Rabu, 17 April 2013

Filsafat Hukum

Memperbincangkan ‘Hukum’ Dari Perspektif Filsafat: Paradigma Hukum dan Pergeserannya Dalam Sejarah
Oleh: Soetandyo Wignjosoebroto

Semuapun tahu, yang sarjana maupun yang awam, bahwa hukum itu bukanlah sesuatu wujud yang menampak tersimak, melainkan suatu konsep. Sebagai suatu konsep, hukum akan berada di suatu ranah abstrak, yang sains empirik macam apapun tak akan mungkin dapat menggapainya begitu saja. Berada di ranah yang abstrak, wacana tentang hukum tentulah merupakan wacana falsafati, atau setidak-tidaknya mesti bermula dari suatu wacana yang falsafati sifatnya. Memang benar apa yang dikatakan orang, bahwa konsep itu sesungguhnya merupakan hasil persepsi, namun memproses hasil persepsi (yang individual dan subjektif) menjadi suatu konsep (yang kolektif dan intersubjektif) mestilah mendasarkan diri pada suatu paradigma yang diterima sebagai pangkal atau dasar pemikiran bersama, betapapun asumtifnya. Bagaimana penjelasannya? 

Hukum : Persepsi dan Konsepsi
Persepsi – berasal dari kata ‘per’ (total) dan ‘cepere’ (ditangkap atau diterima) — yang secara harafiah dapatlah diartikan sebagai ‘apa yang dimengerti’ (oleh seseorang subjek) berdasarkan kesaksian atas objek teretentu). Kesaksian mengenai objek yang eksis di alam fenomena umumnya tak terlalu banyak menimbulkan silang selisih antara para subjek; halnya akan berbeda manakala kesaksian terjadi pada alam nomena yang tak tersaksikan secara langsung dan secara bersamaan di antara para subjek.1 Penyamaan persepsi diperlukan untuk memperoleh persamaan persepsi yang definitif, yang mesti dilakukan melalui komunikasi yang intens, yang kemudian menghasilkan “ko (bersama) + cepere” alias ‘konsep’.
Demikianlah, konsep adalah representasi objek yang diketahui dan/atau dialami bersama oleh sekelompok manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang dikonstruksi bersama sebagai simbol bermakna. Tak pelak lagi, setiap konsep berikut pemaknaannya bermukim di alam numenon, ialah alam ide yang abstrak dan imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada di alam phenomenon, ialah alam fakta-aktual yang indrawi dan relatif lebih kongkrit. Syahdan, abstrak-kongkritnya konsep bisa berderajat-derajat. Kian berkualifikasi suatu konsep akan kian kongkritlah konsep itu. ‘Kucingku yang berwarna hitam’, misalnya, jelaslah kalau berposisi lebih kongkrit daripada ‘kucing’ begitu saja. Demikianlah pula dengan konsep yang dipakai untuk merepresentasikan ‘apakah hukum itu’.
Berbeda dengan ‘kucing’, suatu objek yang mewujud dalam bentuknya yang kongkrit dan bisa tersimak langsung secara indrawi, haruslah dikatakan di sini bahwa ‘hukum’ adalah konsep yang sejak awal merupakan konsep yang abstrak, yang dengan begitu tidak segera bisa dipersepsi secara langsung wujud kongkritnya. Kalaupun ada kualifikasi-kualifikasi yang diimbuhkan — seperti misalnya ‘hukum agama, hukum alam, hukum positif, hukum gravitasi, hukum pasar, hukum besi tentang upah oleh Ricardo, dan semacamnya – derajat abstraksinya masih juga tak segera tiba pada wujud-wujudnya yang bisa dipersepsi in concreto.
Amat abstrak, dan oleh sebab itu juga multi-interpretatif apabila diturunkan ke wujudnyang yang lebih kongkrit, apa yang disebut ‘hukum’ ini boleh dibilangkan sebagai a blue-sky concept yang “terpersepsi” dan terkonsepsi tanpa banyak selisih pada tataran konseptualnya namun yang selalu menimbulkan banyak debat tatkala hendak memperbincangkan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari dan pemecahan masalahnya yang kongkrit. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi tatkala hukum hanya bisa “dipersepsi” melalui kontemplasi dan tidak melalui observasi yang indrawi. Padahal, menyamakan persepsi yang dihasilkan oleh proses kontemplasi jelas jauh lebih sulit daripada melakukannya lewat penyimakan bersama, seperti yang dilakukan orang dalam kajian-kajian fisika atau biologi.

