Rabu, 31 Desember 2014

Pandangan Terhadap Paradigma Ilmu Hukum


MENERAPKAN ILMU HUKUM YANG UP TO DATE 
"YURIDIS DOGMATIK - NON DOGMATIK"
FAISAL FARHAN S.H.,M.H



Jika seorang sarjana hukum indonesia pada zaman 1990-an ditanya tentang beberapa tokoh ilmu hukum? Mereka pasti akan menjawab tokoh - tokoh yang beraliran dogmatik atau yang biasa kita kenal dengan aliaran yuridis normatif, salah satunya  adalah L.J. Van Apeldoorn. Beliau merupakan pakar ilmu hukum dari Belanda dan pengarang buku yang berjudul Inleiding Tot de Studie van het nederlands Recht (Pengantar Ilmu Hukum).
Namun menurut Prof. Dr. Sunaryati Hartono S.H (mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional), para sarjana hukum tahun 1970-an di negeri Belanda justru tidak lagi mengenal Van Apeldoorn maupun bukunya, bahkan beliau mengatakan, sejak tahun 1960-an buku tersebut sudah tidak lagi sebagai pedoman dalam pembelajaran di fakultas hukum.
Selama ini para sarjana hukum yang masih menggunakan buku yang beraliran yuridis dogmatik, menerapkan dasar - dasar dan asas - asas hukum yang cendrung kaku berdasarkan aliran subsatansi dari aliran tersbut.
Seiring dengan perkembangan dan transformasi di bidang hukum, menurut beberapa pakar ilmu hukum di dalam penelitiannya, kini aliran tersebut sudah tidak lagi up to date apabila kita membandingkan dengan beberapa aliran non-dogmatik yang di anut oleh beberapa tokoh beraliran sosiological yurisprudence, seperti halnya Oliver Wondel Holmes, Max Weeber, Karl Marx dan Emile Durkheim. Mereka merupakan tokoh - tokoh yang menetang aliran yuridis dogmatik. 
Ketika kita coba untuk membandingkan (comparative) kedua aliran tersebut, keduanya sama - sama memiliki kekurangan dan kelebihan apabila kita gunakan untuk memecahkan suatu persoalan hukum, namun dua aliran tersebut bisa menyelesaikan persoalan dengan baik asalkan para penegak hukum konsisten dengan substansi yang terdapat didalam kedua aliran tersebut. 
Masalah yang sering terjadi didalam penegakan hukum di negara kita adalah pembentukan regulasi  dan penerapan hukumnya, kedua hal tersebut yang sering tidak bersirnergi satu sama lain sehingga menimbulkan masalah didalam penegakan hukum. 
Dengan demikian dapat disimpulkan di dalam meningkatkan penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan aliran hukum, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pertama kita harus memilih mazhab atau aliran yang dapat kita pilih sebagai alat untuk menganalisa dan menyelesaikan persoalan hukum, dan yang kedua menyinergikan anatara pembentukan regulasi dengan penerapan hukumnya. 
Seyogyanya para penegak hukum, peneliti, dan pemerhati hukum, kita wajib mengikuti perkembangan zaman khususnya dibidang ilmu hukum, bertujuan sebagai knowledge dalam rangka membenahi penegakan hukum di Indonesia. 
Hasil dari penegakan hukum yang baik yaitu, dari bagaimana para penegak hukum membekali dirinya dengan ilmu hukum dan ilmu pengetahuan yang mengikuti perkembangan zaman khususnya dibidang hukum (up to date).

Senin, 24 Maret 2014

Teori Hukum Jhon Austin


TEORI HUKUM POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN

PENDAHULUAN

Abad kesembilanbelas menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut menerima pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis seperti halnya hukum alam. Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad kesembilanbelas itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Kita mengetahui, bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yaitu ilmu yang nantinya mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah ummat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman “tradisional”. Oleh pikiran kritis  ditunjukkan, betapa hukum tersebut tidak mempunyai dasar atau merupakan hasil dari penalaran yang palsu (Dias, 1976:451). Penganut paham ini akan senantiasa menggunakan parameter hukum positif  bahkan cenderung mengagung-agungkan hukum positif  untuk melakukan penilaian terhadap  masalah dengan mekanisme hirarki perundang-undangan.
Pada umumnya, orang bisa melihat banyak dari para ahli teori sebelum Austin mencontohkan sebuah pendekatan yang lebih “berorientasi masyarakat”, hukum yang timbul dari nilai-nilai masyarakat atau kebutuhan, atau ekspresif dari masyarakat adat atau moralitas. Sebaliknya, Austin adalah salah satu yang pertama, dan salah satu yang paling khas, teori bahwa hukum dilihat sebagai peraturan yang dipaksakan dari atas dari yang berwenang, lebih “top-down” teori-teori hukum, seperti Austin, lebih cocok dengan lebih terpusat pada pemerintah (dan teori-teori politik modern tentang pemerintah) dari zaman modern. (Cotterrell 2003:pp.21-77).

POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN

Austin adalah tokoh yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama.
John Austin fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin, hukum merupakan sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas dipisahkan dari moral. Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
John Austin membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk manusia (law set by God to men= law of God). Dan Hukum yang dibuat oleh manusia (law set by men to men=human law). Hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu hukum yang tepat disebut hukum (law properly so colled=positive law) adalah hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang secara politis ada dibawah kekuasaannya, contohnya undang-undang.  Selanjutnya hukum yang tidak tepat disebut hukum (law improperly so colled) adalah aturan-aturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, contohnya : ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan, ketentuan-ketentuan mode, ketentuan-ketentuan ilmu kesusilaan, ketentuan-ketentuan hukum Internasional.
Prinsip dasar positivism hukum adalah yang pertama merupakan suatu tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya  suatu instansi yang berwenang. Selanjutnya dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum  hanya ada dengan bentuk formalnya.
Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan  ilmu pengetahuan hukum, karena isi merupakan variabel yang bersifat sewenang-wenangan. Isi hukum tergantung dari situasi  etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari ilmu pengetahuan lain
Selanjutnya Austin, mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut hukum (hukum positip) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: Command (perintah),Sanction (sanksi=ancaman hukuman), Duty (kewajiban), dan Sovereignty (kedaulatan) Hukum positip semacam “perintah” (command), karena perintah, maka mesti berasal dari satu sumber tertentu.
 Bila suatu perintah dikeluarkan atau diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang lain (kewajiban), dan pihak yang terakhir ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (sanksi) yang akan dibebankan kepadanya, jika ia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama. Tiap hukum positip dibuat oleh seseorang / badan yang berdaulat  yang memegang (suvereign).
Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan) akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat.
Aliran ini mendekonstruksi kosep-konsep hukum aliran hukum alam, dari konsepnya yang semula metafisik (hukum sbg ius atau asas-asas keadilan yang abstrak) kekonsepnya yang lebih positif (hukum sebagai lege  atau aturan perundang-undangan), oleh sebab itu harus dirumuskan secara jelas dan pasti.

PENUTUP
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa John Austin telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengetahuan tentang teori hukum maupun pengaruhnya terhadap pengadilan di beberapa Negara.
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekan.” (Bodenheimer, 1974:94).  Jadi menurut Austin penguasa/pembuat undang-undang (kedaulatan) membuat hukum(hukum positif) yang merupakan perintah yang wajib dilaksanakan oleh warga negara, apabila tidak maka akan mendapatkan sanksi.



DAFTAR PUSTAKA

Austin, John, provinsi Fikih Bertekad, W. Rumble(ed.), Cambridge: Cambridge University Press, 1995 (pertama kali diterbitkan, 1832)
Bentham, Jeremy, Sebuah Pengantar Prinsip-prinsip Akhlak dan Perundang-undangan (JH Burns & HLA Hart, eds, oxford: Oxford University Press, 1996) (pertama kali diterbitkan 1789)
Cotterrell, Roger, The Politics of Fikih: A Critical Introduction to legal Philosophy, 2nd ed. (London:LexisNexis,
  Prof.Dr.I Ketut Oka Setiawan, S.H.MH, Modul Teori Hukum, program studi magister ilmu hukum universitas Tama Jagakarsa, Jakarta 2007
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H.Ilmu Hukum, cetakan keenam, penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2006

Diskriminasi Hukum Donald Black

Teori Diskriminasi Hukum Donald Black

Donald Black menginformasikan pembaca langsung bahwa perspektifnya adalah sosiologis. Dia prihatin dengan “kehidupan sosial” yang berarti bagaimana masyarakat berperilaku. Penjelasan-Nya itu akan menggunakan faktor sosiologis.Kira-kira, faktor sosiologis mewakili tingkat makro fitur dan dimensi sepanjang yang diselenggarakan masyarakat. Ada banyak dari mereka. Ia mengumumkan dimensi masyarakat yang akan menarik baginya:
Dimensi vertikal, yang sesuai dengan status sosial ekonomi (SES) atau kelas sosial;
Dimensi horizontal,sesuai dengan ras, suku, dan status kelahiran asli vs lahir di negeri asing;
Budaya, sesuai denagan kesopanan; 4. struktur organisasi, jika salah satu pihak yang bersengketa atau kejahatan adalah kelompok, atau jika kedua belah pihak adalah kelompok, tingkat ukuran dan organisasi kelompok atau kelompok akan sangat penting, dan ;
Kontrol sosial, yang mengacu pada cara orang mendapatkan orang lain untuk menginap sesuai tanpa menyerukan hukum.

Black memperkenalkan dimensi vertikal masyarakat, ia mengatakan “Hukum bervariasi secara langsung dengan stratifikasi”. Black menggunakan jarak istilah untuk merujuk pada jarak sosiologis mereka dari satu sama lain. pemisahan itu berlangsung sepanjang dimensi vertikal SES, dan ia mengacu pada ini sebagai “jarak vertikal”. Black daun titik ini tersirat. Kejahatan memiliki arah. Jika korban SES tinggi (orang bisnis kaya) dan pelaku SES rendah (tunawisma menganggur), kejahatan memiliki arah ke atas. Anda dapat menggambarkannya sebagai kejahatan atas. Hal ini diprakarsai oleh orang SES rendah terhadap milik orang SES tinggi. Hitam berbicara tentang “hukum ke atas” dan “hukum ke bawah”. 
Negara bertindak atas nama korban, dan menghukum pelaku. Jadi hukum akan “dari” korban “untuk” pelaku, dan itu adalah negara yang menerapkan hukum atas nama korban. Jadi jika negara adalah menghukum orang tunawisma untuk kejahatan yang dilakukan terhadap orang bisnis kaya, ini adalah hukum ke bawah untuk ke atas kejahatan. Black juga mengatakan secara tersirat, Hukum berperilaku atas nama korban. Korban itu mungkin seorang individu, kelompok, organisasi, atau negara itu sendiri. Arah di mana hukum diterapkan adalah berlawanan dengan arah kejahatan itu sendiri. Jadi jika kejahatan itu “bergerak” ke atas hukum akan bergerak ke arah yang berlawanan, ke bawah.
Black tergelincir dalam titik kunci yang mudah untuk mengabaikan: “ke atas kejahatan lebih serius daripada kejahatan ke bawah.” Black mengatakan “hukum ke bawah lebih besar daripada hukum ke atas” ia mengatakan bahwa jika ada suatu kejahatan ke atas, akan terlihat sebagai lebih serius, dan hukum lebih akan dikirim – beberapa lebih mungkin untuk mendapatkan ditangkap, lebih mungkin dihukum , lebih mungkin untuk mendapatkan hukuman lebih lama – karena arah hukum adalah ke bawah. 
Jika permusuhan antara pihak status yang lebih tinggi, hukum lebih akan dikirim. Jika antara dua pihak SES rendah, hukum mungkin sedikit akan dikirimkan. Dalam membuat titik ini, Black tampaknya membingungkan jumlah hukum yang disampaikan oleh sebuah lembaga negara, seperti polisi atau hakim, dan kemampuan orang yang berbeda untuk merasakan theseriousness berbagai kejahatan; meskipun perbedaan, bagaimanapun, ada juga kesepakatan substansial seluruh masyarakat tentang keseriusan relatif kejahatan yang berbeda. Poin penting adalah bahwa norma ada dan berlaku secara umum jika bukan anggota kelompok yang paling mematuhi itu.

Perbandingan Hukum Pidana

Tujuan Pemidanaan Dalam Perspektif Perbandingan Hukum

Tujuan Pemidanaan
Dalam Konsep 2005-2006, tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 54 sebagai berikut :
Pemidanaan bertujuan:
mencegah dilakukannya  tindak  pidana  dengan menegak_kan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
menyelesaikan konflik yang  ditimbulkan  oleh tindak pidana, memulihkan keseim-bangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah_kan martabat manu-sia.

Perumusan tujuan pemidanaan dalam Konsep di atas, masih sering diper-masalahkan. Yang dipermasalahkan tidak hanya perlu tidaknya tujuan pemida-naan itu dirumuskan di dalam RKUHP, tetapi juga perumusan isi/muatannya. Mengenai perlu tidaknya hal itu dirumuskan, dari berbagai diskusi/seminar nampak ada kecenderungan untuk dapat menerima atau dapat memaklumi hal itu dirumuskan dalam RKUHP, berdasarkan latar belakang pemikiran sebagai-mana dikemukakan di atas. Terlebih di berbagai KUHP asingpun, tujuan pidana itupun dirumuskan, bahkan ada yang juga merumuskan tujuan hukum pidana (KUHP). Mengenai isi/substansi perumusannya, memang masih selalu terbuka untuk dikaji ulang.
Sebagai bahan kajian komparasi, dapat dikemukakan berbagai perumus-an tujuan pidana/hukum pidana di berbagai negara, antara lain :
ARMENIA
Membedakan antara “tujuan hukum pidana/KUHP” (The objectives of the Criminal Code) dengan “tujuan pidana” (The purpose of punishment). 
Tujuan “criminal code” (Psl. 2): melindungi hak-hak dan kebebasan manu-sia dan penduduk, hak-hak badan hukum, harta kekayaan, lingkungan, tatanan/ketertiban dan keamanan publik, tatanan konstitusi dari pelang-garan/gangguan jahat dan juga untuk mencegah kejahatan 
(The objectives of the Criminal Code are as follows: to protect from criminal encroachment human and citizens’ rights and freedoms, the rights of legal entities, property, the environment, public order and security, constitutional order, as well as to prevent crime).

Tujuan “punishment” dirumuskan dalam Bab 9 Pasal 48 ayat 2: ”The purpose of punishment is applied to restore social justice, to correct the punished person, and to prevent crimes”. Jadi, tujuannya adalah untuk :
memperbaiki/memulihkan kembali keadilan sosial (to restore social justice);
memperbaiki terpidana (to correct the punished person);
mencegah kejahatan (to prevent crimes).

Di samping itu di dalam Pasal 11 yang berjudul “Humanitarian principle” (Asas Kemanusiaan/Humanistik), ada penegasan pada ayat 2 nya tentang hakikat pemidanaan, yaitu: Tidak seorangpun dapat dikenakan pidana dan tindakan yang bersifat penyiksaan, kejam, tidak manusiawi, atau yang menghina/mempermalukan (No one shall be subjected to torture or cruel, inhuman or humiliating treatment or punishment). 

BELLARUS
Dibedakan antara ”tujuan KUHP/hukum pidana” (Purposes of the Criminal Code), dengan ”tujuan pidana” (Purposes of Punishment). 
Menurut Pasal 1, KUHP (Hukum Pidana) bertujuan untuk : 
melindungi kehidupan/nyawa, kesehatan, hak dan kebebasan manusia; masyarakat, kepentingan negara dan publik; harta milik, lingkungan, dan hukum yang ada (protecting the life and health of the human being, his rights and freedoms, the constitutional society, state and public interests, property, the environment and the established law against criminal encroach-ments). 
pencegahan kejahatan dan mendidik ketaatan/kesadaran hukum warga masyarakat (promote the prevention of criminal encroachments and contribute to the education of citizens in the spirit of observance of the laws). 
Tujuan Pidana (Pasal 20) : 
Pidana tidak hanya semata-mata merupakan penghukuman untuk tin-dak pidana yang dilakukan, tetapi juga bertujuan untuk memperbaiki dan mendidik si terhukum; dan mencegah diulanginya lagi kejahatan oleh si pelaku (prevensi special) dan orang lain (prevensi general).
Pidana tidak ditujukan untuk menyebabkan penderitaan fisik dan merendahkan martabat kemanusiaan.
[Punishment shall not only be a punishment for the committed crime but also shall be aimed at correcting and educating the convicts in the spirit of the exact administration of laws as well as at preventing the committing of new crimes both by convicts and by other persons. 
Punishment shall not be aimed at causing physical suffering and humiliating human dignity]. 

BULGARIA
Tujuan Pidana dirumuskan dalam Pasal 36 sbb. :
Pidana dikenakan untuk tujuan :
memperbaiki dan mendidik kembali terpidana untuk mematuhi UU dan peraturan/kebiasaan dari masyarakat sosialis; (correcting and re-educating the convict to comply to the laws and rules of socialist community); 
peringatan keras kepadanya dan mencabut kemungkinan dia untuk melakukan kejahatan lainnya (exerting warning impact on him and depriving him of the possibility to commit other crimes); dan 
menimbulkan pengaruh mendidik dan memperingatkan kepada ang-gota masyarakat lainnya (producing an educative and warning effect on the other members of society);

Pidana tidak boleh bertujuan untuk menyebabkan penderitaan fisik atau menghancurkan martabat manusia (The punishment may not have as purpose the causing of physical suffering or crushing of human dignity).

LATVIA 
Tujuan pidana (The objective of sentence) dirumuskan dalam Pasal 35 (2), yaitu :
untuk menghukum si pelaku tindak pidana (to punish the offender for a com-mitted criminal offence); 
agar terpidana dan orang lain mematuhi hukum dan menahan diri dari melakukan tindak pidana (as to achieve that the convicted person or other persons comply with the law and refrain from committing criminal offences).

MACEDONIA 
Tujuan pidana dirumuskan dalam Pasal 32 (The aim of punishment) yang me-nyatakan :
“Di samping merupakan perwujuan keadilan (the realization of justice), tujuan pidana adalah :
mencegah pelaku melakukan kejahatan dan memperbaikinya (to prevent the offender from committing crimes and his correction); 
pengaruh mendidik terhadap orang lain agar tidak melakukan kejahatan (educational influence upon others, as not to perform crimes)”.

ROMANIA 
Psl. 52 :
Penalty is a measure of constraint and a means of re-educating the convict. The purpose of the penalty consists in prevention of other crimes' perpetration. 
The purpose of the penalty's execution is to develop an appropriate attitude towards labour, towards rule of law and towards rules of social cohabitation. The penalty's execution must neither cause physical harm nor humiliate the convicted person.

Pidana merupakan “tindakan paksaan” (measure of constraint) dan “sarana mendidik kembali terpidana” (a means of reeducating the convict). 
Tujuan pidana untuk mencegah dilakukannya kejahatan lain  (prevention of other crimes’ perpetration); 
Tujuan pelaksanaan/eksekusi pidana : untuk membangun sikap yg patut terhadap kerja, aturan perundang-undangan, dan  aturan hidup bersama/ bermasyarakat (to develop an appropriate attitude towards labour, towards rule of law and towards rules of social cohabitation); 
Pelaksanaan/eksekusi pidana harus tidak menyebabkan penderitaan fisik maupun menghina/mempermalukan terpidana (must neither cause physical harm nor humiliate the convicted person).

YUGOSLAVIA 
Tujuan pidana (Psl. 33 - The purpose of punishment) :
mencegah pembuat melakukan tindak pidana dan untuk rehabilitasi (pre-venting the offender from committing criminal acts and his rehabilitation); 
pengaruh perbaikan terhadap orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana (rehabilitative influence on others not to commit criminal acts); 
memperkuat jaringan/ahlak moral dari masyarakat sosialis dan memba-ngun tanggung jawab sosial serta disiplin warga negara (strengthening the moral fibre of a socialist self-managing society and influence on the development of citizens' social responsibility and discipline).
Dari berbagai bahan komparasi di atas, menarik untuk diperhatikan ada-nya perumusan tujuan pidana/hukum pidana yang tidak dirumuskan secara eksplisit di dalam Konsep, yaitu :
memperkuat jaringan/ahlak moral dari masyarakat sosialis (the moral fibre of a socialist society) dan membangun tanggung jawab sosial (social responsibility)- Psl. 33 KUHP Yugoslavia; 
melindungi tatanan/ketertiban masyarakat dan  tatanan konstitusi (public and constitutional order) - Psl. 2 KUHP Armenia;
memperbaiki/memulihkan kembali keadilan sosial (to restore social justice; Psl. 48:2 KUHP Armenia);
mendidik ketaatan/kesadaran hukum warga masyarakat (the education of citizens in the spirit of observance of the laws) - Psl. 1 KUHP Bellarus; 
memperbaiki dan mendidik kembali terpidana untuk mematuhi UU dan per-aturan/kebiasaan dari masyarakat sosialis (the laws and rules of socialist commu-nity) - Psl. 36:1 KUHP Bulgaria; 
untuk membangun sikap yang patut terhadap aturan hidup bersama/berma-syarakat (rules of social cohabitation); Psl. 52 KUHP Rumania.

Pedoman Pemidanaan
Pertama-tama perlu dikemukakan, bahwa istilah ”pedoman pemidanaan” merupakan suatu istilah yang masih terbuka untuk dikaji ulang, karena bisa mengandung bermacam-macam arti. Istilah itu sangat terkait erat dengan  tujuan dan aturan pemidanaan. Bahkan keseluruhan aturan hukum pidana yang terda-pat di dalam KUHP dan UU lainnya di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan pedoman untuk menjatuhkan pidana. 
Penempatan dan penyebutan istilah ”pedoman pemidanaan” di dalam Konsep mengalami beberapa kali perubahan. Dalam Konsep ’67/’68 dan 1972 belum ada pasal tentang ”pedoman pemidanaan”; dalam Konsep ’82/’83, ’87/’88, dan ’91/’92 (s/d Maret 1993) dimunculkan judul ”pedoman pemidanaan”; dalam Konsep ’94, ’97/’98, 2000, dan 2002 tidak dimunculkan judul ”pedoman pemida-naan”, tetapi tetap berada di dalam judul ”pemidanaan” (bersama-sama dengan ”tujuan pemidanaan”); dalam Konsep 2004 s/d 2006 kembali dimunculkan judul ”pedoman pemidanaan” dengan ruang lingkup yang tidak sama dengan Konsep ’91/’92.
Dimunculkannya judul pedoman pemidanaan secara eksplisit, hanya sebagai konsekuensi dari keinginan untuk memberi judul (”heading”) setiap pasal atau kelompok pasal. Jadi, hanya agar ada konsistensi.  Namun dengan diberi judul, memberi kesan yang sempit, karena membatasi ruang lingkupnya, sehing-ga seolah-olah hanya pasal (kelompok pasal) yang diberi judul itu sajalah yang merupakan ”pedoman pemidanaan”, sedang yang lainnya tidak. Misal dengan dipisahkannya pasal tentang ”tujuan pemidanaan” dengan ”pedoman pemidana-an”, seolah-olah tujuan pemidanaan bukan merupakan pedoman pemidanaan. Padahal ”tujuan” itupun memberi arahan/pedoman bagi hakim, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Prof. Sudarto. _ Demikian pula halnya dengan keten-tuan tentang ”perubahan/penyesuaian pidana”, ”pedoman penerapan perumusan tunggal/alternatif”, ketentuan mengenai ”pemilihan jenis pidana/tindakan”, kea-daan-keadaan yang dipertimbangkan untuk ”tidak menjatuhkan pidana penjara”, untuk menjatuhkan pidana denda, untuk menerapkan pidana minimal khusus, hal-hal yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana terhadap anak, dsb., seolah-olah bukan pedoman pemidanaan karena di dalam Konsep tidak berada di bawah judul ”pedoman pemidanaan”. Padahal hal-hal itupun sebenarnya merupakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang apakah ”pedoman pemidanaan” perlu disebut secara eksplisit. Dengan memunculkan kata/istilah kunci dalam pasal yang bersangkutan sebagai ”judul”, mungkin juga tidak mengurangi makna/maksudnya, bahwa pasal yang bersangkutan dimak-sudkan sebagai ”pedoman”. Sebagai bahan perbandingan misalnya, di dalam Model Penal Code ada Article 7 yang berjudul ”Authority of Court in Sentencing”, namun di dalamnya jelas mengandung “pedoman pemidanaan”. Demikian pula di dalam beberapa KUHP Asing (lihat di bawah), hanya diberi judul ”General Principles for Prescribing Punishment” atau ”Determination of punishment”, bukan ”Guidance of Sentencing”, namun jelas di dalamnya memuat beberapa pedoman pemidanaan.

Minggu, 30 Juni 2013

FILSAFAT HUKUM



PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

Memang sulit menemukan suatu definisi tentang hukum yang disetujui semua ahli hukum. Kiranya itulah sesuatu mustahil. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mengetahui tentang arti hukum. Hukum itu bukan lagi sesuatu yang mistik seperti pada zaman purbakala, melainkan sesuatu yang rasional yang dijangkau oleh tiap – tiap orang yang hidup dalam masyarakat secara sadar. Karenanya semua orang bicara tentang hukum, dan mengerti tentang apa mereka berbicara.
Kesulitan timbul, bila orang ingin mengerti tentang hukum secara lebih mendalam. Ternyata arti hukum begitu kompleks sehingga macam – macam teori yang berbeda – beda masih dapat dianut samapai abad XX ini.[1]
Bila kita menghadap hukum, pertama – tama kita insyaf bahwa hukum harus dikaitkan dengan kehidupan sosial : ‘’hukum adalah pertama – tama penataan hidup sosial’’.[2] Perumusan ini masih sangat abstrak, akan tetapi justru karenanya meliputi macam – macam bentuk hukum. Bila hukum ditanggapi lebih kongkret, pengertiannya berbeda – beda. Hal ini paling tampak, bisa kita membandingkan pengertian hukum pada zaman primitif. Penataan hidup bersama primitif, yang diselidiki dalam antropologi hukum, berlainan dengan penataan hidup bersama kita. Namun sewajarnya hukum primitif disebut hukum juga.[3]
Namun dengan membatasi makna hukum yang hakiki pada undang – undang Negara, pengertian dasar yang abstrak tentang hukum tidak hilang. Peraturan – peraturan yang mengatur kehidupan orang – orang dalam masyarkat, baik masyarakat besar, seperti Negara, maupun masyarakat kecil, seperti perkumpulan dan lembaga swasta, sewajarnya kedua – keduanya disebut hukum.[4]
Bila kita mengikuti pandangan modern ini yang kiranya sulit untuk ditantang maka :
1.      Bidang yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur Negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu Negara.
2.      Hukum mengandung arti kemajukan, sebab terdapat beberapa bidang hukum disamping Negara, walaupun bidang – bidang itu tidak mempunyai hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari Negara dan yang dikukuhkan oleh Negara. Hukum – hukum lain tetap dapat disebut hukum, tetapi mereka tidak mempunyai arti yuridis yang sesungguhnya.

Bahwa hukum adalah pertama – tama tata hukum Negara, paling nampak dalam aliran positivisme, pada khususnya pada John Austin (analytical legal positivism). Austin bertolak dari kenyataan bahwa terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintah – perintah, dan bahwa ada orang yang pada umumnya metaati perintah – perintah tersebut. Tidak penting mengapa orang mentaati perintah – perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati sebab merasa berwajib memeperhatikan kepentingan umum, ada yang mentaati sebab takut  akan kekacauan, ada yang mentaati sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi.
Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur – unsur yang berikut : seorang penguasa (souvereighnity), suatu perintah (command), kewajiban untuk mentaati (duty), sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction). Dengan demikian Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala hukum dengan perintah seorang yang berkuasa. Definisi Austin tentang hukum berbunyi, hukum adalah tiap – tiap undang – undang positif yang ditentukan secara langsung atau tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota – anggota suatu masyarakat politik yang berdaulat, dimana yang membentuk adalah yang tertinggi.[5]
Indonesia sebagai negara hukum menganur system hukum Civil Law (Eropa Continental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Oleh karena dalam System Civil Law salah satu karakteristiknya adalah mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber hukum, maka dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia juga mengutamakan peraturan tertulis (Undang-undang) sebagai hukum. Akibatnya sesuai dengan ajaran Legisme, muara penegakan hukum terutama putusan pengadilan masih bersifat formal legalisme, yang dikejar adalah keadilan formal sesuai UU. Dan dalam prakteknya produk hukum yang bersifat formal legalistic itu sering tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan, sering menghadapi kenyataan bahwa ternyata hukum tertulis (Undang-undang) tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Bahkan seringkali atas inisiatif sendiri hakim harus menemukan hukumnya (rechtsvinding) dan atau menciptakan hukum (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada. Karena sesuai UU kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau hukumnya masih samar.
Disinilah letak pentingnya penemuan hukum oleh  Hakim, untuk mengisi kekosongan hukum sehingga tercipta putusan Pengadilan yang baik yang dapat digunakan sebagai sumber pembaharuan hukum atau perkembangan ilmu hukum. Permasalahannya adalah bagaimana seharusnya seorang Hakim berfikir dalam rangka penemuan hukum agar dapat menghasilkan putusan yang berkualitas dalam setiap menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Tentunya Hakim sebagai lembaga pengadil dalam setiap putusannya harus senantiasa mengisi kekosongan hukum melalui proses berfikir tidak hanya berdasarkan Ilmu hukum dan berbagai ilmu-ilmu bantuannya tetai juga melibatkan Filsafat hukum dan teori hukum. Hakim dalam memutus sengketa tidak boleh hanya membaca teks-teks formal UU secara normatif melainkan harus mampu merenungkan hal-hal yang melatarbelakangi ketentuan tertulis secara filsafat dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu. Disinilah pentingnya seorang Hakim harus menghayati dan mendalami filsafat hukum dalam setiap langkahnya menemukan hukum.


Peranan Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum Yang Diberikan Wewenang Oleh Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman  Dalam Telaah Filsafat Hukum

Hakim merupakan salah satu catur wangsa dalam sistem penegakan hukum, yang mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa dan memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu seorang Hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para pencari keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat diputus oleh Hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum) tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice (keadilan masyarakat).
Begitu pentingnya peran Hakim dalam penegakan hukum, sehingga dalam Hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (ius curia novit) yang akan menentukan hitam putihnya hukum melalui putusannya. Namun dalam prakteknya penegakan hukum sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam dalam perundang-undangan. Atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas, karena memang tidak ada satu hukum atau UU mengatur yang selengkap-lengkapnya mengingat masyarakat yang diatur oleh hukum senantiasa berubah (dinamis).
Oleh karena itu kekurangan atau ketidaklengkapan aturan hukum atau Undang-undang harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dan subyek yang memiliki wewenang dalam menegakan hukum cq.menemukan hukum itu adalah Hakim.
Pada hakekatnya semua perkara yang harus diselesaikan oleh Hakim di Pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan putusan yang ideal, yang mengandung aspek juridis(kepastian), filosofis (keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis).
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh Hakim melalui penemuan hukum itu termasuk obyek pokok dari telaah filsafat hukum. Disamping masalah lainnya seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan hukum dan berlakunya hukum.[6]
Sedangkan menurut Lili Rasyidi, obyek pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan hukum melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam masyarakat dan memerlukan pemecahan. Masalah itu antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat(socialengineering).[7]
Sedangkan menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol dalam telaah filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum alam serta prinsip etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan masyarakat, pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi manusia.[8]
Dengan demikian dalam menjalankan tugasnya memeriksa dan memutus perkara terutama dalam menemukan hukum dan nilai-nilai keadilan, seorang Hakim dituntut selain menguasai teori ilmu hukumnya juga harus menguasai filsafat hukum. Namun tidak mudah bagi seorang Hakim untuk membuat putusan yang idealnya harus memenuhi unsur filsafat seperti Keadilan (filosofis), kepastian hukum(juridis) dan kemanfaatan(sosiologis) sekaligus. Oleh karena itulah diperlukan keberanian Hakim melalui diskresi/kewenangan yang dimilikinya untuk dapat menemukan hukumnya (rechtsfinding) berdasarkan pendekatan yang lebih komprehensif dan integral melalui analisis filsafat.
Sebagai praktisi yang menekuni dunia hukum, seorang Hakim dapat memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui putusannya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat hukum yang bercorak tidak semata-mata logis-rasional-intelektual tetapi sekaligus ethis, intuitif dan bahkan divinatoris, yakni mempertaruhkan dan melibatkan panca indera bathin/sensus interior yang khusuk tinarbuka dan siap menerima hidayah, inayah Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap permasalahan yang harus dihadapi Hakim dalam proses menemukan hukum.
Karya dan proses pemikiran dan penggarapan atas suatu masalah hukum konkrit dengan menggunakan suatu atau pelbagai metode interpretasi hingga sampai kepada kesimpulan dan keputusan itulah merupakan pokok pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding) dari pelbagai kepustakaan.[9] Sedangkan hakekat tugas dan fungsi Hakim adalah melakukan penemuan hukum dengan hasil keputusan hati nurani terhadap perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Suyono membedakan definisi penemuan hukum dalam arti umum dan dalam arti khusus sebagai berikut.[10]
Definisi yang umum penemuan hukum, adalah keseluruhan proses berpikir dari seorang juris, yang dengan menggunakan suatu metode interpretasi menghantarkan dan membawanya kepada suatu putusan hukum atau pengembangan dan pertumbuhan hukum.
Definisi yang khusus, penemuan hukum adalah proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani.
Dan karya itu bersifat intelektual, rasional, logis, intuitif dan ethis Idealnya setiap pelaku penemuan hukum, khususnya Hakim harus mampu ber ”triwikrama”, yaitu yang secara fundamental proporsional memahami dan menguasai Trilogi Dunia hukum yang meliputi faktisitas normativitas dan idealitas hukum in abstracto dan in concreto setiap kali menghadapi perkara untuk diperiksa dan diadili. Dengan demikian fungsi
Hakim dalam triwikrama adalah :
1. Hakim sebagai corong yang menyuarakan Undang-undang.
2. Hakim sebagai penterjemah dan penyambung lidah Undang-undang.
3. Hakim sebagai manusia susila yang berpikir dan menimbang demi dan   menurut keadilan.
(bandingkan dengan ajaran G.J.WIARDA tentang tipologi penemuan hukum dalam bukunya ”drie typen van rechtsvinding”.

Dalam praktek ternyata masih banyak Hakim yang masuk dalam golongan pertama yaitu yang berpendirian segala sesuatu tentang hukum sudah termuat dalam Undang-undang sehingga cukup menerapkannya secara sillogisme dan berasumsi akan diperoleh putusan yang benar atas suatu kasus yang dihadapi. Masih sedikit diantara Hakim-hakim kita yang mampu secara mandiri berkarya sebagai penerjemah dan penyambung lidah Undang-undang.Apalagi mampu berpikir sebagai manusia berbudi dalam menimbang dan berfikir secara adil dan bijaksana.
Sesungguhnya secara filsafati konsepsi tersebut masing-masing adalah identik dengan cita/tujuan dari hukum yang tidak lain adalah keadilan yang komponennya terdiri dari kepastian hukum, kegunaan menurut tujuan dan keadilan dalam arti sempit. Sebagaimana dikemukakan Prof.Dr.H.Muchsin, SH. Bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban.[11]
Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan ” rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan).[12]
Sedangkan Soejono K.S mendefinisikan Keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan.[13]
Penegakan hukum oleh Hakim pada hakekatnya adalah pelaksanaan atau pengamalan hukum yang menurut Soejono K.S. termasuk obyek telaah filsafat hukum. Dalam melaksanakan tugas menerapkan hukum yang dilandasi dengan penafsiran hukum secara filsafati itulah dinamakan Hakim telah melakukan penemuan hukum. Jadi penemuan hukum itu adalah salah satu wujud dari penegakan hukum oleh Hakim.
Menurut Paul Scholten, penemuan hukum itu senantiasa merupakan karya yang bersifat intelektuil sekaligus intuitif susila. Sedangkan menurut Esser, penemuan hukum tidaklah pernah semata-mata pekerjaan subsumsi. Lebih fundamentil penemuan hukum sebagai hasil/resultante cq. Putusan hakim sebagai ”gewetensbeslissing” (putusan hati nurani) menurut konsepsi Scholten.[14]
Seperti telah dikemukakan dimuka bahwa tujuan peradilan tidak dapat lain kecuali pemulihan hak secara adil. Dan untuk mencapai keadilan itu hakekat tugas dan fungsi dari Hakim adalah melakukan penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Dan untuk memperoleh sebuah putusan pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang bersifat intelektual rasional, rasional logis, intuitif dan ethis serta divinatoris. Metode pendekatan tersebut oleh Soejono K.S disebutnya sebagai "METODE ONTOLOGIS”.[15]
Aspek intelektual rasional, maksudnya Hakim sebagai subyek penemuan hukum seharusnya mengenal dan memahami fakta/kenyataan kejadiannya dan peraturan hukumnya yang berlaku yang akan diterapkan sesuai ilmunya. Intelektual logis, artinya dalam penerapan aturan hokum normatif terhadap kasus posisi yang dihadapi, seharusnya mengindahkan hukum logika baik yang formil maupun yang materiil. Sedangkan aspek Intuitif, mendambakan perasaan halus murni yang mendampingi ratio dan logika sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan yang pada akhirnya senantiasa diujikan dan dibimbing oleh hati nurani, sehingga mengejawantahkan keadilan yang bersifat universal.
Aspek terakhir itulah yang memberikan watak irasionil pada penemuan hukum. Aspek itu pula yang menterjemahkan aspek ethis sehingga mampu menerima hidayah dan inayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang menurut Soejono yang memberikan corak divinatoris. Karena penemuan hukum yang semata-mata hanya mengandalkan intuisi dan rasa hukum belaka terlalu rawan dan gawat emosionil dalam menghadapi kekerasan dan kepahitan kenyataan kehidupan. Karena rasa hukum itu sendiri bukanlah fungsi dari jiwa manusia yang mampu melepaskan diri dari pelbagai motif irrasionil yang dapat mempengaruhi subyek penemu hukum (hakim) dalam mengambil keputusan.
Penemuan hukum melalui putusan peradilan dengan menggunakan metode Ontologis itu secara struktural dan fungsional akan mampu mewujudkan hasil karya putusan yang memenuhi syarat fundamental dari suatu putusan ideal yakni adil, dan gesetzkonform atau systeem consistent yaitu sesuai sistem hukum yang berlaku dinegara yang bersangkutan, baik peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Proses penemuan hukum itu sendiri terdiri dari 2 bagian yaitu : Pertama fase heuristik/pencarian (context of discovery) yaitu proses pencarian mengenai fakta-fakta yang juridis relevant dan pasal-pasal UU atau peraturan hukum yang bersangkut paut dengan mengesampingkan subyektifitas/kesan pribadi maupun bisikan hati atau ilham. Dan kedua fase legitimasi (context of justification) yang merupakan konstruksi pembenaran juridis kemudian setelah diperoleh kesan pribadi yang membentuk pra putusan.
Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti atau error juris) pada fase heuristik. Namun pada fase legitimasi, khususnya yang didahului oleh kesan pribadi yang lalu membentuk pra putusan yang diperoleh secara intuitif segera setelah konfrontasi dengan kasus/perkara yang bersangkutan kemungkinan akan menjadi amat subyektif.
Sedangkan putusan hakim hendaknya bersifat rasional, dapat dipertanggungjawabkan (dapat dikontrol/ditelusur/dilacak/dianalisa lagi dan9 dipahami) perihal segi adilnya dan serasi pada sistem hukumnya, terutama akseptabel/dapat diterima oleh para pencari keadilan (justitiabelen) dan dapat benar-benar dipahami pula oleh masyarakat yang merupakan auditorium yang dirangkum oleh kultur hukumnya.[16]
Hakim yang besar menurut Soejono, adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati nuraninya yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum serta mengandung penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Kendala yang timbul dalam penegakan hukum cq. Penemuan hukum oleh Hakim bisa bersifat obyektif dan subyektif atau bahkan kedua-duanya. Pada pihak obyeknya yakni masalah/perkara yang diperiksa dan ditangani Hakim adalah penuh kerumitan/seluk beluk dan tidak sederhana (complicated). Sedangkan dari segi subyektif yakni adanya kekeliruan dari pengambil keputusan (hakim) atau tidak proporsional metodologinya dan atau semrawut arbitrer psikologinya. Menurut Josep Esser, metodologi ilmiah akademis tidak selamanya dapat memberikan bantuan maupun pengawasan bagi pekerjaan hakim. Yang menonjol justru aspek psikologinya, walaupun diperlukan dasar penjelasan dan pertanggungjawaban rechtstheoretisnya bagi penemuan hukum.[17]
Dari segi psikologis proses terbentuknya putusan tergantung pada temperamen dan kepribadian hakim yang bersangkutan. Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti atau error juris) pada fase heuristik. Kekeringan ilmu pengetahuan dan ketandusan pengalaman dari Hakim sehingga menggunakan metodologi yang timpang, besar kemungkinan akan menghasilkan suatu putusan yang error facti dan error iuris pada fase ini. Kendala pada fase legitimasi, berupa kosntruks pembenaran segera setelah penelaahan singkat atas kasus perkara secara intuitif diperoleh pra putusan yang berwujud pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kebenaran semu, yang seringkali dodorong oleh faktor subyektif.
Kendala lain yang bercorak rechtstheoretis fundamental adalah mengenai hukum perihal konsepsi dan persepsi dalam rangka pengamalan hukum. Karenanya yang diperlukan adalah cara berpikir yuridis filosofis untuk bisa mengkaji bersama masalah penegakan hukum dan keadilan sekaligus menggalakan dan mengamalkannya.
Untuk mengatasi berbagai kendala dalam menjalankan tugas menemukan hukum, maka seorang Hakim haruslah memahami dan menguasai filosofi dalam metode penemuan hukum secara ontologis sebagaimana telah diuraikan dimuka dan menghayatinya dengan cara selalu tekun dan ajeg samadhi (sembahyang dan berdoa) atau meditasi dan kontemplasi (tafakur) serta membiasakan tidak mementingkan diri sendiri. Juga dengan menjalankan ajaran leluhur tentang sifat-sifat yang utama sebagaimana dalam Hasta Sila yaitu : 1.Heling, 2. pracaya/piyandel, 3. mituhu (senantiasa ingat dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, 4. rela/ikhlas, 5. Narimo (tidak rakus, loba, tamak serta iri dengki terhadap orang lain), 6. jujur, 7.sabar, 8. berbudi luhur.[18]
Seorang filosof Islam yang bernama Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi, juga pernah mengajarkan ajaran moral yang hampir mirip dengan hasta sila, yaitu ia mengajarkan agar hidup ini jangan terlalu zuhud tetapi jangan pula terlalu tamak. Yang baik adalah yang moderat, segala sesuatu itu hendaknya menurut kebutuhan.[19]
Dilingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang membawahi Hakim-hakim di seluruh Indonesia juga telah mengeluarkan semacam pedoman perilaku bagi Hakim yang harus ditaati oleh setiap Hakim. Pedoman itu tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung No: KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. Dalam pedoman perilaku tersebut terdapat 10 sifat utama yang harus diikuti oleh Hakim sebagai pemtus perkara dan subyek penemu hukum. Tiga diantaranya mirip dalam Hasta Sila yaitu berperilaku jujur, arif dan bijaksana, rendah hati disamping sifat lainnya yaitu berperilaku adil, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjungjung tnggi harga diri,berdisiplin tinggi dan profesional.
Sikap dan perilaku Hakim yang harus adil dan arif bijaksana seperti diatur dalam pedoman perilaku itu tentunya tidak bisa dilepaskan dari moto dan lambang dari jabatan Hakim yaitu ”Cakra”, yang merupakan senjata pamungkas Batara Kresna yang diambil dari kisah pewayangan (budaya jawa).
Dimana Kresna adalah titisan Dewa Wisnu yang berarti dewa keadilan dan kebijaksanaan. Jadi filosofi yang terkandung dalam lambang jabatan Hakim adalah sangat tinggi dan mulia yaitu seorang Hakim diharapkan memiliki sifat- sifat seperti Dewa Wisnu yaitu adil dan bijaksana dalam setiap mengambil keputusan.
Sebagai penutup tulisan ini tidak salahnya, penulis mengutip salah satu falsafah leluhur kita Ki Ronggowarsito dalam SERAT SABDA JATI yaitu dengan maksud tidak lain untuk menyelamatkan diri dan tugas agar berhasil mencapai tujuan kemaslahatan bersama. Maka setiap negarawan terutama pelaksana penegak hukum khususnya Hakim wajib mengamalkan amanat berikut ini[20]:
”Aywa pegat ngudiya ronging budyayu Marganing suka basuki Dimen luwar kang kinayun Kalis ing panggawe sisip Ingkang taberi prihatos” Yang maknanya adalah : jangan berhenti/jemu mengejar dan menghayati budi luhur nan damai, jalan kearah bahagia-gembira-selamat, agar kabul-tercapai yang dikehendaki, jauh bebas dari tingkah laku nan keliru, dan hendaklah tekun teguh ber prihatin

PENUTUP

A.     Kesimpulan
Penemuan hukum adalah suatu proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani. Dan karya itu hendaknya mampu mewujudkan putusan ideal yakni adil, sesuai hukum yang berlaku baik peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Untuk mencapai keadilan itu hakekat tugas dan fungsi dari Hakim adalah melakukan penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Dan untuk memperoleh sebuah putusan pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang proporsional yaitu tidak hanya bersifat intelektual rasional, tetapi juga rasional logis, intuitif dan ethis serta divinatoris.
Metode pendekatan tersebut dinamakan sebagai "METODE ONTOLOGIS”. Hakim yang besar adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati nuraninya yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum serta mengandung penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Untuk itu seorang Hakim wajib menghayati falsafah tentang sifat-sifat utama seorang Penemu hukum yang baik sebagaimana termuat dalam Hasta sila, lambang cakra maupun Pedoman perilaku Hakim.

B.     Saran
Seyogyanya seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum harus mempertimbangkan beberapa aspek baik yuridis maupun sosiologis. Aspek yuridis merupakan suatu hal yang dapat menciptakan kepastian hukum, sedangkan aspek sosiologis suatu hal yang menciptakan keadilan substansial apabila dalam suatu kasus di mana tidak ada peraturan yang mengatur maka seorang hakim wajib melakukan cara seperti ini, dan ini dikuatkan oleh Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman di mana dalam hal ini seorang hakim di berikan wewenang untuk melakukan penemuan hukum. Dan selanjutnya hakim tidak terlepas dari acuan landasan filsafat hukum dalam melakukan penemuan hukum dengan demikian seorang hakim yang melakukan penemuan hukum dengan melandasakan filsafat hukum tidak akan terjadi suatu kekeliruan dan peradilan yang sesat, yang bertujuan tercapainya tiga instrumen dasar hukum yang harus di capai yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam menciptakan penegakan hukum yang baik atau yang di idam – idamkan oleh setiap warga negara Indonesia, maka hakim mempunyai peranan penting di dalam terciptanya hal tersebut khususnya di dalam sistem peradilan yang ada di negara kita, dan dengan adanya Komisi Yudisial sebagai institusi di bidang pengawasan hakim maka seorang hakim di pantau dalam setiap melakukan tugas dan tanggung jawabnya di dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Lily Rasyidi, “DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM”, penerbit Alumni Bandung, 1982,
Muchsin, Prof.Dr., SH., “Sebuah Ikhtisar PIAGAM MADINAH, FILSAFAT TIMUR, FILOSOF ISLAM DAN PEMIKIRANNYA”, penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 2004.
Muchsin, Prof.Dr.,SH., “NILAI-NILAI KEADILAN ”, bahan kuliah filsafat hukum.
Soeyono Koesoemo Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, “ Dengan semangat Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”,
Soeyono Koesoemo Sisworo(2),“BEBERAPA PEMIKIRAN tentang FILSAFAT HUKUM”, penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Theo Huijbers OSC, “FILSAFAT HUKUM dalam lintasan sejarah”, penerbit yayasan Kanisius, Yogjakarta, 1982,
                                  , Filsafat Huku, Pustaka Filsafat, Kansius, Yogyakarta 1995.


[1]      Terkenal adalah perkataan I.Kant, yang diucapkan dua abad yang lampau : Noch suchen die Juristen eine Defenition zu ihrem Begriffe vom Recht (para yuris masih mencari suatu definisi bagi pengertian mereka tentang hukum). Apakah sama sekali mustahil membuat suatu definisi tentang hukum, yakni suatu perumusan yang pendek dan substansial tentang makna hukum? L.J. Van Apeldoorn menulis : tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum, yang sungguh – sungguh dapat memadai kenyataan. (Pengantar, halaman 13). Karenanya penulis ini hanya memberikan sesuatu definisi yang sangat umum sebagai pegangan bagi para pelajar di bidang hukum. Namun menurut pendapat penulis lebih tepat mengatakan, bahwa tidak mustahil membuat suatu definisi tentang hukum, hanya mustahil membuat suatu definisi yang memuaskan segala pihak. Maksud penulis menerangkan gagasan ini dalam tulisan ilmiah ini.
[2]    O. Notohamidjojo, Soal – soal. Halaman.15.
     Suatu definisi yang sedikit lebih terperinci dikemukakan oleh C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, halaman 38; hukum ini adalah himpunan peraturan – peraturan (perintah – perintah dan larangan – larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. (E.Utrecht).
[3]   Para ahli antropologi menekankan hal ini. Umpamanya Leopold Pospisil menulis, bahwa memang tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat yang tidak memiliki peraturan – peraturan yang abstrak, dianggap sebagai masyarakat tanpa hukum (halaman.97). Menurut Pospisil ‘’pengawasan sosial merupakan unsur inti dari hukum ‘’ (halaman.92). Lagipula : ‘’ciri mendasar dari fenomena yang termasuk dalam kategori konseptual ini, adalah bahwa gejala itu haruslah merupakan pengawasan sosial yang melembaga ‘’(halaman.99).
[4]    Menurut kebanyakan sarjana terdapat hukum juga dalam masyarakat non-negara, yakni lembaga – lembaga swasta. Ditulis oleh O. Notohamidjojo: suatu lembaga memiliki otonomi dalam lingkungannya sendiri, tetapi terbatas. (Makna Negara Hukum, halaman.49).
[5]    ‘’Every positive law...is set directly or circuitously, by a souvereighn individual or body, to a member or members of the independent political society wherein its author is supreme’’. Kesimpulan yang di ambil oleh Friedman memang tepat : dengan definisi ini Austin menggantikan ideal keadilan (dalam pengertian hukum yang tradisional) dengan perintah seorang yang berkuasa. (Legal Theory, halaman. 211-213).
       [6] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, “ Dengan semangat Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”, hal. 9. Lihat juga karya Soeyono K.S yang lain berupa kumpulan tulisan beliau dalam “Beberapa pemikiran tentang filsafat Hukum, penerbit Universitas Diponegoro Semarang, hal.97.
      [7] Lily Rasyidi, “DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM”, penerbit Alumni Bandung, 1982, hal.10.
   [8] Dr. Theo Huijbers OSC, “ FILSAFAT HUKUM dalam lintasan sejarah”, penerbit yayasan Kanisius, Yogjakarta, 1982, hal.273.
       [9] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.13
    [10] Soeyono Koesoemo Sisworo,(2) “ BEBERAPA PEMIKIRAN tentang FILSAFAT HUKUM” penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Hal: 57.
       [11] Prof.Dr.H.Muchsin,SH.,dalam “NILAI-NILAI KEADILAN”
       [12] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.8.
       [13] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.55.
       [14] Soeyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.14
       [15] Suyono Koesoemo Sisworo (2), opcit, hal.28-29.
       [16] Suyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.15
       [17] Suyono Koesoemo Sisworo (1), opcit, hal.17
       [18] Suyono Koesoemo Sisworo (2), opcit, hal.53-54.
      [19] Prof.Dr.Muchsin, SH., “Sebuah Ikhtisar PIAGAM MADINAH, FILSAFAT TIMUR, FILOSOF ISLAM DAN PEMIKIRANNYA”, penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 2004, hal.30.
       [20] Suyono Koesoemo Sisworo (2), opcit, hal.88.