Pengertian
Hukum
Hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai
demgan kenyataan, hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk,
sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta
meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin
membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.[1]
Kisch mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat dilihat atau ditangkap
oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum
yang memuaskan umum. Pengertian hukum perlu dikemukakan di sini sebagai titik
tolak pembahasan selanjutnya.
1. Hukum dalam arti
ilmu;
2. Hukum dalam arti
disiplin atau system ajaran tentang kenyataan;
3. Hukum dalam arti
kaedah atau norma;
4. Hukum dalam arti
tata hukum atau hukum positif tertulis;
5. Hukum dalam arti
keputusan pejabat;
6. Hukum dalam arti
proses pemerintahan;
7. Hukum dalam arti
perilaku yang teratur;
8. Hukum dalam arti
jalinan nilai;
Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan
hidup yang bergolak terus – menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa
henti – hentinya dengan gejala – gejala lainnya.[2]
Hukum memilik banyak dimensi yang sulit utuk disatukan, mengingat masig –
masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian
hukum tersebut dapat dikelompokakan menjadi tiga (3) pengertian dasar.
1. Hukum dipandang
sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak.
2. Hukum dilihat
sebagai suatu system peraturan yang abstrak.
3. Hukum dipahami
sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat.[3]
Disisi lain hukum hendaknya dipandang dengan pengertian ketiga hal
tersebut sehingga hukum tidak lagi menjadi sosok yang terkotak – kotak atau
terfragmentasikan, maka hukum harus dilihat secara holistik.
Tujuan
Hukum
Dalam literature dikenal bbeberapa teori tentang tujuan hukum. Pertama
teroi etis yang mengajukan tesis bahwa hukum itu semata – mata bertujuan untuk
menemukan keadilan. Dengan perkataan lain, hukum bertujuan untuk merealisasikan
atau mewujudkan keadilan. Salah seorang pendukung teori ini adalah Geny.[4]
Pertama, Menurut para
penganut teori etis ini, bahwa hakikat keadilan itu terletak pada penilaian
terhadap suatu perilaku atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang
terlibat, yaitu pihak yang memperlakuan dan pihak yang menerima perlakuan.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam keadilan, yaitu justisia distributive yang menghendaki
setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, dan justisia commutative yang menghendaki setiap orang mendapatkan hak
yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan).
Roscou Pound melihat keadilan dalam hasil – hasil konkrit yang dapat
diberikan kepada masyarkat, berupa pengalokasian sumber – sumber daya kepada
anggota – anggota dan kelompok – kelompok masyarkat.[5]
Kedua, Teori
Utillitas. Penganut teori ini, antara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa
tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam
jumlah yang sebanyak – banyaknya (the
greatest happiness of the greatest number). Pada hakekatnya hukum
dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar -
besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.
Ketiga, Teori Campuran,
yang berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena
itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarkat yang teratur.
Disamping ketertiban, Muctar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari
hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda – beda (baik isi maupun
ukurannya) menurut masyarkat dan zamannya. [6]
Demikian pula Purnadi Purbacaraka dam Soerjonono Soekanto berpendapat
bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban
ekstern antar pribadi dan ketenangan intern
pribadi.[7]
Secara garis besar tujuan – tujuan tersebut meliputi pencapaian suatu
masyarakat yang tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan
kemakmuran dan kebahagian atau kesejahteraan.
Fungsi – fungsi Hukum
Hoebel
menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu :[8]
1. Menetapkan
hubungan – hubungan anatara para anggota masyrakat, dengan menunjukan jenis –
jenis tingkah laku – tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang
dilarang;
2. Menentukan
pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan serta siapakah
yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi – sanksinya yang tepat
dan efektif;
3. Menyelesaikan
sengketa;
4. Memelihara
kemampuan masyrakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi – kondisi kehidupan
yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara
anggoat – anggota masyarakat.
Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku
sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial,
demikian pula hukum berfungsi sarana memperlancar proses interaksi sosial,
yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang
bersifat umum dan beroprasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan
masyarkat.
Selanjutnya, apabila penyelengaraan keadilan dalam masyarakat yan
dilakukan melalui hukum dilihat sebagai institusi sosial, maka kita mulai
melihat hukum dalam kerangka yang luas, yaitu dengan melibatkan berbagai proses
dan kekuatan dalam masyarakat.
Hukum sebagai ideal memiliki hubungan yang erat dengan konseptualisasi
kedailan secara abstrak. Dalam rangka itu maka apa yang dilakukan oleh hukum
adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh masyarakatt
kedalam bentuk yang kongkrit berupa pembagian maupun pengolahan sumber – sumber
daya kepada masyarkat.
Selanjutnya Aubert sebagaiaman dikutip Gunther Teubner, menambahkan lagi
fungsi hukum yang bersifat prevention to
promotion, yang pararel dengan konsepnya Brockman dan Ewald, yakni socialization of law. Konsep ini pun
sejalan dengan pandangan Luhman tentang konsep hukum sebagai social engineering as a political approach
to law, dan pandangan Heller yang
melihat hukum setara dengan positive
state.[9]
Hukum Sebagai Suatu Sistem Norma
Apapun namanya maupun fungsinya apa saja yang hendak dilakukan oleh
hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu sistem, yaitu
sebagai sistem norma. Pemahanan yang demikian itu menjadi penting, karena dalam
menjalanakan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dihendaki secara
efektif, hukum harus dilihat sebagai subsistem dari suatu sistem yang besar
yaitu masyarakat atau lingkungannya.
Oleh karena itu hukum juga dipandang sebagai suatu sistem, maka untuk
dpat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Lawrence M, Friedman bahwa
hukum itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur.[10]
1. Komponen
strukttur;
2. Komponen
substantive;
3. Komponen kultur;
Komponen kultur hukum ini hendaknya dibedakan antara Internal legal culture yaitu kultur
hukum para lawyers and judges dan external culture yaitu kultur hukum
masyarkatluas.[11]
Delapan (8) azas atau principle of
legalitiy :
1. Sistem hukum
harus mengandung peraturan – peraturan artinya ia tidak boleh mengandung
sekedar keputusan – keputusan yang bersifat ad
hoc.
2. Peraturan –
peraturan yang telah dibuat itu harus dirumuskan.
3. Peraturan tidak
boleh berlaku surut.
4. Peraturan –
peraturan disusun dalam rumusan yang bias dimengerti.
5. Suatu sistem
tidak boleh mengandung peraturan – peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan –
peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.
7. Peraturan tidak
boleh sering dirubah – rubah.
8. Harus ada
kecocokan anatara peraturan yang diundankan dengan pelaksanaannya sehari –
hari.
Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (norma dasar), dan grundnorm
pada dasarnya tidak berubah – ubah. Untuk mengatakan bahwa hukum merupakan
suatu sistem norma, maka Kelsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris
dan dapat ditelaah secara logis.
Hukum positif hanyalah perwujudan
dari adanya norma – norma dan rangka untuk menyampaikan norma – norma hukum.
Akhirnya norma – norma yang terkandung dalam hukum positif itu pun harus dapat
ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling mendasar yaitu Grundnorm.
Simpulan
Bertolak dari rangkaian pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa pada
dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan – tujuan
yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam perumusannya sebagai hukum
positif harus dipahamai suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk
menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentanggan antara norma hukum yang
lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman itu
semakin penting artinya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan
(eksistensi) hukum sebagai suatu sistem norma mempunyai daya guna dalam
menjalankan tugasnya di masyarkat.
[7] Purnadi Purbacaraka & Soerjono
Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung
; Alumni, 1978, halaman 67.
[8] Edwin
M.Schur, Law and Society: A Sociological
View, New York: Random House 1968, halaman 79-82.
[9] Gunther
Teubner, The Transformation of Law in Welfare State, Dilemmas of Law in the Welfare State, Walter de Gruyter & Co,
Berlin, 1985, halaman 5.
[10] Lawrence
M. Friedman, The Legal System: A Social
Science Perspective, New York : Russel Sage Foundation, 1986, halaman 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar