PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
Memang sulit
menemukan suatu definisi tentang hukum yang disetujui semua ahli hukum. Kiranya
itulah sesuatu mustahil. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita tidak
mengetahui tentang arti hukum. Hukum itu bukan lagi sesuatu yang mistik seperti
pada zaman purbakala, melainkan sesuatu yang rasional yang dijangkau oleh tiap
– tiap orang yang hidup dalam masyarakat secara sadar. Karenanya semua orang
bicara tentang hukum, dan mengerti tentang apa mereka berbicara.
Kesulitan timbul,
bila orang ingin mengerti tentang hukum secara lebih mendalam. Ternyata arti
hukum begitu kompleks sehingga macam – macam teori yang berbeda – beda masih
dapat dianut samapai abad XX ini.[1]
Bila kita menghadap
hukum, pertama – tama kita insyaf bahwa hukum harus dikaitkan dengan kehidupan
sosial : ‘’hukum adalah pertama – tama penataan hidup sosial’’.[2]
Perumusan ini masih sangat abstrak, akan tetapi justru karenanya meliputi macam
– macam bentuk hukum. Bila hukum ditanggapi lebih kongkret, pengertiannya
berbeda – beda. Hal ini
paling tampak, bisa kita membandingkan pengertian hukum pada zaman primitif. Penataan
hidup bersama primitif, yang diselidiki dalam antropologi hukum, berlainan
dengan penataan hidup bersama kita. Namun sewajarnya hukum primitif disebut
hukum juga.[3]
Namun dengan
membatasi makna hukum yang hakiki pada undang – undang Negara, pengertian dasar
yang abstrak tentang hukum tidak hilang. Peraturan – peraturan yang mengatur
kehidupan orang – orang dalam masyarkat, baik masyarakat besar, seperti Negara,
maupun masyarakat kecil, seperti perkumpulan dan lembaga swasta, sewajarnya
kedua – keduanya disebut hukum.[4]
Bila kita
mengikuti pandangan modern ini yang kiranya sulit untuk ditantang maka :
1.
Bidang
yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur Negara.
Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu Negara.
2.
Hukum
mengandung arti kemajukan, sebab terdapat beberapa bidang hukum disamping
Negara, walaupun bidang – bidang itu tidak mempunyai hukum dalam arti yang
penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari Negara
dan yang dikukuhkan oleh Negara. Hukum – hukum lain tetap dapat disebut hukum,
tetapi mereka tidak mempunyai arti yuridis yang sesungguhnya.
Bahwa hukum
adalah pertama – tama tata hukum Negara, paling nampak dalam aliran
positivisme, pada khususnya pada John Austin (analytical legal positivism). Austin bertolak dari kenyataan bahwa
terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintah – perintah, dan bahwa ada
orang yang pada umumnya metaati perintah – perintah tersebut. Tidak penting
mengapa orang mentaati perintah – perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati
sebab merasa berwajib memeperhatikan kepentingan umum, ada yang mentaati sebab
takut akan kekacauan, ada yang mentaati
sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan
sanksi.
Maka untuk dapat
disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur – unsur yang berikut :
seorang penguasa (souvereighnity), suatu
perintah (command), kewajiban untuk
mentaati (duty), sanksi bagi mereka
yang tidak taat (sanction). Dengan
demikian Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang
sebagai pokok utama segala hukum dengan perintah seorang yang berkuasa.
Definisi Austin tentang hukum berbunyi, hukum adalah tiap – tiap undang –
undang positif yang ditentukan secara langsung atau tidak langsung oleh seorang
pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota
– anggota suatu masyarakat politik yang berdaulat, dimana yang membentuk adalah
yang tertinggi.[5]
Indonesia
sebagai negara hukum menganur system hukum Civil Law (Eropa Continental) yang
diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Oleh karena dalam
System Civil Law salah satu karakteristiknya adalah mengutamakan hukum tertulis
sebagai sumber hukum, maka dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia juga mengutamakan
peraturan tertulis (Undang-undang) sebagai hukum. Akibatnya sesuai dengan
ajaran Legisme, muara penegakan hukum terutama putusan pengadilan masih
bersifat formal legalisme, yang dikejar adalah keadilan formal sesuai UU. Dan
dalam prakteknya produk hukum yang bersifat formal legalistic itu sering tidak
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hakim sebagai
penegak hukum dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan, sering
menghadapi kenyataan bahwa ternyata hukum tertulis (Undang-undang) tidak selalu
dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Bahkan seringkali atas inisiatif
sendiri hakim harus menemukan hukumnya (rechtsvinding) dan atau menciptakan
hukum (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada. Karena sesuai UU
kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya
tidak ada, tidak lengkap atau hukumnya masih samar.
Disinilah letak
pentingnya penemuan hukum oleh Hakim,
untuk mengisi kekosongan hukum sehingga tercipta putusan Pengadilan yang baik
yang dapat digunakan sebagai sumber pembaharuan hukum atau perkembangan ilmu
hukum. Permasalahannya adalah bagaimana seharusnya seorang Hakim berfikir dalam
rangka penemuan hukum agar dapat menghasilkan putusan yang berkualitas dalam
setiap menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Tentunya Hakim sebagai lembaga
pengadil dalam setiap putusannya harus senantiasa mengisi kekosongan hukum
melalui proses berfikir tidak hanya berdasarkan Ilmu hukum dan berbagai
ilmu-ilmu bantuannya tetai juga melibatkan Filsafat hukum dan teori hukum. Hakim
dalam memutus sengketa tidak boleh hanya membaca teks-teks formal UU secara
normatif melainkan harus mampu merenungkan hal-hal yang melatarbelakangi ketentuan
tertulis secara filsafat dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat
akan hal itu. Disinilah pentingnya seorang Hakim harus menghayati dan mendalami
filsafat hukum dalam setiap langkahnya menemukan hukum.
Peranan Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum Yang
Diberikan Wewenang Oleh Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Dalam Telaah Filsafat Hukum
Hakim
merupakan salah satu catur wangsa dalam sistem penegakan hukum, yang mempunyai
tugas pokok menerima, memeriksa dan memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu seorang Hakim mempunyai peran yang
sangat penting dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya.
Sehingga para pencari keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat
diputus oleh Hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi
sehingga putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut
hukum) tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social
justice (keadilan masyarakat).
Begitu pentingnya peran Hakim dalam penegakan hukum,
sehingga dalam Hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (ius curia
novit) yang akan menentukan hitam putihnya hukum melalui putusannya. Namun dalam
prakteknya penegakan hukum sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur
dalam dalam perundang-undangan. Atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap
dan tidak jelas, karena memang tidak ada satu hukum atau UU mengatur yang
selengkap-lengkapnya mengingat masyarakat yang diatur oleh hukum senantiasa
berubah (dinamis).
Oleh karena itu kekurangan atau ketidaklengkapan
aturan hukum atau Undang-undang harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum
agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dan subyek yang
memiliki wewenang dalam menegakan hukum cq.menemukan hukum itu adalah Hakim.
Pada hakekatnya semua perkara yang harus diselesaikan
oleh Hakim di Pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya
dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan
putusan yang ideal, yang mengandung aspek juridis(kepastian), filosofis
(keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis).
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh
Hakim melalui penemuan hukum itu termasuk obyek pokok dari telaah filsafat
hukum. Disamping masalah lainnya seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan
hukum dan berlakunya hukum.[6]
Sedangkan menurut Lili Rasyidi, obyek pembahasan
filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan hukum
melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam masyarakat dan
memerlukan pemecahan. Masalah itu antara lain : (1) hubungan hukum dengan
kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa
sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum
; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak
; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat(socialengineering).[7]
Sedangkan menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol
dalam telaah filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan
hukum alam serta prinsip etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan
masyarakat, pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi
manusia.[8]
Dengan demikian dalam menjalankan tugasnya memeriksa
dan memutus perkara terutama dalam menemukan hukum dan nilai-nilai keadilan,
seorang Hakim dituntut selain menguasai teori ilmu hukumnya juga harus
menguasai filsafat hukum. Namun tidak mudah bagi seorang Hakim untuk membuat
putusan yang idealnya harus memenuhi unsur filsafat seperti Keadilan
(filosofis), kepastian hukum(juridis) dan kemanfaatan(sosiologis) sekaligus.
Oleh karena itulah diperlukan keberanian Hakim melalui diskresi/kewenangan yang
dimilikinya untuk dapat menemukan hukumnya (rechtsfinding) berdasarkan
pendekatan yang lebih komprehensif dan integral melalui analisis filsafat.
Sebagai praktisi yang menekuni dunia hukum, seorang
Hakim dapat memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui putusannya dengan
tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat hukum
yang bercorak tidak semata-mata logis-rasional-intelektual tetapi sekaligus
ethis, intuitif dan bahkan divinatoris, yakni mempertaruhkan dan melibatkan
panca indera bathin/sensus interior yang khusuk tinarbuka dan siap menerima
hidayah, inayah Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan
berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat
dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar
atau pemecahan terhadap permasalahan yang harus dihadapi Hakim dalam proses
menemukan hukum.
Karya dan proses pemikiran dan penggarapan atas suatu
masalah hukum konkrit dengan menggunakan suatu atau pelbagai metode
interpretasi hingga sampai kepada kesimpulan dan keputusan itulah merupakan
pokok pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding) dari pelbagai kepustakaan.[9]
Sedangkan hakekat tugas dan fungsi Hakim adalah melakukan penemuan hukum dengan
hasil keputusan hati nurani terhadap perkara yang diajukan kepadanya untuk
diperiksa dan diadili. Suyono membedakan definisi penemuan hukum dalam arti
umum dan dalam arti khusus sebagai berikut.[10]
Definisi yang umum penemuan hukum, adalah keseluruhan
proses berpikir dari seorang juris, yang dengan menggunakan suatu metode
interpretasi menghantarkan dan membawanya kepada suatu putusan hukum atau
pengembangan dan pertumbuhan hukum.
Definisi yang khusus, penemuan hukum adalah proses dan
karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar dan tidak benar menurut
hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani.
Dan karya itu bersifat intelektual, rasional, logis,
intuitif dan ethis Idealnya setiap pelaku penemuan hukum, khususnya Hakim harus
mampu ber ”triwikrama”, yaitu yang secara fundamental proporsional memahami dan
menguasai Trilogi Dunia hukum yang meliputi faktisitas normativitas dan
idealitas hukum in abstracto dan in concreto setiap kali menghadapi perkara
untuk diperiksa dan diadili. Dengan demikian fungsi
Hakim dalam triwikrama adalah :
1. Hakim sebagai corong yang menyuarakan
Undang-undang.
2. Hakim sebagai penterjemah dan penyambung lidah
Undang-undang.
3.
Hakim sebagai manusia susila yang berpikir dan menimbang demi dan menurut keadilan.
(bandingkan dengan ajaran G.J.WIARDA tentang tipologi
penemuan hukum dalam bukunya ”drie typen van rechtsvinding”.
Dalam praktek
ternyata masih banyak Hakim yang masuk dalam golongan pertama yaitu yang
berpendirian segala sesuatu tentang hukum sudah termuat dalam Undang-undang
sehingga cukup menerapkannya secara sillogisme dan berasumsi akan diperoleh
putusan yang benar atas suatu kasus yang dihadapi. Masih sedikit diantara
Hakim-hakim kita yang mampu secara mandiri berkarya sebagai penerjemah dan
penyambung lidah Undang-undang.Apalagi mampu berpikir sebagai manusia berbudi
dalam menimbang dan berfikir secara adil dan bijaksana.
Sesungguhnya secara
filsafati konsepsi tersebut masing-masing adalah identik dengan cita/tujuan
dari hukum yang tidak lain adalah keadilan yang komponennya terdiri dari
kepastian hukum, kegunaan menurut tujuan dan keadilan dalam arti sempit.
Sebagaimana dikemukakan Prof.Dr.H.Muchsin, SH. Bahwa keadilan merupakan salah
satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan
hukum. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun
keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan
kewajiban.[11]
Demikian sentral
dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga
Gustav Radbruch menyatakan ” rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah
kehendak demi untuk keadilan).[12]
Sedangkan Soejono
K.S mendefinisikan Keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang
memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran
yang beriklim toleransi dan kebebasan.[13]
Penegakan hukum
oleh Hakim pada hakekatnya adalah pelaksanaan atau pengamalan hukum yang
menurut Soejono K.S. termasuk obyek telaah filsafat hukum. Dalam melaksanakan
tugas menerapkan hukum yang dilandasi dengan penafsiran hukum secara filsafati
itulah dinamakan Hakim telah melakukan penemuan hukum. Jadi penemuan hukum itu
adalah salah satu wujud dari penegakan hukum oleh Hakim.
Menurut Paul
Scholten, penemuan hukum itu senantiasa merupakan karya yang bersifat
intelektuil sekaligus intuitif susila. Sedangkan menurut Esser, penemuan hukum
tidaklah pernah semata-mata pekerjaan subsumsi. Lebih fundamentil penemuan
hukum sebagai hasil/resultante cq. Putusan hakim sebagai ”gewetensbeslissing”
(putusan hati nurani) menurut konsepsi Scholten.[14]
Seperti telah
dikemukakan dimuka bahwa tujuan peradilan tidak dapat lain kecuali pemulihan
hak secara adil. Dan untuk mencapai keadilan itu hakekat tugas dan fungsi dari
Hakim adalah melakukan penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap
perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Dan untuk
memperoleh sebuah putusan pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam
proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan
pendekatan yang bersifat intelektual rasional, rasional logis, intuitif dan
ethis serta divinatoris. Metode pendekatan tersebut oleh Soejono K.S disebutnya
sebagai "METODE ONTOLOGIS”.[15]
Aspek intelektual
rasional, maksudnya Hakim sebagai subyek penemuan hukum seharusnya mengenal dan
memahami fakta/kenyataan kejadiannya dan peraturan hukumnya yang berlaku yang
akan diterapkan sesuai ilmunya. Intelektual logis, artinya dalam penerapan
aturan hokum normatif terhadap kasus posisi yang dihadapi, seharusnya
mengindahkan hukum logika baik yang formil maupun yang materiil. Sedangkan
aspek Intuitif, mendambakan perasaan halus murni yang mendampingi ratio dan
logika sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan yang pada akhirnya senantiasa
diujikan dan dibimbing oleh hati nurani, sehingga mengejawantahkan keadilan
yang bersifat universal.
Aspek terakhir
itulah yang memberikan watak irasionil pada penemuan hukum. Aspek itu pula yang
menterjemahkan aspek ethis sehingga mampu menerima hidayah dan inayah dari Tuhan
Yang Maha Esa. Inilah yang menurut Soejono yang memberikan corak divinatoris.
Karena penemuan hukum yang semata-mata hanya mengandalkan intuisi dan rasa
hukum belaka terlalu rawan dan gawat emosionil dalam menghadapi kekerasan dan kepahitan
kenyataan kehidupan. Karena rasa hukum itu sendiri bukanlah fungsi dari jiwa
manusia yang mampu melepaskan diri dari pelbagai motif irrasionil yang dapat
mempengaruhi subyek penemu hukum (hakim) dalam mengambil keputusan.
Penemuan hukum
melalui putusan peradilan dengan menggunakan metode Ontologis itu secara struktural
dan fungsional akan mampu mewujudkan hasil karya putusan yang memenuhi syarat
fundamental dari suatu putusan ideal yakni adil, dan gesetzkonform atau systeem
consistent yaitu sesuai sistem hukum yang berlaku dinegara yang bersangkutan, baik
peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Proses penemuan
hukum itu sendiri terdiri dari 2 bagian yaitu : Pertama fase
heuristik/pencarian (context of discovery) yaitu proses pencarian mengenai
fakta-fakta yang juridis relevant dan pasal-pasal UU atau peraturan hukum yang
bersangkut paut dengan mengesampingkan subyektifitas/kesan pribadi maupun
bisikan hati atau ilham. Dan
kedua fase legitimasi (context of justification) yang merupakan konstruksi
pembenaran juridis kemudian setelah diperoleh kesan pribadi yang membentuk pra
putusan.
Bagi hakim yang
kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan
atau kekeliruan (error facti atau error juris) pada fase heuristik. Namun pada
fase legitimasi, khususnya yang didahului oleh kesan pribadi yang lalu
membentuk pra putusan yang diperoleh secara intuitif segera setelah konfrontasi
dengan kasus/perkara yang bersangkutan kemungkinan akan menjadi amat subyektif.
Sedangkan putusan
hakim hendaknya bersifat rasional, dapat dipertanggungjawabkan (dapat
dikontrol/ditelusur/dilacak/dianalisa lagi dan9 dipahami) perihal segi adilnya
dan serasi pada sistem hukumnya, terutama akseptabel/dapat diterima oleh para
pencari keadilan (justitiabelen) dan dapat benar-benar dipahami pula oleh
masyarakat yang merupakan auditorium yang dirangkum oleh kultur hukumnya.[16]
Hakim yang besar
menurut Soejono, adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati nuraninya
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum serta mengandung
penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat
dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Kendala yang timbul
dalam penegakan hukum cq. Penemuan hukum oleh Hakim bisa bersifat obyektif dan
subyektif atau bahkan kedua-duanya. Pada pihak obyeknya yakni masalah/perkara
yang diperiksa dan ditangani Hakim adalah penuh kerumitan/seluk beluk dan tidak
sederhana (complicated). Sedangkan dari segi subyektif yakni adanya kekeliruan
dari pengambil keputusan (hakim) atau tidak proporsional metodologinya dan atau
semrawut arbitrer psikologinya. Menurut Josep Esser, metodologi ilmiah akademis
tidak selamanya dapat memberikan bantuan maupun pengawasan bagi pekerjaan
hakim. Yang menonjol justru aspek psikologinya, walaupun diperlukan dasar
penjelasan dan pertanggungjawaban rechtstheoretisnya bagi penemuan hukum.[17]
Dari segi
psikologis proses terbentuknya putusan tergantung pada temperamen dan kepribadian
hakim yang bersangkutan. Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam
bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti
atau error juris) pada fase heuristik. Kekeringan ilmu pengetahuan dan
ketandusan pengalaman dari Hakim sehingga menggunakan metodologi yang timpang, besar
kemungkinan akan menghasilkan suatu putusan yang error facti dan error iuris
pada fase ini. Kendala pada fase legitimasi, berupa kosntruks pembenaran segera
setelah penelaahan singkat atas kasus perkara secara intuitif diperoleh pra
putusan yang berwujud pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kebenaran semu,
yang seringkali dodorong oleh faktor subyektif.
Kendala lain yang
bercorak rechtstheoretis fundamental adalah mengenai hukum perihal konsepsi dan
persepsi dalam rangka pengamalan hukum. Karenanya yang diperlukan adalah cara berpikir
yuridis filosofis untuk bisa mengkaji bersama masalah penegakan hukum dan
keadilan sekaligus menggalakan dan mengamalkannya.
Untuk mengatasi
berbagai kendala dalam menjalankan tugas menemukan hukum, maka seorang Hakim haruslah
memahami dan menguasai filosofi dalam metode penemuan hukum secara ontologis
sebagaimana telah diuraikan dimuka dan menghayatinya dengan cara selalu tekun
dan ajeg samadhi (sembahyang dan berdoa) atau meditasi dan kontemplasi
(tafakur) serta membiasakan tidak mementingkan diri sendiri. Juga dengan
menjalankan ajaran leluhur tentang sifat-sifat yang utama sebagaimana dalam
Hasta Sila yaitu : 1.Heling, 2. pracaya/piyandel, 3. mituhu (senantiasa ingat
dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, 4. rela/ikhlas, 5. Narimo (tidak rakus,
loba, tamak serta iri dengki terhadap orang lain), 6. jujur, 7.sabar, 8. berbudi
luhur.[18]
Seorang filosof
Islam yang bernama Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi, juga pernah
mengajarkan ajaran moral yang hampir mirip dengan hasta sila, yaitu ia
mengajarkan agar hidup ini jangan terlalu zuhud tetapi jangan pula terlalu
tamak. Yang baik adalah
yang moderat, segala sesuatu itu hendaknya menurut kebutuhan.[19]
Dilingkungan
kekuasaan kehakiman sendiri, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi
yang membawahi Hakim-hakim di seluruh Indonesia juga telah mengeluarkan semacam
pedoman perilaku bagi Hakim yang harus ditaati oleh setiap Hakim. Pedoman itu tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah
Agung No: KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. Dalam pedoman
perilaku tersebut terdapat 10 sifat utama yang harus diikuti oleh Hakim sebagai
pemtus perkara dan subyek penemu hukum. Tiga diantaranya mirip dalam Hasta Sila
yaitu berperilaku jujur, arif dan bijaksana, rendah hati disamping sifat lainnya
yaitu berperilaku adil, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab,
menjungjung tnggi harga diri,berdisiplin tinggi dan profesional.
Sikap dan
perilaku Hakim yang harus adil dan arif bijaksana seperti diatur dalam pedoman
perilaku itu tentunya tidak bisa dilepaskan dari moto dan lambang dari jabatan
Hakim yaitu ”Cakra”, yang merupakan senjata pamungkas Batara Kresna yang
diambil dari kisah pewayangan (budaya jawa).
Dimana Kresna
adalah titisan Dewa Wisnu yang berarti dewa keadilan dan kebijaksanaan. Jadi
filosofi yang terkandung dalam lambang jabatan Hakim adalah sangat tinggi dan
mulia yaitu seorang Hakim diharapkan memiliki sifat- sifat seperti Dewa Wisnu
yaitu adil dan bijaksana dalam setiap mengambil keputusan.
Sebagai penutup
tulisan ini tidak salahnya, penulis mengutip salah satu falsafah leluhur kita
Ki Ronggowarsito dalam SERAT SABDA JATI yaitu dengan maksud tidak lain untuk
menyelamatkan diri dan tugas agar berhasil mencapai tujuan kemaslahatan
bersama. Maka setiap negarawan terutama pelaksana penegak hukum khususnya Hakim
wajib mengamalkan amanat berikut ini[20]:
”Aywa pegat ngudiya
ronging budyayu Marganing suka basuki Dimen luwar kang kinayun Kalis ing
panggawe sisip Ingkang taberi prihatos” Yang maknanya adalah : jangan
berhenti/jemu mengejar dan menghayati budi luhur nan damai, jalan kearah
bahagia-gembira-selamat, agar kabul-tercapai yang dikehendaki, jauh bebas dari
tingkah laku nan keliru, dan hendaklah tekun teguh ber prihatin
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penemuan hukum
adalah suatu proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar
dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada
hati nurani. Dan karya itu hendaknya mampu mewujudkan putusan ideal yakni adil,
sesuai hukum yang berlaku baik peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis
atau azas-azas hukumnya.
Untuk mencapai
keadilan itu hakekat tugas dan fungsi dari Hakim adalah melakukan penemuan
hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan
kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Dan untuk memperoleh sebuah putusan
pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya
penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang proporsional
yaitu tidak hanya bersifat intelektual rasional, tetapi juga rasional logis,
intuitif dan ethis serta divinatoris.
Metode pendekatan
tersebut dinamakan sebagai "METODE ONTOLOGIS”. Hakim yang besar adalah
yang putusannya merupakan pancaran dari hati nuraninya yang dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum serta mengandung
penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat
dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Untuk itu seorang Hakim wajib menghayati falsafah
tentang sifat-sifat utama seorang Penemu hukum yang baik sebagaimana termuat
dalam Hasta sila, lambang cakra maupun Pedoman perilaku Hakim.
B. Saran
Seyogyanya seorang
hakim dalam melakukan penemuan hukum harus mempertimbangkan beberapa aspek baik
yuridis maupun sosiologis. Aspek yuridis merupakan suatu hal yang dapat
menciptakan kepastian hukum, sedangkan aspek sosiologis suatu hal yang
menciptakan keadilan substansial apabila dalam suatu kasus di mana tidak ada
peraturan yang mengatur maka seorang hakim wajib melakukan cara seperti ini,
dan ini dikuatkan oleh Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman di mana dalam
hal ini seorang hakim di berikan wewenang untuk melakukan penemuan hukum. Dan selanjutnya
hakim tidak terlepas dari acuan landasan filsafat hukum dalam melakukan
penemuan hukum dengan demikian seorang hakim yang melakukan penemuan hukum
dengan melandasakan filsafat hukum tidak akan terjadi suatu kekeliruan dan
peradilan yang sesat, yang bertujuan tercapainya tiga instrumen dasar hukum
yang harus di capai yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam menciptakan
penegakan hukum yang baik atau yang di idam – idamkan oleh setiap warga negara
Indonesia, maka hakim mempunyai peranan penting di dalam terciptanya hal
tersebut khususnya di dalam sistem peradilan yang ada di negara kita, dan
dengan adanya Komisi Yudisial sebagai institusi di bidang pengawasan hakim maka
seorang hakim di pantau dalam setiap melakukan tugas dan tanggung jawabnya di
dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Lily Rasyidi, “DASAR-DASAR
FILSAFAT HUKUM”, penerbit Alumni Bandung, 1982,
Muchsin,
Prof.Dr., SH., “Sebuah Ikhtisar PIAGAM
MADINAH, FILSAFAT TIMUR, FILOSOF ISLAM DAN PEMIKIRANNYA”, penerbit STIH IBLAM,
Jakarta, 2004.
Muchsin, Prof.Dr.,SH., “NILAI-NILAI KEADILAN ”, bahan kuliah filsafat hukum.
Soeyono Koesoemo
Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, “ Dengan semangat
Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu
perjuangan yang tidak pernah tuntas”,
Soeyono Koesoemo
Sisworo(2),“BEBERAPA PEMIKIRAN tentang
FILSAFAT HUKUM”, penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Theo Huijbers
OSC, “FILSAFAT HUKUM dalam lintasan
sejarah”, penerbit yayasan Kanisius, Yogjakarta, 1982,
, Filsafat
Huku, Pustaka Filsafat, Kansius, Yogyakarta 1995.
[1] Terkenal adalah perkataan I.Kant,
yang diucapkan dua abad yang lampau :
Noch suchen die Juristen eine Defenition zu ihrem Begriffe vom Recht (para
yuris masih mencari suatu definisi bagi pengertian mereka tentang hukum).
Apakah sama sekali mustahil membuat suatu definisi tentang hukum, yakni suatu
perumusan yang pendek dan substansial tentang makna hukum? L.J. Van Apeldoorn
menulis : tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum, yang sungguh –
sungguh dapat memadai kenyataan. (Pengantar,
halaman 13). Karenanya penulis ini hanya memberikan sesuatu definisi yang
sangat umum sebagai pegangan bagi para pelajar di bidang hukum. Namun menurut
pendapat penulis lebih tepat mengatakan, bahwa tidak mustahil membuat suatu
definisi tentang hukum, hanya mustahil membuat suatu definisi yang memuaskan
segala pihak. Maksud penulis menerangkan gagasan ini dalam tulisan ilmiah ini.
Suatu definisi yang sedikit
lebih terperinci dikemukakan oleh C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, halaman
38; hukum ini adalah himpunan peraturan – peraturan (perintah – perintah dan
larangan – larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu
harus ditaati oleh masyarakat itu. (E.Utrecht).
[3] Para ahli antropologi menekankan
hal ini. Umpamanya Leopold Pospisil menulis, bahwa memang tidak ada alasan
untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat yang tidak memiliki peraturan –
peraturan yang abstrak, dianggap sebagai masyarakat tanpa hukum (halaman.97). Menurut
Pospisil ‘’pengawasan sosial merupakan unsur inti dari hukum ‘’ (halaman.92).
Lagipula : ‘’ciri mendasar dari fenomena yang termasuk dalam kategori
konseptual ini, adalah bahwa gejala itu haruslah merupakan pengawasan sosial
yang melembaga ‘’(halaman.99).
[4] Menurut
kebanyakan sarjana terdapat hukum juga dalam masyarakat non-negara, yakni lembaga
– lembaga swasta. Ditulis oleh O. Notohamidjojo: suatu lembaga memiliki otonomi
dalam lingkungannya sendiri, tetapi terbatas. (Makna Negara Hukum, halaman.49).
[5] ‘’Every positive law...is set
directly or circuitously, by a souvereighn individual or body, to a member or
members of the independent political society wherein its author is supreme’’.
Kesimpulan yang di ambil oleh Friedman memang tepat : dengan definisi ini
Austin menggantikan ideal keadilan (dalam pengertian hukum yang tradisional)
dengan perintah seorang yang berkuasa. (Legal
Theory, halaman. 211-213).
[6]
Soeyono Koesoemo Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, “
Dengan semangat Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan
kebenaran, Suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”, hal. 9. Lihat juga karya
Soeyono K.S yang lain berupa kumpulan tulisan beliau dalam “Beberapa pemikiran
tentang filsafat Hukum, penerbit Universitas Diponegoro Semarang, hal.97.