Minggu, 30 Juni 2013

FILSAFAT HUKUM



‘’PENGGARAPAN HUKUM TEORITIS, ILMU HUKUM, TEORI HUKUM, DAN FILSAFAT HUKUM SEBUAH TELAAH’’.

Hukum muncul dalam pengalaman tiap – tiap orang. Menurut pengalaman itu hukum pertama kali muncul sebagai kaidah – kaidah yang mengatur hidup bersama. [1]Kaidah – kaidah itu ada yang berbentuk perintah dan larangan, yakni kaidah – kaidah imperatif; ada juga yang berbentuk disposisi (membuka peluang, mengizinkan, menjanji), yakni kaidah – kaidah fakultatif. Kaidah – kaidah itu ada yang tertulis, ada yang tidak tertulis, ini merupakan kaidah hukum objektif.
Berkaitan dengan kaidah – kaidah tersebut hukum menyatakan diri juga sebagai hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang ada pada orang – orang yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu, ini merupakan kaidah hukum subjektif.
Terdapat kaidah – kaidah hukum dalam kelompok – kelompok kecil, yang tujuannya terbatas, umpamanya peraturan – peraturan klub – klub olah raga, universitas, serikat buruh dan sebagainya. Terdapat kaidah – kaidah hukum juga (dan inilah paling tampak) dalam masyarakat besar, yakni negara, yang mempunyai tujuan hukum untuk mengatur hidup bersama secara keseluruhan.
Kaidah – kaidah hukum berbeda dengan kaidah – kaidah moral dan sopan santun.
Kaidah moral tidak mengatur hidup secara hukum, umpamanya kaidah yang memerintahkan untuk bicara jujur, bersikap baik hati dan sebagaianya. Kaidah – kaidah itu biasanya disampaikan kepada kita melalui agama (agama mengandung norma – norma bagi hidup keagamaan sendiri juga, umpamanya tentang puasa, yang tidak dapat disampaikan dengan kaidah hukum).
Kaidah – kaidah sopan santun mengatur kehidupan bersama sebagai bagian suatu kebudayaan, namun tidak mengaturnya secara hukum umpamanya peraturan bagi upacar – upacara perkawinan, adat istiadat pada kelahiran anak – anak dan sebagainya.
Perlu kita insyaf juga bahwa hukum mungkin dimengerti dalam arti lain, yakni untuk menunjukan suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita – cita orang tentang hidup bersama. Arti hukum ini kiranya timbul pada orang yang merasa diperlakukan secara tidak adil, sehingga muncullah perselisihan tentang tanah, jabatan, pajak, dan sebagainya. Bila orang menuntut hukum di depan pengadilan, mereka sebenarnya menuntut keadilan, lain tidak (pengadilan memang untuk keadilan). Disini jelas bahwa harus dibedakan antara hukum riil (undang – undang dan peraturan lainnya) dan hukum idiil (keadilan).[2]
Timbulnya hukum sebagai peraturan bagi hidup bersama sudah ditemukan pada bangsa – bangsa yang hidup pada zaman purbakala, entah berdasarkan suatu perjanjian bersama entah berdasarkan kehendak seorang yang berwibawa. Hukum itu kemudian disebut hukum rakyat, hukum kebiasaan atau hukum adat.
Pada zaman kuno dalam negara – negara dengan kebudayaan tinggi sudah ada juga daftar – daftar peraturan negara. Dianatara kebudayaan tinggi itu perlu disebut kebudayaan Mesir (arsitektur piramida). Yang paling terkenal di antara perundang – undangan kuno adalah tata hukum Hammurabi dari Babilonia (abad ke-18 sebelum Masehi) dan tata hukum Nabi Musa dari Israel (abad ke -13 sebelum Masehi). Pada zaman kuno itu hukum lebih – lebih dipandang sebagai kebijaksanaan para penguasa. Tetapi sudah sejak zaman Romawi hukum dikerjakan secara lebih sistematis oleh ahli – ahli hukum, sehingga menjadi undang – undang negara.

1.      Ilmu Hkum
Pada suatu ketika orang – orang mempelajari hukum secara lebih metodis dan sistematis. Inilah awal mula ilmu hukum. Berpikir secara metodis berarti menggunakan metodis berarti menggunakan metode yang tepat, sesuai dengan objek yang dipikirkan. Berpikir secara sistematis berarti memisahkan dan menggabungkan pengertian – pengertian, sesuai dengan tempat pengertian – pengertian tersebut dalam suatu sistem rasional. Maka keilmuan berpikir nyata dalam kedua sifat berpikir tersebut, yakni metodis dan sistematis.
Sebenarnya sejak awal mulanya studi hukum menghasilkan dua jenis ilmu hukum yang cukup berbeda. Ilmu yang pertama tinggal dalam rangka suatu sistem tata hukum tertentu, umpamanya ilmu hukum Romawi dan ilmu hukum Indonesia. Ilmu – ilmu hukum itu (unpamanya Romawi dan Indonesia) memang berbeda.
Ilmu hukum yang kedua tidak mengenai suatu tata hukum tertentu, yang hukum ini atau hukum itu, akan tetapi mengenai hukum sebagai hukum.[3]
Menurut pandangan tradisional, ilmu hukum dogmatik adalah ilmu hukum in optima (dalam bentuknya yang optimal). Ia dapat juga kita namakan “Dogmatika Hukum” dengan istilah ini mencakup semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkret. Sifat dogmatikalnya itu terletak dalam hal bahwa orang sungguh – sungguh membatasi diri pada satu sistem hukum spesifik. Orang membatasi diri pada kaidah – kaidah hukum positif tertentu, dan menutup diri terhadap sistem – sistem hukum yang lain. Sememntara itu orang menemukan dalam kepustakaan berbagai pendekatan yang berbeda dari dogmatika hukum.
 Hal itu banyak tergantung pada bagaimana orang memandang sifat khas dari hukum positif itu. Jadi ilmu hukum dogmatik juga memiliki dimensi politik praktikal (F. Mueller, Juristische Methodik, 1976; H. Ryffel, Rechts Und Staatsphilosophie, 1969). Ilmu hukum dogmatik itu memiliki suatu karakter sendiri, ia adalah sebuah ilmu “sui generis”, yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang mana pun. Ia memiliki berbagai ciri, kita dapat mengemukakan dan menjelaskan ciri – ciri tersebut sebagai berikut:
a.       Ilmu hukum memiliki suatu sifat empirik analitikal.
b.      Ilmu hukum mensistemasi gejala – gejala hukum dipaparkan dan dianalisis.
c.       Ilmu hukum menginterpretasi hukum yang berlaku.
d.      Ilmu hukum itu menilai hukum yang berlaku.
e.       Arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik

Ilmu hukum dogmatik itu sangat diragukan (dipersoalkan) oleh para penganut dari suatu teori hukum empirik. Mereka berpendapat bahwa ilmu hukum, dalam berbagai bentuknya harus diemban sebagai suatu ilmu empirik.
Sekarang kita terlebih dahulu akan memberikan secara singkat suatu karakteristik umum dari ilmu hukum empirik. Ilmu hukum empirik membedakan secara tajam antara fakta – fakta dan norma – norma, antara keputusan – keputusan yang memaparkan dan yan normatif, gejala – gejala hukum dipandang sebagai gejala – gejala empirikal yang murni. Mereka adalah fakta – fakta kemasyarakatan yang dapat di amati secara indrawi.