Teori Hukum : Bangunan Konseptual Yang Berparadigma
Dapat disimpulkan dari uraian di muka, bahwasanya ‘hukum’ itu adalah pertama-tama suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia sekolektiva (dan yang pula hidup sejaman!) tentang realitas-realitas yang mereka jumpai sebagai dalam pengalaman hidupnya, yang dijumpai dalam kehidupan empirikal maupun dalam kehidupan kontemplatifnya. Dinalar lebih lanjut, karena didalilkan bahwa concepts is the building blocks of theories, maka tak pelak lagi teori-teori hukum itu pada dasarnya adalah pula suatu konstruksi di alam gagasan nomenal yang in abstracto, walau tak kunjung putus diperhadapkan dengan realitas-realitas kehidupan fenomenal yang in concreto.
Memperhadapkan teori-teori hukum dengan realitas empiriknya adalah suatu aktivitas falsafati sejak lama, tak hanya untuk sebatas menyandingkan tetapi acapkali juga untuk membandingkan dan (bahkan !) menandingkan. Di sini diperhadapkan dua hukum yang berhakikat sebagai keniscayaan : keniscayaan yang normatif dengan sifatnya yang à priori berhadapan dengan keniscayaan yang nomologik dengan sifatnya yang à posteriori. Memperdebatkan manakah dari keduanya yang paling benar dalam statusnya sebagai kausa atau determinan pembenar adalah seperti memperdebatkan masalah yang sampai kinipun tak kunjung selesai, in casu mengenai “apakah telur yang berposisi sebagai kausa hadirnya ayam ataukah justru ayam itulah yang sesungguhnya berposisi sebagai kausa hadirnya telur-telur.
Jawab atas masalah seperti itu akan bergantung pada pilihan paradigma, yang pada gilirannya pilihan ini akan masih akan bergantung pada persoalan sejauh mana paradigma yang dipilih mampu menjawabi masalah yang terbit dalam sejarah peradaban manusia dan sehubungan itu juga memiliki signifikansinya. Walhasil, memperbincangkan konsep hukum dan gugus teorinya, orang selalu saja terlibat dalam suatu kontroversi pilihan mengenai konsep hukum yang berlanjut ke hakikatnya, mana yang benar dan mana pula yang sebenarnya. Sehubungan dengan kontroversi ini, tak pelak pula, orang mestilah akan juga memperbincangkan ihwal ‘paradigma’. Apakah paradigma itu?
Paradigma adalah suatu istilah yang kini amat populer dipakai dalam berbagai wavana di kalangan para akademisi untuk menyebut adanya “suatu pangkal(an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasai dengan keyakinan sebagai teori yang benar sebenar-benarnya”. Istilah ini berasal muasal dari bahasa Yunani klasik, paradeigma, dengan awal pemaknaannya yang filosofik, yang berarti ‘pola atau model berpikir’. Dalam khazanah literature modern, paradigma acapkali dipahamkan sebagai apa yang dalam Jerman disebut Weltanschauung atau yang disebut worldview atau belief dalam bahasa Inggris.
Dari pangkalan berpikir yang berbeda inilah, sekalipun melihat objek yang sama, orang tak ayal lagi akan memandang objek yang sama itu dengan persepsi interpretatif — dan akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan – yang berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat dipersepsi sebagai sebuah gelas yang berisi air, tetapi di lain pihak dapat pula dipersepsi sebagai sejumlah air yang tengah berada di dalam sebuah gelas. Seseorang yang religius – untuk menyebut misal lain — akan cenderung melihat manusia sebagai ruh yang terpenjara dalam tubuh yang fisikal, sedangkan seseorang yang lebih berorientasi sekular akan lebih cenderung untuk melihat manusia sebagai tubuh fisikal yang berfungsi secara bio-khemikal sebagai konverter energi yang memungkin terjadinya berbagai gerakan kinetik.
Dalam kajian tentang hukum sebagai keniscayaan semesta, kaum moralis – baik yang agamawan ataupun yang filosof – berkukuh pada keyakinan paradigmatic bahwa hukum itu berhakikat sebagai karya Illahi yang supranatural. Di pihak lain, kaum saintis – baik yang berpangkalan pada rasionalisme ataupun yang berpangkalan pada empirisme – berparadigma bahwa hukum itu pada hakikatnya adalah karya manusia yang bertanggungjawab atas hidupnya sendiri di dunia yang fana ini. Dari pilihan posisi paradigmatik inilah datangnya sejumlah konsep dasar mengenai apa yang disebut ‘hukum’ itu: the God’s atau moral law, the rational law, dan the empirical law. Demikianlah, dalam wacana filsafat dan akademik, tidak ada satu konsep tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu.

 Paradigm Shifts Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan (Juga Di Bidang Hukum)
            Ada sekurang-kurangnya empat paradigma tentang hukum, dan sejumlah in betweens atau “bentuk antara”nya. Darimana datangnya berbagai paradigma itu? Manakala diingat bahwa paradigma adalah hasil gagasan kontroversial manusia sepanjang perjalanan sejarah peradabannya, suatu produk pilihan dari kurun ke kurun yang dilakukan para elit pemikir tatkala mereka harus mencari dan menemukan hukum yang paling signifikan guna melestarikan eksistensi manusia sosio-politik manusia, maka tak salah kalau Thomas Kuhn mendalilkan bahwa paradigma itu sesungguhnya merupakan produk pergeseran pangkal berpikir manusia. Kuhn menggunakan istilah ‘paradigma’ tidak hanya untuk mengisaratkan adanya pola atau pangkal berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut paradigm shift.2
Kuhn, seorang ahli fisika, dalam kapasitasnya sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan sepanjang sejarah peradaban yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya mengembangkan pola atau model berpikir yang sama guna mendefinisikan pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai “yang normal dan yang paling benar”, untuk kemudian didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya “paling normal dan paling benar” pula. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik yang “tak lekang di panas dan tak lapuk di hujan” tidaklah selamanya bisa bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm shift.
Sejumlah gugus pengetahuan yang “normal dan harus dikukuhi sebagai hal yang benar” ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu tertentu, sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan, demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk mencari teori-teori pengetahuan baru atas dasar konsep-konsep yang baru pula untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan bersaranakan pengetahuan-pengetahuan berparadigma lama, dengan “beringsut untuk beralih” ke pengetahuan-pengetahuan baru yang dibangun atas dasar paradigma yang baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola berpikir paradigmatik yang lama ke yang baru.
Demikianlah, dalam percaturan pengetahuan dan ilmu hukum, perkembangan intelektual manusia pun tidaklah pernah berlangsung secara lempang-lempang dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang gejolak, ialah tatkala paradigma lama — sebagai “ilmu yang dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya” — gagal menjawabi masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma baru yang bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini akan menjadi sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan menyandingi melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama. Apabila berhasil, paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang meminggirkan paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak akan lenyap begitu saja dari percaturan.
Konsep paradigm shifts membuka kesadaran bersama bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu – juga dalam percaturan hukum — tak akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana “objektivitas” yang mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang berjalan dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan peneliti ilmiah yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk bergerak secara inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan terabaikan oleh kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang diyakini telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang “normal dan tak lagi diragukan legitimasinya”. Kehendak untuk mencari dan menemukan alur pendekatan baru yang berbau bid’ah ini selalu saja terjadi dalam sejarah falsafati dan keilmuan manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang mendasar pada kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga masyarakat politik pada banyak permasalahan baru yang menghendaki jawaban-jawaban yang baru pula.

The Ideal Law
Pertama-tama, yang paling klasik adalah The God’s law, yang — antara lain menurut keyakinan para penganut agama-agama besar dari Timur – tercipta di langit dan diturunkan sebagai wahyu ke penghuni bumi lewat para rasul, dan dijabarkan serta disebarluaskan lewat para nabi dan para ulama penerusnya. Inilah hukum yang meniscayakan terwujudnya tertib semesta, manifes dalam bentuk keselarasan yang sempurna, bagus dan indah, merefleksikan kehendak Tuhan yang telah final. Inilah hukum yang ideal, bersubstansi moral Tuhan dan dengan demikian berkarakter normatif yang serba mengajari dan mengharuskan. Inilah hukum yang oleh sebab itu berada di ranah Sollen: das Sollen Welt. Inilah law as what ought to be.
Tatkala kehidupan berubah menuju ke bentuk-bentuk yang lebih berformat dan berskala besar, hukum Tuhan sebagai hukum yang bersubstansi ajaran moral yang tunggal dan final menjadi tak lagi fungsional dan efektif. Inilah yang terjadi, sebagai salah satu contoh, tatkala komunitas Islam yang semula berstatus sebagai minoritas — berkat ekspansinya semasa pasca-Rasyidun – berubah menjadi negeri (dar) Islam yang besar dengan bentangan teritori dari Andalusia sampai ke Afghanistan. Asas-asas kebaikan dan keindahan yang termuat dalam ajaran wahyu memaksakan terjadinya positivisasi hukum dalam bentuk rumusan-rumusan preskriptif yang baku, yang kian memperlihatkan karakternya yang lebih formal daripada yang substantif. Inilah proses yang mentransformasi hukum yang semula berkarakter substantif-moral (yang hendak lebih berurusan dengan persoalan akhlak) ke bentuk hukum baru (yang lebih cenderung bersifat preskriptif untuk mengontrol perilaku lahiriah).
Proses pergeseran transformatif seperti itu sesungguhnya tak hanya terjadi pada hukum Islam, tetapi juga terjadi pada tribal law bangsa Romawi. Hukum orang Romawi ini, yang semula berlaku dalam lingkup lokal dalam wujud asas-asas saja, telah selesai tertransformasi menjadi kitab undang-undang Ius Civilis Romanum pada zaman kekuasaan kaisar Justinianus. Inilah kitab yang dimaksudkan untuk mengontrol standar perilaku orang-orang Romawi, yang sepanjang abad telah tersebar di banyak koloni di dataran benua yang membentang luas dari kawasan Irlandia sampai ke perbatasan Persia. Sepanjang abad yang sama dengan alasan yang sama, hukum umat Nasrani juga selesai tertransformasi menjadi hukum yang kian tak berkarakter normatif melainkan kian befrsifat preskriptif, terwujud dalam sebuah kitab yang dikenali dengan namanya : Ius Novum Canonici.
Pada abad pertengahan, berseiring dengan terbitnya abad renesans, hukum Tuhan yang beresensi moral itu beroleh perangai kemanusiaan tatkala moral Tuhan tak lagi dikonsepkan sebagai bagian dari wahyu yang turun dari langit, melainkan sebagai “kata hati” yang bermukim secara kodrati dalam sanubari setiap makhluk yang dilahirkan sebagai manusia. Kalaupun terjadi “kesepakatan” antar-anggota masyarakat tentang norma hukum apa yang harus dipatuhi dalam kehidupan, kesepakatan itu bukanlah terjadi karena adanya oerjanjian antar-warga melainkan karena kepahaman bersama yang kodrati atas norma moral sosial yang memunkinkan terwujudnya keselarasan dala,iduapn, bagaikan permainan suatu ensemble gamelan di mana setiap individu pemain mengetahui apa yang dimainkan karena setiap bagian dari partitur sudah terekam di benaknya.

The Rational Law
Pada abad renesans ini pula terjadinya pergeseran paradigma hukum yang lebih lanjut, dari paradigma moral – yang terkadang malah didasari keyakinan religious – ke paradigma yang rasional. Bersamaan dengan mengedepannya paham hukum alam atau yang disebut juga hukum kodrat, banyak pemikir di abad itu mengasumsikan suatu kebenaran bahwa kemungkinan kehidupan bermasyarakat manusia tak hanya ditentukan oleh moral Tuhan yang tertanam secara kodrati dalam diri manusia, melainkan pertama-tama berkat rasionalitasnya yang kodrati pula.
Manusia rasional adalah manusia yang mendambakan kehidupan yang bebas dan berpamrih kuat untuk memiliki materi sebagai bagian dari kepenakatan hayatinya. Tetapi manusia yang rasional bisa memperhitungkan juga bahwa kebebasan individual yang tanpa batas justru akan mengancam keberlangsungan kebebasannya itu dan pada gilirannya juga akan mengganggu keberlangsungan pemilikan atas materi yang diperlukan untuk melestarikan eksistensinya sebagai individu. Dari sinilah datangnya penalaran yang rasional bahwa kesepakatan antar-sesama — yang sama-sama berkodrat rasional — lewat perjanjian yang akan mencegah sesama merugikan sesama. Inilah paradigma kontrak-sosial yang menjadi dasar pembenar terjadinya negara dan hukum.
Paradigma kontrak sosial, yang mengkonsepkan hukum sebagai produk perjanjian antara manusia-manusia yang rasional, menggeser konsep paradigmatik sebelumnya yang meyakini hukum sebagai ekspresi moral. Hukum adalah konstruksi rasional yang lugas untuk tidak mendefinisikan moral keadilan sebagai hasil ajaran melainkan sebagai kesepakatan untuk berbagi hak dan berbagi kewajiban, tanpa adanya ulah pemaksaan atau penyesatan oleh para pihak, pacta sunt servanda. Inilah paradigma yang memberikan penjelasan sekaligus pembenaran berlakunya konstitusi, undang-undang dan berbagai kontrak perdata dan penolakan pada setiap titah penguasa yang tak didasari kesepakatan. Paradigma kontrak sosial inipun memberikan dasar pembenar berlakunya kehidupan bernegara yang demokratik, yang bahkan mmberikan dasar pembenar untuk melancarkan revolusi manakala penguasa tak lagi mematuhi kesepakatannya dengan rakyat sebagaimana termuat dalam konstitusi.
Sepanjang abad 19, dengan kian lanjutnya kehidupan nasional dan industrial, penataan yang legal dan rasional berdasarkan hukum undang-undang (ius positivum) pun kian menjadi kenyataan sehari-hari. Topangan doktrinnya dirintis oleh sejumlah filosof rasionalis berikut para pengikutnya, yang di bidang hukum lazim disebut kaum positivis atau kaum legis (<lege = undang-undang), mulai dari Jean-Jacques Rousseau dan Jeremy Bentham sampaipun ke John Austin, Hans Kelsen dan Herbert Hart. Merekalah yang mencanangkan doktrin bahwa “tiada hukum tanpa adanya undang-undang” berikut ikutannya tentang betapa supremasinya undang-undang itu. Doktrin rechtsstaat pun memperkuat keniscayaan bahwa status hukum itu demikian tingginya sehingga sesiapapun, tak terkecualinya para pembesar negara, diniscayakan tunduk dan menghormati undang-undang yang merupakan produk kesepakatan rakyat. Bahkan, di negeri-negeri bertradisi civil law, bahkan hakim harus mengakui statusnya “hanya sebagai mulut yang membunyikan bunyi undang-undang”
Datangnya abad 20 mengundang terjadinya suatu paradigm shifts sekali lagi. Paradigma rational law kaum legis mulai dicabar oleh pertanyaan kritis tentang “rasional dan rasionale siapakah yang terakomodasi di dalam hukum undang-undang itu?”. Abad 20, berkat rintisan filosof positivis Perancis bernama August Comte, adalah abad mulai didayagunakananya metode sains untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pola perilaku sosial yang sampai batas tertentu dapat diprediksikan terjadinya. Saintisme sosial inilah yang mempertanyakan sejauh manakah undang-undang sebagai rational law itu benar-benar rasional dalam maknanya yang saintifik, ataukah kebenaran undang-undang itu baru diberangkatkan dari asumsi-asumsi yang hipotetik belaka, seperti asumsi tentang obsesi manusia pada kebebasan dan pada kehendaknya untuk mengejar kebahagiaan duniawi semata.
Saintisme sosial abad 20 nyata kalau telah menemukan berbagai scientific laws (yang boleh juga diistilahi empirical laws) tentang pola perilaku aktual warga masyarakat yang cukup berkeniscayaan, yang acapkali justru mencabar keniscayaan yang dijamin undang-undang. Asumsi kesetaraan antar-manusia sebagai makhluk yang menurut kodratnya sama-sama rasional, ternyata tak terbukti kebenarannya dalam kehidupan sosial yang aktual dan empirik manakala kesepakatan legislatif tidak kunjung menjamin kesetaraan dalam hak-hak rakyat dalam ekonomi dan kehidupan politik. Saintisme sosial abad 20 menunjukkan dalam banyak persoalan bahwa hukum undang-undang yang berdoktrin legisme murni sudah mengalami krisis paradigmatik, dan tak lagi dapat menjalankan fungsinya untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegar
Mengatasi krisis dengan berbagai anomalinya, ‘ilmu hukum’ kian bergerak menuju ke kepribadiannya yang baru sebagai ‘studi hukum’ yang memungkinkan kajian-kajian yang lebih bersifat ‘in between’ daripada yang ‘murni’. Cara berpikir berhukum-hukum juga beringsut ke cara berpikir yang tak lagi vertikal-deduktif melainkan lateral untuk “menyapa” kajian-kajian lain yang non-yuridis agar setiap keputusan hukum dapat berfungsi lebih efektif dan dengan demikian memperoleh signikansi sosialnya. Kajian-kajian tentang legal text menjadi kian memasuki ranah socio-political contextnya, seperti misalnya cabang-cabang kajian ‘hukum dan masyarakat, hukum dan ekonomi, hukum dan teknologi, dan sebangsanya’, yang pada gilirannya mengundang aliran-aliran baru dalamilmu hukum, seperti misalnya ‘the functional jurisprudence, realism in jurispridence, the critical jurisprudence, dan semacamnya’.

Epilog
Alam masih beredar, duniapun masih berputar. Sejarahpun masih belum menampakkan tanda-tandanya untuk “menutup buku”. Sejarah hukum sebagai sejarah manusia dalam upayanya mengontrol tertibnya kehidupan masih belum mencapai grand finalnya. Krisis demi krisis – berseiring dengan pertumbuhkembangan masyarakat, dari yang lokal ke yang nasional, yang masih bersiterus ke yang global – masih terjadi. Kontrol sosial berdasarkan moral lokal yang acap juga religius telah tergeser dari posisinya sebagai arus besar, untuk kemudian digantikan oleh yang rasional guna diefektifkan sebagai sarana pengontrol kehidupan bermasyarakat dan bernegara modern, yang pada gilirannya juga mesti menghadapi cabaran baru dari kaum saintis yang menyorongkan berbagai empirical laws yang berlaku sebagai keniscayaan di luar kehendak manusia.
Aliran –aliran pemikiran baru dalam kajian hukum amatlah diharapkan, untuk bisa bertindak lebih jauh dari sebatas mengupayakan legal reform seperti yang diupayakan oleh para politisi dan kaum professional. Amat diharapkan terjadinya upaya yang lebih memasuki dunia pemikiran falsafati, tidak hanya bermaksud untuk mengkritiki paradigma-paradigma hukum yang tengah berlaku namun yang mungkin sudah obsolete dan karena itu hanya mengundang anomalio-anomali saja. Alih-alih, upaya itu hendaklah juga bisa menemukan paradigma baru yang lebih mampu memberikan arah dan dasar pembenar pada setiap law reform yang tengah dikerjakan. Sayangnya, dunia hukum tengah mengalami krisis para pemikir. Universitas yang semula berhakikat sebagai “komunitas para guru dan para ilmuwan” (universitas magistrorum et scholarium) amat disayangkan kini kian lebih banyak dipenuhi oleh project officers pemburu rente daripada dipenuhi para pemikir pemburu paradigma yang menetukan masa depan intelektualitas dan kearifan bangsa di masa depan. (Semoga Pusat Belajar Epistema bisa mengisi kekurangan dan lowongan ini).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar