Selasa, 29 Januari 2013

Ilmu Hukum


Pengertian Hukum
Hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai demgan kenyataan, hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.[1]
Kisch mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat dilihat atau ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum. Pengertian hukum perlu dikemukakan di sini sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya.
1.      Hukum dalam arti ilmu;
2.      Hukum dalam arti disiplin atau system ajaran tentang kenyataan;
3.      Hukum dalam arti kaedah atau norma;
4.      Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis;
5.      Hukum dalam arti keputusan pejabat;
6.      Hukum dalam arti proses pemerintahan;
7.      Hukum dalam arti perilaku yang teratur;
8.      Hukum dalam arti jalinan nilai;

Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus – menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti – hentinya dengan gejala – gejala lainnya.[2] Hukum memilik banyak dimensi yang sulit utuk disatukan, mengingat masig – masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum tersebut dapat dikelompokakan menjadi tiga (3) pengertian dasar.
1.      Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak.
2.      Hukum dilihat sebagai suatu system peraturan yang abstrak.
3.      Hukum dipahami sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat.[3]

Disisi lain hukum hendaknya dipandang dengan pengertian ketiga hal tersebut sehingga hukum tidak lagi menjadi sosok yang terkotak – kotak atau terfragmentasikan, maka hukum harus dilihat secara holistik.
           
Tujuan Hukum
Dalam literature dikenal bbeberapa teori tentang tujuan hukum. Pertama teroi etis yang mengajukan tesis bahwa hukum itu semata – mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Dengan perkataan lain, hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Salah seorang pendukung teori ini adalah Geny.[4]
Pertama, Menurut para penganut teori etis ini, bahwa hakikat keadilan itu terletak pada penilaian terhadap suatu perilaku atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakuan dan pihak yang menerima perlakuan.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam keadilan, yaitu justisia distributive yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, dan justisia commutative yang menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan).
Roscou Pound melihat keadilan dalam hasil – hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarkat, berupa pengalokasian sumber – sumber daya kepada anggota – anggota dan kelompok – kelompok masyarkat.[5]
Kedua, Teori Utillitas. Penganut teori ini, antara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak – banyaknya (the greatest happiness of the greatest number). Pada hakekatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar -  besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.
Ketiga, Teori Campuran, yang berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarkat yang teratur. Disamping ketertiban, Muctar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda – beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarkat dan zamannya. [6]
Demikian pula Purnadi Purbacaraka dam Soerjonono Soekanto berpendapat bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern  pribadi.[7]
Secara garis besar tujuan – tujuan tersebut meliputi pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagian atau kesejahteraan.

            Fungsi – fungsi Hukum
                        Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu :[8]
1.      Menetapkan hubungan – hubungan anatara para anggota masyrakat, dengan menunjukan jenis – jenis tingkah laku – tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
2.      Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi – sanksinya yang tepat dan efektif;
3.      Menyelesaikan sengketa;
4.      Memelihara kemampuan masyrakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi – kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggoat – anggota masyarakat.

Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial, demikian pula hukum berfungsi sarana memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroprasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan masyarkat.
Selanjutnya, apabila penyelengaraan keadilan dalam masyarakat yan dilakukan melalui hukum dilihat sebagai institusi sosial, maka kita mulai melihat hukum dalam kerangka yang luas, yaitu dengan melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.
Hukum sebagai ideal memiliki hubungan yang erat dengan konseptualisasi kedailan secara abstrak. Dalam rangka itu maka apa yang dilakukan oleh hukum adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh masyarakatt kedalam bentuk yang kongkrit berupa pembagian maupun pengolahan sumber – sumber daya kepada masyarkat.
Selanjutnya Aubert sebagaiaman dikutip Gunther Teubner, menambahkan lagi fungsi hukum yang bersifat prevention to promotion, yang pararel dengan konsepnya Brockman dan Ewald, yakni socialization of law. Konsep ini pun sejalan dengan pandangan Luhman tentang konsep hukum sebagai social engineering as a political approach to law,  dan pandangan Heller yang melihat hukum setara dengan positive state.[9]
           
            Hukum Sebagai Suatu Sistem Norma
Apapun namanya maupun fungsinya apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma. Pemahanan yang demikian itu menjadi penting, karena dalam menjalanakan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dihendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai subsistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.
Oleh karena itu hukum juga dipandang sebagai suatu sistem, maka untuk dpat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Lawrence M, Friedman bahwa hukum itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur.[10]
1.      Komponen strukttur;
2.      Komponen substantive;
3.      Komponen kultur;

Komponen kultur hukum ini hendaknya dibedakan antara Internal legal culture yaitu kultur hukum para lawyers and judges dan external culture yaitu kultur hukum masyarkatluas.[11]
Delapan (8) azas atau principle of legalitiy :
1.      Sistem hukum harus mengandung peraturan – peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan – keputusan yang bersifat ad hoc.
2.      Peraturan – peraturan yang telah dibuat itu harus dirumuskan.
3.      Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4.      Peraturan – peraturan disusun dalam rumusan yang bias dimengerti.
5.      Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan – peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6.      Peraturan – peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.      Peraturan tidak boleh sering dirubah – rubah.
8.      Harus ada kecocokan anatara peraturan yang diundankan dengan pelaksanaannya sehari – hari.

Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (norma dasar), dan grundnorm pada dasarnya tidak berubah – ubah. Untuk mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem norma, maka Kelsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis.
Hukum positif  hanyalah perwujudan dari adanya norma – norma dan rangka untuk menyampaikan norma – norma hukum. Akhirnya norma – norma yang terkandung dalam hukum positif itu pun harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling mendasar yaitu Grundnorm.

                        Simpulan
Bertolak dari rangkaian pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam perumusannya sebagai hukum positif harus dipahamai suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentanggan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman itu semakin penting artinya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan (eksistensi) hukum sebagai suatu sistem norma mempunyai daya guna dalam menjalankan tugasnya di masyarkat.


[1]  Sudikno Mertokusumo,  Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberti, 1986, halaman 37.
[2]  C. Van Vollen Hoven,  Penemuan Hukum Adat, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1981, hlaman 6.
[3]  Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung:Penerbit Alumni, 1986 halaman 5-6.
[4] Sudikno Mertokusumo, op.cit, halaman 57.
[5] Satjipto Rahardjo, op.cit, 1986, halaman 50.
[6] Ibid, halaman 50.
[7] Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung ; Alumni, 1978, halaman 67.
[8] Edwin M.Schur, Law and Society: A Sociological View, New York: Random House 1968, halaman 79-82.
[9] Gunther Teubner, The Transformation of Law in Welfare State, Dilemmas of Law in the Welfare State, Walter de Gruyter & Co, Berlin, 1985, halaman 5.
[10] Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York : Russel Sage Foundation, 1986, halaman 17.
[11] Ibid, halaman 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar