‘’PENGGARAPAN HUKUM TEORITIS, ILMU HUKUM, TEORI HUKUM, DAN FILSAFAT HUKUM SEBUAH TELAAH’’.
Hukum muncul dalam pengalaman tiap – tiap orang. Menurut pengalaman itu
hukum pertama kali muncul sebagai kaidah – kaidah yang mengatur hidup bersama. [1]Kaidah
– kaidah itu ada yang berbentuk perintah dan larangan, yakni kaidah – kaidah
imperatif; ada juga yang berbentuk disposisi (membuka peluang, mengizinkan,
menjanji), yakni kaidah – kaidah fakultatif. Kaidah – kaidah itu ada yang tertulis,
ada yang tidak tertulis, ini merupakan kaidah hukum objektif.
Berkaitan dengan kaidah – kaidah tersebut hukum menyatakan diri juga
sebagai hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang ada pada orang – orang yang
hidup dalam suatu masyarakat tertentu, ini merupakan kaidah hukum subjektif.
Terdapat kaidah – kaidah hukum dalam kelompok – kelompok kecil, yang
tujuannya terbatas, umpamanya peraturan – peraturan klub – klub olah raga,
universitas, serikat buruh dan sebagainya. Terdapat kaidah – kaidah hukum juga
(dan inilah paling tampak) dalam masyarakat besar, yakni negara, yang mempunyai
tujuan hukum untuk mengatur hidup bersama secara keseluruhan.
Kaidah – kaidah hukum berbeda dengan kaidah – kaidah moral dan sopan
santun.
Kaidah moral tidak mengatur hidup secara hukum, umpamanya kaidah yang
memerintahkan untuk bicara jujur, bersikap baik hati dan sebagaianya. Kaidah –
kaidah itu biasanya disampaikan kepada kita melalui agama (agama mengandung
norma – norma bagi hidup keagamaan sendiri juga, umpamanya tentang puasa, yang
tidak dapat disampaikan dengan kaidah hukum).
Kaidah – kaidah sopan santun mengatur kehidupan bersama sebagai bagian
suatu kebudayaan, namun tidak mengaturnya secara hukum umpamanya peraturan bagi
upacar – upacara perkawinan, adat istiadat pada kelahiran anak – anak dan
sebagainya.
Perlu kita insyaf juga bahwa hukum mungkin dimengerti dalam arti lain,
yakni untuk menunjukan suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita – cita orang
tentang hidup bersama. Arti hukum ini kiranya timbul pada orang yang merasa
diperlakukan secara tidak adil, sehingga muncullah perselisihan tentang tanah,
jabatan, pajak, dan sebagainya. Bila orang menuntut hukum di depan pengadilan,
mereka sebenarnya menuntut keadilan, lain tidak (pengadilan memang untuk
keadilan). Disini jelas bahwa harus dibedakan antara hukum riil (undang – undang dan peraturan lainnya) dan hukum idiil (keadilan).[2]
Timbulnya hukum sebagai peraturan bagi hidup bersama sudah ditemukan pada
bangsa – bangsa yang hidup pada zaman purbakala, entah berdasarkan suatu
perjanjian bersama entah berdasarkan kehendak seorang yang berwibawa. Hukum itu
kemudian disebut hukum rakyat, hukum kebiasaan atau hukum adat.
Pada zaman kuno dalam negara – negara dengan kebudayaan tinggi sudah ada
juga daftar – daftar peraturan negara. Dianatara kebudayaan tinggi itu perlu disebut
kebudayaan Mesir (arsitektur piramida). Yang paling terkenal di antara
perundang – undangan kuno adalah tata hukum Hammurabi dari Babilonia (abad
ke-18 sebelum Masehi) dan tata hukum Nabi Musa dari Israel (abad ke -13 sebelum
Masehi). Pada zaman kuno itu hukum lebih – lebih dipandang sebagai
kebijaksanaan para penguasa. Tetapi sudah sejak zaman Romawi hukum dikerjakan
secara lebih sistematis oleh ahli – ahli hukum, sehingga menjadi undang –
undang negara.
1.
Ilmu Hkum
Pada suatu ketika orang – orang mempelajari hukum secara lebih metodis dan
sistematis. Inilah awal mula ilmu hukum. Berpikir secara metodis berarti
menggunakan metodis berarti menggunakan metode yang tepat, sesuai dengan objek
yang dipikirkan. Berpikir secara sistematis berarti memisahkan dan
menggabungkan pengertian – pengertian, sesuai dengan tempat pengertian –
pengertian tersebut dalam suatu sistem rasional. Maka keilmuan berpikir nyata
dalam kedua sifat berpikir tersebut, yakni metodis dan sistematis.
Sebenarnya sejak awal mulanya studi hukum menghasilkan dua jenis ilmu hukum
yang cukup berbeda. Ilmu yang pertama tinggal dalam rangka suatu sistem tata
hukum tertentu, umpamanya ilmu hukum Romawi dan ilmu hukum Indonesia. Ilmu –
ilmu hukum itu (unpamanya Romawi dan Indonesia) memang berbeda.
Ilmu hukum yang kedua tidak mengenai suatu tata hukum tertentu, yang hukum
ini atau hukum itu, akan tetapi mengenai hukum sebagai hukum.[3]
Menurut pandangan
tradisional, ilmu hukum dogmatik adalah ilmu hukum in optima (dalam bentuknya yang optimal). Ia dapat juga kita
namakan “Dogmatika Hukum” dengan istilah ini mencakup semua kegiatan ilmiah
yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang
konkret. Sifat dogmatikalnya itu terletak dalam hal bahwa orang sungguh –
sungguh membatasi diri pada satu sistem hukum spesifik. Orang membatasi diri
pada kaidah – kaidah hukum positif tertentu, dan menutup diri terhadap sistem –
sistem hukum yang lain. Sememntara itu orang menemukan dalam kepustakaan
berbagai pendekatan yang berbeda dari dogmatika hukum.
Hal itu banyak tergantung pada bagaimana orang
memandang sifat khas dari hukum positif itu. Jadi ilmu hukum dogmatik juga memiliki dimensi politik
praktikal (F. Mueller, Juristische Methodik, 1976; H. Ryffel, Rechts Und
Staatsphilosophie, 1969). Ilmu hukum dogmatik itu memiliki suatu karakter
sendiri, ia adalah sebuah ilmu “sui
generis”, yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk
ilmu lain yang mana pun. Ia memiliki berbagai ciri, kita dapat mengemukakan dan
menjelaskan ciri – ciri tersebut sebagai berikut:
a.
Ilmu
hukum memiliki suatu sifat empirik analitikal.
b.
Ilmu
hukum mensistemasi gejala – gejala hukum dipaparkan dan dianalisis.
c.
Ilmu
hukum menginterpretasi hukum yang berlaku.
d.
Ilmu
hukum itu menilai hukum yang berlaku.
e.
Arti
praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik
Ilmu hukum dogmatik
itu sangat diragukan (dipersoalkan) oleh para penganut dari suatu teori hukum
empirik. Mereka berpendapat bahwa ilmu hukum, dalam berbagai bentuknya harus
diemban sebagai suatu ilmu empirik.
Sekarang kita
terlebih dahulu akan memberikan secara singkat suatu karakteristik umum dari
ilmu hukum empirik. Ilmu hukum empirik membedakan secara tajam antara fakta –
fakta dan norma – norma, antara keputusan – keputusan yang memaparkan dan yan
normatif, gejala – gejala hukum dipandang sebagai gejala – gejala empirikal
yang murni. Mereka adalah fakta – fakta kemasyarakatan yang dapat di amati
secara indrawi.
2.
Teori hukum
Teori berasal dari
kata “theoria” dalam bahasa latin
yang berarti “perenungan”, yang pada
gilirannya berasal dari kata “thea”
dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut
realitas. Dari kata dasar
thea ini pula datang kata modern “teater”
yang berarti “pertunjukan” atau “tontonan”. Soetandyo Wignjosoebrot menjelaskan,
bahwa selalu saja timbul perdebatan yang sangat sengit apabila membicarakan
mengenai makna realitas. Tidak hanya menyangkut persoalan ontologis saja, yaitu
tatkala orang bersoal jawab tentang ikhwal hakekat kebenaran asli, sejati dan
yang dikatakan pula bersifat mutlak tersebut.
Ada kajian
filosofis di dalam teori hukum sebagaiamana dikatakan Radburch bahwa, tugas
teori hukum adalah membikin jelas nilai – nilai oleh postulat – postulat hukum
sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Sehingga akan nampak
kesulitan untuk membedakannya dengan kajian yang disebut filsafat hukum, karena
teori hukum juga akan mempermasalahkan hal sebagai berikut, mengapa hukum
berlaku ? apa dasar kekuatan mengikatnya ? apa yang menjadi tujuan hukum ?
bagaimana seharusnya hukum itu dipahami ? apa hubungannya dengan individu dan
masyarakat ? apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum ? apa keadilan itu,
bagaimana hukum hukum itu yang adil ?. Teori hukum, tentu tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan zamannya dan
senantiasa berkembang karena teori hukum biasanya muncul sebagai suatu jawaban
yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat suatu pikiran yang
dominan pada suatu saat. Oleh karena itu meskipun teori hukum senantiasa
mengajukan pemikiran secara universal, tetapi sangat bijaksana apabila memahami
kondisi yang disebutkan di atas.
Plato,
Aristoteles, Cicero adalah beberapa pemikir terkemuka pada zaman itu disamping
pemikir lainnya. Teori yang dibangun oleh kaum positivis, utilitarian yang
muncul bersamaan dengan modernisasi dibidang hukum, muncul pula pemikiran
kontemporer yang diwakili oleh aliran kritis dan posmodernis yang saat ini
tengah digandrung banyak kalangan. Gambaran pertama membawa kita kepada
pandangan bahwa teori hukum bersifat deterministik, reduksionis, dan realistik.
Selain istilah
teori hukum, cabang ilmu hukum ini dikenal juga dengan sebutan pelajaran hukum
umum, ilmu hukum sistematis atau illmu hukum dogmatis. Teori hukum mempelajari tentang pengertian – pengertian
pokok dan sistematika hukum. Pengertian – pengertian pokok itu seperti misalnya
subjek hukum, perbuatan hukum, objek hukum, peristiwa hukum, badan hukum, dan
lain – lian, memiliki pengertian yang bersifat umum dan bersifat teknis. Pengertian – pengertian pokok ini amat penting untuk
dapat memahami sistem hukum pada umumnya, maupun sistem hukum positif. Oleh
karena itu, teori hukum dipelajari secara intensif mendahului ilmu hukum
positif dan dilanjutkan secara lebih mendasar melalui suatu cabang ilmu yang
lain yaitu filsafat hukum.[4]
3.
Filsafat hukum
Filsafat hukum yang
dibentuk dalam zaman Yunani kuno menjelaskan bahwa aturan masyarakat ada
hubungannya dengan aturan alam. Alam ini ditanggapi sebagai suci dan sakaral
sebab berkaitan dengan kekuasaan ilahi. Karenanya dalam hati rakyat hiduplah kesadaran bahwa
aturan alam harus ditaati. Aturan alam dicerminkan dalam aturan masyarakat,
maka aturan ini harus di taati pula. Ketaatan kepada aturan menimbulkan keadilan dalam hidup bersama dan
menjamin keamanan dan kebahagian hidup.
Dalam abad
pertengahan aturan alam tetap di anggap sebagai norma bagi kehidupan orang,
akan tetapi motifnya berubah. Alam tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang suci, sehingga alas
an dari dulu untuk tunduk kepadanya telah hilang.[5]
Filsafat hukum
adalah filsafat. Filsafat hukum merefleksi (merenungkan) semua permasalahan
fundamental yang berkaitan dengan hukum dan tidak hanya merefleksi hakikat dan
metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat hukum
bersikap kritis terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum.
Jadi, filsafat hukum tidak puas dengan kesimpulan – kesimpulan dri teori hukum,
karena filsafat hukum mempertanyakan :
-
Apakah
hukum itu ?
-
Apakah
ilmu itu ?
-
Apakah
arti khusus dari : menjelaskan, memahami, mengerti serta beragumentasi?
Bahkan lebih dari
itu, filsafat hukum merefleksi pertanyaan – pertanyaan yang bagi teori hukum
sama sekali tidak relevan lagi, khususnya persoalan etika. Ternyata, hubungan
antara hukum dan etika merupakan masalah yang terpokok dalam filsafat hukum.
Ini dikenal sebagai masalah keadilan yang sudah sejak zaman kuno
dipermasalahkan oleh sebagian besar dari filsuf.
Baik hukum maupun
etika masing – mmasing memberikan kriteria tersendiri bagi penilaian atas
perilaku manusia. Dengan begitu, tampak bahwa dari permasalahan ini, diskusi
yang sangat lama antara aliran di dalam filsafat hukum. Khususnya antara aliran hukum alam dengan aliran hukum
positivisme hukum sampai kini masih tetap actual. Tentang arti dari pengertian
– pengertian hukum, etika dan keadilan terdapat perbedaan pandangan yang jauh
di antara para filsuf hukum tadi.
Filsafat hukum
merupakan refleksi dari kenyataan tentang hukum. Kenyataan hukum ini oleh
filsafat hukum dipandang sebagai realisasi dari ide – ide hukum. Dalam hukum positif
dapat kita temukan empat kenyataan hukum dalam bentuk aturan hukum, keputusan
hukum, figure hukum dan lembaga hukum.
Negara merupakan
lembaga hukum yang terpenting sebagai gejala historis dengan ciri – ciri
tertentu. Khususnya berkenaan dengan faktor kekuasaan yang dimilikinya.
Karenanya, makna praktis dari filsafat hukum saat ini terletak dalam perlunya
dikembangkan filsafat baru tentang demokrasi. Filsafat hukum adalah suatu
sistem yang di dalamnya semua tema dari hukum dipertutkan satu dengan lainnya.[6]
Perkembangan Hukum
Teoritis Di Dalam Penggarapan Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum
Hukum sebagai gejala sosial
mengandung berbagai aspek, faset, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan
abstraksi yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara
teoritis yang meliputi tahapan – tahapan rasional, sistematikal, metodikal dari
berbagai sudut pandang dan pendeketan dengan demikian hukum dapat dikatakan
sebagai hukum yang teoritis. Dari pengkajian tersebut terbentuklah sebuah disiplin
ilmiah yang objeknya adalah hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah tersebut dapat
disebut dengan satu istilah, yaitu disiplin teoiritis tentang hukum, atau ilmu
hukum atau pengembanan hukum teoritikal (theoretische
rechtsbeofening, Meuwissen).
Istilah – istilah tersebut
menunjukan pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional, sistematikal,
metodikal dan terus menerus) berupaya untuk memperoleh pengetahuan tentang
hukum dan penguasaan intelektual atas hukum
Berbagai disiplin ilmu tentang
hukum dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu disiplin ilmu hukum dan
disiplin non hukum atau disiplin ilmu – ilmu lain yang objek telaahnya hukum.
Disiplin hukum mempelajari hukum secara teoritis sebagai objeknya dengan
menggunakan pendekatan internal, artinya melakukan pengkajian dari dalam ilmu
hukum itu sendiri, atau dengan kata lain bertolak dari titik partisipan.
Disiplin hukum itu dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu ilmu hukum,
teori hukum, dan filsafat hukum.
Sedangkan disiplin non hukum
menggunakan pendekatan yang eksternal, yaitu sebagai pengamat yang mempelajari
hukum dari luar hukum itu sendiri. Disiplin ini mencakup sejarah hukum,
sosiologi hukum, antropologi hukum dan psikologi hukum. Di samping itu,
berkembang juga perbandingan hukum dan logika hukum.
Dalam perkembangannya hukum
teoritis bahwa hukum itu tidak mersoalkan suatu tatanan hukum terntentu yang
kebetulan berlaku di suatu negara. Objeknya di sini adalah hukum sebagai suatu
fenomena dalam kehidupan manusia dimanapun di dunia ini dan dari masa kepanpun,
artinya hukum disini dilihat sebagai fenomena universal dan dapat dipelajari
secara teoritis.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa ilmu hukum itu mempunyai jangkauan yang sangat luas dan
teoritis, meliputi hukum semua bangsa dan negara secara universal. Ilmu hukum
itu tidak hanya mempelajari peraturan – peraturan perundang – undangan saja,
akan tetapi juga akan membicarakan hukum sebagai suatu gejala dalam masyarakat
manusia, dan membahas hal yang bersifat filsafat, seperti membicarakan tentang
hakikat dan asal usul hukum yang berkaitan dengan kekuasaan, keadilan, kegunaan
dan lain – lain.
Karena ilmu hukum itu
berobjekkan hukum yang dipelajari secara teoritis, maka tugas ilmu hukum itu
pada dasarnya adalah untuk memantau perubahan dan perkembangan yang terjadi
dalam dunia hukum. Hal ini disebabkan karena hukum selalu mengalami perubahan
dan perkembangan yang terjadi secara alamiah dan teoritis dalam pergaulan hidup
manusia.
Filsafat dan teori hukum lazimnya mengajukan dan menjawab
pertanyaan abstrak seperti demikian, misalnya apakah arti hukum ? apakah dasar
dari peraturan – peraturan hukum ? bagaimana hakim memutus banyak kasus ?
apakah pengadilan itu ? bagaimana hubungan dan fenomena sosial seperti
lebudayaan, ideologi, aktivitas eknomi dan Negara ? apakah masyarakat yang
berbeda jenis mempunyai hukum yang berbeda pula ? mungkinkah terdapat suatu
masyarakat tanpa hukum ?. Bagaimanapun pertanyaan – pertanyaan yang di ajukan
itu merupakan pertanyaan yang fundamental dan terkait dengan hakekat hukum.
Sulit untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam
hukum, karena terdapat dua alasan yang
secara teoritis.
Pertama, hukum adalah objek kajian yang masih harus
dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstruktivis menjelaskan, diciptakan
menurut istilah positivistik, atau menggunakan bahasa kaum hermenian
‘ditafsirkan’, sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum
akan ditentukan oleh bagaimana orang tersebut mengkosntruksi, menciptakan atau
menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.
Kedua, satu pemikiran akan memiliki latar belakang /
sudut pandang yang berbeda dengan aliran pemikiran, ini merupkan ragam dari
kelemahan dan keunggulan masing – masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan
keleluasan, karena hukum perkembangannya bersifat teoritis akan menjadi wilayah
terbuka yang mungkin saja hasilnya lebih positif, baik di lihat dari sudut
pandang ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.
Dalam menelaah perkembangan hukum teoritis sebagai
penggarapan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum, terdapat sebuah jawaban
yang bisa saja mengarah kepada pemahaman metafisis, sosial dan bahasa, yang
seringkali di kacau balaukan dan di campur adukan. Geking menggunakan istilah “konsep kelompok” untuk kata – kata
semacam itu dan Wittfenstein telah
menciptakan istilah “persamaan keluarga” untuk pengguna beberapa kata yang
mempunyai kemiripan tentang ‘hukum’, yang digunakan dalam permainan bahasa yang
berbeda akan mengacu pada beberapa di antara ciri – ciri ini.
Dengan menyetir pendapat salah satu kelompok kehidupan
sosial yang dalam berbagai kombinasi disebut ‘hukum’ oleh anggota masyarakat.
Teori hukum sistem digunakkan secara bebas terhadap banyak hal dalam kehidupan,
alam semesta, masyarakat, termasuk hukum digambarkan dalam bentuk yang jelas –
jelas dapat diakui sebagai istilah mekanis dan sistematis, dalam rangka menelaah
perkembangan hukum teoritis.
Teori hukum modern seringkali memberikan gambaran, apakah
itu praktek hukum, sosiologi hukum sebagai sebuah gambaran yang sistematis, dan
para ahli melihat kunci untuk memahami hukum di dalam uraian sistem yang mereka
buat.
Teori hukum yang bersifat sistematis dianggap sebagai
salah satu keyakinan – keyakinan mereka yang telah berakar dan terorganisir
dalam hukum, yaitu suatu yang mengarah kepada sikap yang keras kepala sehingga
cenderung untuk menolak dalam melahirkan kreasi – kreasi keyakinan – keyakinan
lain.
Teori hukum sama sekali tidak berada pada jalur yang
disebut sebagai sistem, pandangan ini menolak bahwa teori hukum harus selalu
bersifat sistematis dan teratur secara teoritis. Namun demikian jelas bahwa
dikemukakan dua pandangan besar itu tidak lain untuk menjembatani pemikiran kita selanjutnya dalam membahas
teori dalam ilmu hukum.
Filsafat
hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum atau
keberadaan hukum. Hakekat hukum meliputi :
1.
Hukum merupakan perintah (teori imperatif)
Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam
semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat
Aliran hukum alam dengan tokohnya
Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang
teratas, yaitu :
a. Lex aeterna
(Rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang disamakan hukum
abadi).
b. Lex divina
(Rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia).
c.
Lex naturalis (Penjelmaan dari Lex aeterna dan Lex
divina).
d. Lex positive
(hukum yang berlaku merupakan tetesan dari Lex
divina kitab suci
Aliran positivisme hukum Jhon Austin beranggapan
bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam teorinya
yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang
analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law
(undang-undang) dan morality (hukum kebiasan).
2.
Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif)
Mahzab sejarah : Carl von savigny
beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang
bersama-sama dengan masyarakat.
Aliran sociological jurisprudence
dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum
yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
baik tertulis malupun tidak tertulis”.
·
Hukum tertulis atau hukum positif
Hukum posistif atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di
daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu. Contoh : UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
·
Hukum tidak tertulis
Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak
yang terkait
Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari
penguasa adat.
Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau
lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Doktrin
adalah pendapat ahli hukum terkemuka.
Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan
“azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan
kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law).
3.
Tujuan hukum (teori optatiif)
a.
Keadilan
Menurut Aristoteles sebagai
pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :
1.
Distributive, yang didasarkan pada prestasi.
2.
Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa.
3.
Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan
hukumannya.
4.
Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang
yang kreatif.
5.
Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh
undang-undang.
b.
Kepastian
Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal
ini mengandung arti :
1.
Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
2.
Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam
memutus perkara.
3.
Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam
pelaksanaannya.
4.
Hukum itu bersifat dogmatik
c.
Kegunaan
Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan
hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan
sebesar-besarnya.[7]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu hukum dapat dikatakan
sebagai ilmu yang mempelajari hukum atau ilmu yang pokok bahasannya adalah
hukum secara teoritis. Bahkan dalam arti yang luas dikatakan bahwa ilmu hukum
itu mengkaji dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum dan
dapat di telaah secara teoritis.
Dengan demikian, yang menjadi
objek dari ilmu hukum itu adalah hukum itu sendiri adapun ruang lingkup
pengkajian ilmu hukum tersebut secara umum adalah sosiologi hukum, yang
menyelidiki hubungan hukum dengan masyarakat, sejarah hukum, yang mempelajari
perkembangan sejarah hukum, perbandingan hukum, yang mempelajari berbagai
sistem hukum yang ada, dan dogmatika hukum atau ilmu hukum positif, yang
mempelajari hukum yang berlaku secara sistematis dan teoritis.
Namun teori hukum memperlihatkan suatu konsistensi. Pertama – tama para
sarjana yang dalam uriaannya berbeda pandangan bergulat dengan pertanyaan –
pertanyaan yang sama, yakni apakah arti hukum, dan manakah dasar hukum,
kemudian dalam lintasan filsafat hukum dapat ditemukan garis – garis pikiran
yang akhirnya membuka kepada suatu pengertian hukum yang lebih mendalam dan
secara teoritis.
Pertanyaan – pertanyaan tentang arti hukum tidak dijawab juga dengan
penggunaan prinsip – prinsip logis, bahwa hukum harus di pandang dari segi
formalnya sebab segi formal menentukan arti hukum dapat dipelajari secara
ilmiah. Isi hukum tidak perlu di indahkan kedalam penyelidikan tentang hukum.
B.
Saran
Seyogyanya Ilmu hukum, teori
hukum, dan filsafat hukum, dalam perkembangan hukum teorits atau sebagai
penggarapan ilmu hukum merupakan suatu cara untuk mempelajari hukum di dalam
obyek studi ilmu hukum baik secara universal maupun secara bertahap karena
sifatnya yang sistematis dan teoritis. Mengharuskan kita sebagai orang – orang
yang memahami ilmu hukum harus menggunakan cara tersebut untuk mempelajari dan
menelaahnya sehingga kita dapat memahami arti hukum yang sebenarnya secara
teoritis dan praktis.
Dalam hal ini misalnya dalam menjawab suatu
persoalan hukum yang mendasar maka yang akan menjawab terlibih dahulu yaitu
menggunakan metode ilmu hukum, apabila dengan metode ilmu hukum tidak terjawab
maka menggunakan teori hukum, begitupun dalam teori hukum apabila tidak
terjawab maka menggunakan filsafat hukum, dengan demikian filsafat hukum
menjawab persoalan – persoalan hukum yang tidak terjawab oleh ilmu hukum dan
teori hukum, berdasarkan hakekat hukum secara teoritis di dalam penggarapan
ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber
Buku
Bernard Arif
Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan
Hukum, (Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum), PT. Refika Aditama
2009.
Darji
Darmohardjo dan Shidarta , Pokok – pokok
Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia,
Jakarta, 2004
H.R Otje Salman dan
Anthon F. Susanto, Teori Hukum
(Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT.Refika Aditama, 2009
Lili Rasjidi,
Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika
2006
Soejono Koesoemo
Sisworo, Beberpa Tentan Pemikiran
Filsafat Hukum.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,
PT. Kansius Yogyakarta 1982.
, Filsafat
Hukum, Pustaka Filsafat PT. Kansius
Yogyakarta 1995.
[1]
Apakah hukum sungguh – sungguh muncul ? apakah hukum dapat disebut gejala, atau
fenomena (dari phainomai = menyatakan
diri).
Dalam karangan “Hukum, bentuk
atribut dan penerapannya’’ Pospisil menulis bahwa penggunaan kata gejala dalam
hubungan dengan hukum kurang tepat. ‘’Hukum itu bukan gejala, melainkan
gagasan, yakni suatu kategori konseptual yang digunakan untuk mengerti gejala –
gejala yang muncul’’ (Ihroni, Antropologi
dan Hukum, halaman 90-91).
Namun
pandangan ini tidak dapat dipertahankan. Hukum itu memang gejala, sebab tampak
bagi manusia berdasarkan pengalamannya. Dalam masyrakat modern hukum tampak
terutama dalam kaidah – kaidah yang disusun oleh pemerintah dan yang oleh
ditaati oleh rakyat. Memang pengertian kita tentang hukum merupakan hasil suatu
kegiatan intelektual dari subjek, akan tetapi kegiatan ini tidak mungkin bila
tidak bertolak dari apa yang telah muncul dalam pengalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar