengandung bermacam-macam arti. Istilah itu sangat terkait erat dengan  tujuan dan aturan pemidanaan. Bahkan keseluruhan aturan hukum pidana yang terda-pat di dalam KUHP dan UU lainnya di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan pedoman untuk menjatuhkan pidana. 
Penempatan dan penyebutan istilah ”pedoman pemidanaan” di dalam Konsep mengalami beberapa kali perubahan. Dalam Konsep ’67/’68 dan 1972 belum ada pasal tentang ”pedoman pemidanaan”; dalam Konsep ’82/’83, ’87/’88, dan ’91/’92 (s/d Maret 1993) dimunculkan judul ”pedoman pemidanaan”; dalam Konsep ’94, ’97/’98, 2000, dan 2002 tidak dimunculkan judul ”pedoman pemida-naan”, tetapi tetap berada di dalam judul ”pemidanaan” (bersama-sama dengan ”tujuan pemidanaan”); dalam Konsep 2004 s/d 2006 kembali dimunculkan judul ”pedoman pemidanaan” dengan ruang lingkup yang tidak sama dengan Konsep ’91/’92.
Dimunculkannya judul pedoman pemidanaan secara eksplisit, hanya sebagai konsekuensi dari keinginan untuk memberi judul (”heading”) setiap pasal atau kelompok pasal. Jadi, hanya agar ada konsistensi.  Namun dengan diberi judul, memberi kesan yang sempit, karena membatasi ruang lingkupnya, sehing-ga seolah-olah hanya pasal (kelompok pasal) yang diberi judul itu sajalah yang merupakan ”pedoman pemidanaan”, sedang yang lainnya tidak. Misal dengan dipisahkannya pasal tentang ”tujuan pemidanaan” dengan ”pedoman pemidana-an”, seolah-olah tujuan pemidanaan bukan merupakan pedoman pemidanaan. Padahal ”tujuan” itupun memberi arahan/pedoman bagi hakim, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Prof. Sudarto. _ Demikian pula halnya dengan keten-tuan tentang ”perubahan/penyesuaian pidana”, ”pedoman penerapan perumusan tunggal/alternatif”, ketentuan mengenai ”pemilihan jenis pidana/tindakan”, kea-daan-keadaan yang dipertimbangkan untuk ”tidak menjatuhkan pidana penjara”, untuk menjatuhkan pidana denda, untuk menerapkan pidana minimal khusus, hal-hal yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana terhadap anak, dsb., seolah-olah bukan pedoman pemidanaan karena di dalam Konsep tidak berada di bawah judul ”pedoman pemidanaan”. Padahal hal-hal itupun sebenarnya merupakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang apakah ”pedoman pemidanaan” perlu disebut secara eksplisit. Dengan memunculkan kata/istilah kunci dalam pasal yang bersangkutan sebagai ”judul”, mungkin juga tidak mengurangi makna/maksudnya, bahwa pasal yang bersangkutan dimak-sudkan sebagai ”pedoman”. Sebagai bahan perbandingan misalnya, di dalam Model Penal Code ada Article 7 yang berjudul ”Authority of Court in Sentencing”, namun di dalamnya jelas mengandung “pedoman pemidanaan”. Demikian pula di dalam beberapa KUHP Asing (lihat di bawah), hanya diberi judul ”General Principles for Prescribing Punishment” atau ”Determination of punishment”, bukan ”Guidance of Sentencing”, namun jelas di dalamnya memuat beberapa pedoman pemidanaan.