2.      Teori hukum
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern “teater” yang berarti “pertunjukan” atau “tontonan”. Soetandyo Wignjosoebrot menjelaskan, bahwa selalu saja timbul perdebatan yang sangat sengit apabila membicarakan mengenai makna realitas. Tidak hanya menyangkut persoalan ontologis saja, yaitu tatkala orang bersoal jawab tentang ikhwal hakekat kebenaran asli, sejati dan yang dikatakan pula bersifat mutlak tersebut.
Ada kajian filosofis di dalam teori hukum sebagaiamana dikatakan Radburch bahwa, tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai – nilai oleh postulat – postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Sehingga akan nampak kesulitan untuk membedakannya dengan kajian yang disebut filsafat hukum, karena teori hukum juga akan mempermasalahkan hal sebagai berikut, mengapa hukum berlaku ? apa dasar kekuatan mengikatnya ? apa yang menjadi tujuan hukum ? bagaimana seharusnya hukum itu dipahami ? apa hubungannya dengan individu dan masyarakat ? apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum ? apa keadilan itu, bagaimana hukum hukum itu yang adil ?. Teori hukum, tentu tidak dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya  dan senantiasa berkembang karena teori hukum biasanya muncul sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat suatu pikiran yang dominan pada suatu saat. Oleh karena itu meskipun teori hukum senantiasa mengajukan pemikiran secara universal, tetapi sangat bijaksana apabila memahami kondisi yang disebutkan di atas.
Plato, Aristoteles, Cicero adalah beberapa pemikir terkemuka pada zaman itu disamping pemikir lainnya. Teori yang dibangun oleh kaum positivis, utilitarian yang muncul bersamaan dengan modernisasi dibidang hukum, muncul pula pemikiran kontemporer yang diwakili oleh aliran kritis dan posmodernis yang saat ini tengah digandrung banyak kalangan. Gambaran pertama membawa kita kepada pandangan bahwa teori hukum bersifat deterministik, reduksionis, dan realistik.
Selain istilah teori hukum, cabang ilmu hukum ini dikenal juga dengan sebutan pelajaran hukum umum, ilmu hukum sistematis atau illmu hukum dogmatis. Teori hukum mempelajari tentang pengertian – pengertian pokok dan sistematika hukum. Pengertian – pengertian pokok itu seperti misalnya subjek hukum, perbuatan hukum, objek hukum, peristiwa hukum, badan hukum, dan lain – lian, memiliki pengertian yang bersifat umum dan bersifat teknis. Pengertian – pengertian pokok ini amat penting untuk dapat memahami sistem hukum pada umumnya, maupun sistem hukum positif. Oleh karena itu, teori hukum dipelajari secara intensif mendahului ilmu hukum positif dan dilanjutkan secara lebih mendasar melalui suatu cabang ilmu yang lain yaitu filsafat hukum.[4]

3.      Filsafat hukum
Filsafat hukum yang dibentuk dalam zaman Yunani kuno menjelaskan bahwa aturan masyarakat ada hubungannya dengan aturan alam. Alam ini ditanggapi sebagai suci dan sakaral sebab berkaitan dengan kekuasaan ilahi. Karenanya dalam hati rakyat hiduplah kesadaran bahwa aturan alam harus ditaati. Aturan alam dicerminkan dalam aturan masyarakat, maka aturan ini harus di taati pula. Ketaatan kepada aturan menimbulkan keadilan dalam hidup bersama dan menjamin keamanan dan kebahagian hidup.
Dalam abad pertengahan aturan alam tetap di anggap sebagai norma bagi kehidupan orang, akan tetapi motifnya berubah. Alam tidak dipandang  lagi sebagai sesuatu yang suci, sehingga alas an dari dulu untuk tunduk kepadanya telah hilang.[5]
Filsafat hukum adalah filsafat. Filsafat hukum merefleksi (merenungkan) semua permasalahan fundamental yang berkaitan dengan hukum dan tidak hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat hukum bersikap kritis terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Jadi, filsafat hukum tidak puas dengan kesimpulan – kesimpulan dri teori hukum, karena filsafat hukum mempertanyakan :
-          Apakah hukum itu ?
-          Apakah ilmu itu ?
-          Apakah arti khusus dari : menjelaskan, memahami, mengerti serta beragumentasi?
Bahkan lebih dari itu, filsafat hukum merefleksi pertanyaan – pertanyaan yang bagi teori hukum sama sekali tidak relevan lagi, khususnya persoalan etika. Ternyata, hubungan antara hukum dan etika merupakan masalah yang terpokok dalam filsafat hukum. Ini dikenal sebagai masalah keadilan yang sudah sejak zaman kuno dipermasalahkan oleh sebagian besar dari filsuf.
Baik hukum maupun etika masing – mmasing memberikan kriteria tersendiri bagi penilaian atas perilaku manusia. Dengan begitu, tampak bahwa dari permasalahan ini, diskusi yang sangat lama antara aliran di dalam filsafat hukum. Khususnya antara aliran hukum alam dengan aliran hukum positivisme hukum sampai kini masih tetap actual. Tentang arti dari pengertian – pengertian hukum, etika dan keadilan terdapat perbedaan pandangan yang jauh di antara para filsuf hukum tadi.
Filsafat hukum merupakan refleksi dari kenyataan tentang hukum. Kenyataan hukum ini oleh filsafat hukum dipandang sebagai realisasi dari ide – ide hukum. Dalam hukum positif dapat kita temukan empat kenyataan hukum dalam bentuk aturan hukum, keputusan hukum, figure hukum dan lembaga hukum.
Negara merupakan lembaga hukum yang terpenting sebagai gejala historis dengan ciri – ciri tertentu. Khususnya berkenaan dengan faktor kekuasaan yang dimilikinya. Karenanya, makna praktis dari filsafat hukum saat ini terletak dalam perlunya dikembangkan filsafat baru tentang demokrasi. Filsafat hukum adalah suatu sistem yang di dalamnya semua tema dari hukum dipertutkan satu dengan lainnya.[6]


Perkembangan Hukum Teoritis Di Dalam Penggarapan Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum
Hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, faset, ciri, dimensi waktu dan ruang, serta tatanan abstraksi yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dikaji dan dipelajari secara teoritis yang meliputi tahapan – tahapan rasional, sistematikal, metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendeketan dengan demikian hukum dapat dikatakan sebagai hukum yang teoritis. Dari pengkajian tersebut terbentuklah sebuah disiplin ilmiah yang objeknya adalah hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah tersebut dapat disebut dengan satu istilah, yaitu disiplin teoiritis tentang hukum, atau ilmu hukum atau pengembanan hukum teoritikal (theoretische rechtsbeofening, Meuwissen).
Istilah – istilah tersebut menunjukan pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional, sistematikal, metodikal dan terus menerus) berupaya untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual atas hukum
Berbagai disiplin ilmu tentang hukum dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu disiplin ilmu hukum dan disiplin non hukum atau disiplin ilmu – ilmu lain yang objek telaahnya hukum. Disiplin hukum mempelajari hukum secara teoritis sebagai objeknya dengan menggunakan pendekatan internal, artinya melakukan pengkajian dari dalam ilmu hukum itu sendiri, atau dengan kata lain bertolak dari titik partisipan. Disiplin hukum itu dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.
Sedangkan disiplin non hukum menggunakan pendekatan yang eksternal, yaitu sebagai pengamat yang mempelajari hukum dari luar hukum itu sendiri. Disiplin ini mencakup sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum dan psikologi hukum. Di samping itu, berkembang juga perbandingan hukum dan logika hukum.
Dalam perkembangannya hukum teoritis bahwa hukum itu tidak mersoalkan suatu tatanan hukum terntentu yang kebetulan berlaku di suatu negara. Objeknya di sini adalah hukum sebagai suatu fenomena dalam kehidupan manusia dimanapun di dunia ini dan dari masa kepanpun, artinya hukum disini dilihat sebagai fenomena universal dan dapat dipelajari secara teoritis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ilmu hukum itu mempunyai jangkauan yang sangat luas dan teoritis, meliputi hukum semua bangsa dan negara secara universal. Ilmu hukum itu tidak hanya mempelajari peraturan – peraturan perundang – undangan saja, akan tetapi juga akan membicarakan hukum sebagai suatu gejala dalam masyarakat manusia, dan membahas hal yang bersifat filsafat, seperti membicarakan tentang hakikat dan asal usul hukum yang berkaitan dengan kekuasaan, keadilan, kegunaan dan lain – lain.
Karena ilmu hukum itu berobjekkan hukum yang dipelajari secara teoritis, maka tugas ilmu hukum itu pada dasarnya adalah untuk memantau perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam dunia hukum. Hal ini disebabkan karena hukum selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang terjadi secara alamiah dan teoritis dalam pergaulan hidup manusia.
Filsafat dan teori hukum lazimnya mengajukan dan menjawab pertanyaan abstrak seperti demikian, misalnya apakah arti hukum ? apakah dasar dari peraturan – peraturan hukum ? bagaimana hakim memutus banyak kasus ? apakah pengadilan itu ? bagaimana hubungan dan fenomena sosial seperti lebudayaan, ideologi, aktivitas eknomi dan Negara ? apakah masyarakat yang berbeda jenis mempunyai hukum yang berbeda pula ? mungkinkah terdapat suatu masyarakat tanpa hukum ?. Bagaimanapun pertanyaan – pertanyaan yang di ajukan itu merupakan pertanyaan yang fundamental dan terkait dengan hakekat hukum.
Sulit untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena terdapat  dua alasan yang secara teoritis.
Pertama, hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstruktivis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistik, atau menggunakan bahasa kaum hermenian ‘ditafsirkan’, sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagaimana orang tersebut mengkosntruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.
Kedua, satu pemikiran akan memiliki latar belakang / sudut pandang yang berbeda dengan aliran pemikiran, ini merupkan ragam dari kelemahan dan keunggulan masing – masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasan, karena hukum perkembangannya bersifat teoritis akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hasilnya lebih positif, baik di lihat dari sudut pandang ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.
Dalam menelaah perkembangan hukum teoritis sebagai penggarapan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum, terdapat sebuah jawaban yang bisa saja mengarah kepada pemahaman metafisis, sosial dan bahasa, yang seringkali di kacau balaukan dan di campur adukan. Geking menggunakan istilah “konsep kelompok” untuk kata – kata semacam itu dan Wittfenstein telah menciptakan istilah “persamaan keluarga” untuk pengguna beberapa kata yang mempunyai kemiripan tentang ‘hukum’, yang digunakan dalam permainan bahasa yang berbeda akan mengacu pada beberapa di antara ciri – ciri ini.
Dengan menyetir pendapat salah satu kelompok kehidupan sosial yang dalam berbagai kombinasi disebut ‘hukum’ oleh anggota masyarakat. Teori hukum sistem digunakkan secara bebas terhadap banyak hal dalam kehidupan, alam semesta, masyarakat, termasuk hukum digambarkan dalam bentuk yang jelas – jelas dapat diakui sebagai istilah mekanis dan sistematis, dalam rangka menelaah perkembangan hukum teoritis.
Teori hukum modern seringkali memberikan gambaran, apakah itu praktek hukum, sosiologi hukum sebagai sebuah gambaran yang sistematis, dan para ahli melihat kunci untuk memahami hukum di dalam uraian sistem yang mereka buat.
Teori hukum yang bersifat sistematis dianggap sebagai salah satu keyakinan – keyakinan mereka yang telah berakar dan terorganisir dalam hukum, yaitu suatu yang mengarah kepada sikap yang keras kepala sehingga cenderung untuk menolak dalam melahirkan kreasi – kreasi keyakinan – keyakinan lain.
Teori hukum sama sekali tidak berada pada jalur yang disebut sebagai sistem, pandangan ini menolak bahwa teori hukum harus selalu bersifat sistematis dan teratur secara teoritis. Namun demikian jelas bahwa dikemukakan dua pandangan besar itu tidak lain untuk menjembatani  pemikiran kita selanjutnya dalam membahas teori dalam ilmu hukum.
Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum atau keberadaan hukum. Hakekat hukum meliputi :
1.      Hukum merupakan perintah (teori imperatif)
Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat
Aliran hukum alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang teratas, yaitu :
a.       Lex aeterna (Rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang disamakan hukum abadi).
b.       Lex divina (Rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia).
c.        Lex naturalis (Penjelmaan dari Lex aeterna dan Lex divina).
d.       Lex positive (hukum yang berlaku     merupakan tetesan dari Lex divina        kitab suci
Aliran positivisme hukum     Jhon Austin beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law (undang-undang) dan morality (hukum kebiasan).

2.      Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif)
Mahzab sejarah : Carl von savigny beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”.
·         Hukum tertulis atau hukum positif
Hukum posistif  atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu. Contoh : UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
·         Hukum tidak tertulis
Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait
Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat.
Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka.
Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan “azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law).

3.      Tujuan hukum (teori optatiif)
a.       Keadilan         
Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :
1.      Distributive, yang didasarkan pada prestasi.
2.      Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa.
3.      Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya.
4.      Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif.
5.      Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang.

b.      Kepastian
Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti :
1.      Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
2.      Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.
3.      Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.
4.      Hukum itu bersifat dogmatik

c.       Kegunaan
Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.[7]

      PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ilmu hukum dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari hukum atau ilmu yang pokok bahasannya adalah hukum secara teoritis. Bahkan dalam arti yang luas dikatakan bahwa ilmu hukum itu mengkaji dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum dan dapat di telaah secara teoritis.
Dengan demikian, yang menjadi objek dari ilmu hukum itu adalah hukum itu sendiri adapun ruang lingkup pengkajian ilmu hukum tersebut secara umum adalah sosiologi hukum, yang menyelidiki hubungan hukum dengan masyarakat, sejarah hukum, yang mempelajari perkembangan sejarah hukum, perbandingan hukum, yang mempelajari berbagai sistem hukum yang ada, dan dogmatika hukum atau ilmu hukum positif, yang mempelajari hukum yang berlaku secara sistematis dan teoritis.
Namun teori hukum memperlihatkan suatu konsistensi. Pertama – tama para sarjana yang dalam uriaannya berbeda pandangan bergulat dengan pertanyaan – pertanyaan yang sama, yakni apakah arti hukum, dan manakah dasar hukum, kemudian dalam lintasan filsafat hukum dapat ditemukan garis – garis pikiran yang akhirnya membuka kepada suatu pengertian hukum yang lebih mendalam dan secara teoritis.
Pertanyaan – pertanyaan tentang arti hukum tidak dijawab juga dengan penggunaan prinsip – prinsip logis, bahwa hukum harus di pandang dari segi formalnya sebab segi formal menentukan arti hukum dapat dipelajari secara ilmiah. Isi hukum tidak perlu di indahkan kedalam penyelidikan tentang hukum.

B.     Saran
Seyogyanya Ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum, dalam perkembangan hukum teorits atau sebagai penggarapan ilmu hukum merupakan suatu cara untuk mempelajari hukum di dalam obyek studi ilmu hukum baik secara universal maupun secara bertahap karena sifatnya yang sistematis dan teoritis. Mengharuskan kita sebagai orang – orang yang memahami ilmu hukum harus menggunakan cara tersebut untuk mempelajari dan menelaahnya sehingga kita dapat memahami arti hukum yang sebenarnya secara teoritis dan praktis.
 Dalam hal ini misalnya dalam menjawab suatu persoalan hukum yang mendasar maka yang akan menjawab terlibih dahulu yaitu menggunakan metode ilmu hukum, apabila dengan metode ilmu hukum tidak terjawab maka menggunakan teori hukum, begitupun dalam teori hukum apabila tidak terjawab maka menggunakan filsafat hukum, dengan demikian filsafat hukum menjawab persoalan – persoalan hukum yang tidak terjawab oleh ilmu hukum dan teori hukum, berdasarkan hakekat hukum secara teoritis di dalam penggarapan ilmu hukum.
  
DAFTAR PUSTAKA

A.    Sumber Buku
Bernard Arif Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, (Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum), PT. Refika Aditama 2009.
Darji Darmohardjo dan Shidarta , Pokok – pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004
H.R Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT.Refika Aditama, 2009
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika 2006
Soejono Koesoemo Sisworo, Beberpa Tentan Pemikiran Filsafat Hukum.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, PT. Kansius Yogyakarta 1982.
                                     , Filsafat Hukum, Pustaka Filsafat PT. Kansius Yogyakarta 1995.





       [1] Apakah hukum sungguh – sungguh muncul ? apakah hukum dapat disebut gejala, atau fenomena (dari phainomai = menyatakan diri).
                Dalam karangan “Hukum, bentuk atribut dan penerapannya’’ Pospisil menulis bahwa penggunaan kata gejala dalam hubungan dengan hukum kurang tepat. ‘’Hukum itu bukan gejala, melainkan gagasan, yakni suatu kategori konseptual yang digunakan untuk mengerti gejala – gejala yang muncul’’ (Ihroni, Antropologi dan Hukum, halaman 90-91).
                Namun pandangan ini tidak dapat dipertahankan. Hukum itu memang gejala, sebab tampak bagi manusia berdasarkan pengalamannya. Dalam masyrakat modern hukum tampak terutama dalam kaidah – kaidah yang disusun oleh pemerintah dan yang oleh ditaati oleh rakyat. Memang pengertian kita tentang hukum merupakan hasil suatu kegiatan intelektual dari subjek, akan tetapi kegiatan ini tidak mungkin bila tidak bertolak dari apa yang telah muncul dalam pengalaman.
       [2] Undang – undang Nomor. 14 Tahun 1970, Pasal 4 ayat (1) : peradilan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
       [3] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Pustaka Filsafat Kansius 1995, halaman 15 – 18.
       [4] Lili Rasjidi, Dasar – dasar Filsaffat Dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 2007, halaman 35 s.d 36.
       [5] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, PT. Kansius Yogyakarta 1982, halaman 269.
[6] Loc.Chit¸ Dasar – dasar Filsafat dan Teori Hukum, Halaman 163  s.d 164.
       [7] Lili Rasjidi, Dasar – dasar Filsaffat Dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar