Memperbincangkan ‘Hukum’ Dari Perspektif Filsafat: Paradigma
Hukum dan Pergeserannya Dalam Sejarah
Oleh: Soetandyo Wignjosoebroto
Semuapun tahu, yang sarjana maupun yang awam, bahwa hukum
itu bukanlah sesuatu wujud yang menampak tersimak, melainkan suatu konsep.
Sebagai suatu konsep, hukum akan berada di suatu ranah abstrak, yang sains
empirik macam apapun tak akan mungkin dapat menggapainya begitu saja. Berada di
ranah yang abstrak, wacana tentang hukum tentulah merupakan wacana falsafati,
atau setidak-tidaknya mesti bermula dari suatu wacana yang falsafati sifatnya.
Memang benar apa yang dikatakan orang, bahwa konsep itu sesungguhnya merupakan
hasil persepsi, namun memproses hasil persepsi (yang individual dan subjektif)
menjadi suatu konsep (yang kolektif dan intersubjektif) mestilah mendasarkan
diri pada suatu paradigma yang diterima sebagai pangkal atau dasar pemikiran
bersama, betapapun asumtifnya. Bagaimana penjelasannya?
Hukum : Persepsi dan Konsepsi
Persepsi – berasal dari kata ‘per’ (total) dan ‘cepere’
(ditangkap atau diterima) — yang secara harafiah dapatlah diartikan sebagai
‘apa yang dimengerti’ (oleh seseorang subjek) berdasarkan kesaksian atas objek
teretentu). Kesaksian mengenai objek yang eksis di alam fenomena umumnya tak
terlalu banyak menimbulkan silang selisih antara para subjek; halnya akan
berbeda manakala kesaksian terjadi pada alam nomena yang tak tersaksikan secara
langsung dan secara bersamaan di antara para subjek.1
Penyamaan persepsi diperlukan untuk memperoleh persamaan persepsi yang
definitif, yang mesti dilakukan melalui komunikasi yang intens, yang kemudian
menghasilkan “ko (bersama) + cepere” alias ‘konsep’.
Demikianlah, konsep adalah representasi objek yang diketahui
dan/atau dialami bersama oleh sekelompok manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya, yang dikonstruksi bersama sebagai simbol bermakna. Tak pelak
lagi, setiap konsep berikut pemaknaannya bermukim di alam numenon, ialah
alam ide yang abstrak dan imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada
di alam phenomenon, ialah alam fakta-aktual yang indrawi dan relatif
lebih kongkrit. Syahdan, abstrak-kongkritnya konsep bisa berderajat-derajat.
Kian berkualifikasi suatu konsep akan kian kongkritlah konsep itu. ‘Kucingku
yang berwarna hitam’, misalnya, jelaslah kalau berposisi lebih kongkrit
daripada ‘kucing’ begitu saja. Demikianlah pula dengan konsep yang dipakai
untuk merepresentasikan ‘apakah hukum itu’.
Berbeda dengan ‘kucing’, suatu objek yang mewujud dalam
bentuknya yang kongkrit dan bisa tersimak langsung secara indrawi, haruslah
dikatakan di sini bahwa ‘hukum’ adalah konsep yang sejak awal merupakan konsep
yang abstrak, yang dengan begitu tidak segera bisa dipersepsi secara langsung
wujud kongkritnya. Kalaupun ada kualifikasi-kualifikasi yang diimbuhkan —
seperti misalnya ‘hukum agama, hukum alam, hukum positif, hukum gravitasi,
hukum pasar, hukum besi tentang upah oleh Ricardo, dan semacamnya – derajat
abstraksinya masih juga tak segera tiba pada wujud-wujudnya yang bisa
dipersepsi in concreto.
Amat abstrak, dan oleh sebab itu juga multi-interpretatif
apabila diturunkan ke wujudnyang yang lebih kongkrit, apa yang disebut ‘hukum’
ini boleh dibilangkan sebagai a blue-sky concept yang “terpersepsi” dan
terkonsepsi tanpa banyak selisih pada tataran konseptualnya namun yang selalu
menimbulkan banyak debat tatkala hendak memperbincangkan wujudnya dalam
kehidupan sehari-hari dan pemecahan masalahnya yang kongkrit. Persoalannya
menjadi lebih kompleks lagi tatkala hukum hanya bisa “dipersepsi” melalui
kontemplasi dan tidak melalui observasi yang indrawi. Padahal, menyamakan
persepsi yang dihasilkan oleh proses kontemplasi jelas jauh lebih sulit
daripada melakukannya lewat penyimakan bersama, seperti yang dilakukan orang
dalam kajian-kajian fisika atau biologi.
Teori Hukum : Bangunan Konseptual Yang Berparadigma
Dapat disimpulkan dari uraian di muka, bahwasanya ‘hukum’
itu adalah pertama-tama suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia
sekolektiva (dan yang pula hidup sejaman!) tentang realitas-realitas yang
mereka jumpai sebagai dalam pengalaman hidupnya, yang dijumpai dalam kehidupan
empirikal maupun dalam kehidupan kontemplatifnya. Dinalar lebih lanjut, karena
didalilkan bahwa concepts is the building blocks of theories, maka tak
pelak lagi teori-teori hukum itu pada dasarnya adalah pula suatu konstruksi di
alam gagasan nomenal yang in abstracto, walau tak kunjung putus
diperhadapkan dengan realitas-realitas kehidupan fenomenal yang in concreto.
Memperhadapkan teori-teori hukum dengan realitas empiriknya
adalah suatu aktivitas falsafati sejak lama, tak hanya untuk sebatas
menyandingkan tetapi acapkali juga untuk membandingkan dan (bahkan !)
menandingkan. Di sini diperhadapkan dua hukum yang berhakikat sebagai
keniscayaan : keniscayaan yang normatif dengan sifatnya yang à priori
berhadapan dengan keniscayaan yang nomologik dengan sifatnya yang à posteriori.
Memperdebatkan manakah dari keduanya yang paling benar dalam statusnya sebagai
kausa atau determinan pembenar adalah seperti memperdebatkan masalah yang
sampai kinipun tak kunjung selesai, in casu mengenai “apakah telur yang
berposisi sebagai kausa hadirnya ayam ataukah justru ayam itulah yang
sesungguhnya berposisi sebagai kausa hadirnya telur-telur.
Jawab atas masalah seperti itu akan bergantung pada pilihan
paradigma, yang pada gilirannya pilihan ini akan masih akan bergantung pada
persoalan sejauh mana paradigma yang dipilih mampu menjawabi masalah yang
terbit dalam sejarah peradaban manusia dan sehubungan itu juga memiliki
signifikansinya. Walhasil, memperbincangkan konsep hukum dan gugus teorinya,
orang selalu saja terlibat dalam suatu kontroversi pilihan mengenai konsep
hukum yang berlanjut ke hakikatnya, mana yang benar dan mana pula yang
sebenarnya. Sehubungan dengan kontroversi ini, tak pelak pula, orang mestilah
akan juga memperbincangkan ihwal ‘paradigma’. Apakah paradigma itu?
Paradigma adalah suatu istilah yang kini amat populer
dipakai dalam berbagai wavana di kalangan para akademisi untuk menyebut adanya
“suatu pangkal(an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman
interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif
pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasai dengan
keyakinan sebagai teori yang benar sebenar-benarnya”. Istilah ini berasal
muasal dari bahasa Yunani klasik, paradeigma, dengan awal
pemaknaannya yang filosofik, yang berarti ‘pola atau model berpikir’. Dalam
khazanah literature modern, paradigma acapkali dipahamkan sebagai apa yang
dalam Jerman disebut Weltanschauung atau yang disebut worldview atau
belief dalam bahasa Inggris.
Dari pangkalan berpikir yang berbeda inilah, sekalipun
melihat objek yang sama, orang tak ayal lagi akan memandang objek yang sama itu
dengan persepsi interpretatif — dan akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan
– yang berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat dipersepsi
sebagai sebuah gelas yang berisi air, tetapi di lain pihak dapat
pula dipersepsi sebagai sejumlah air yang tengah berada di dalam
sebuah gelas. Seseorang yang religius – untuk menyebut misal lain — akan
cenderung melihat manusia sebagai ruh yang terpenjara dalam tubuh yang fisikal,
sedangkan seseorang yang lebih berorientasi sekular akan lebih cenderung untuk
melihat manusia sebagai tubuh fisikal yang berfungsi secara bio-khemikal
sebagai konverter energi yang memungkin terjadinya berbagai gerakan kinetik.
Dalam kajian tentang hukum sebagai keniscayaan semesta, kaum
moralis – baik yang agamawan ataupun yang filosof – berkukuh pada keyakinan
paradigmatic bahwa hukum itu berhakikat sebagai karya Illahi yang supranatural.
Di pihak lain, kaum saintis – baik yang berpangkalan pada rasionalisme ataupun
yang berpangkalan pada empirisme – berparadigma bahwa hukum itu pada hakikatnya
adalah karya manusia yang bertanggungjawab atas hidupnya sendiri di dunia yang
fana ini. Dari pilihan posisi paradigmatik inilah datangnya sejumlah konsep
dasar mengenai apa yang disebut ‘hukum’ itu: the God’s atau moral
law, the rational law, dan the empirical
law. Demikianlah, dalam wacana filsafat dan akademik, tidak ada satu
konsep tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu.
Paradigm Shifts
Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan (Juga Di Bidang Hukum)
Ada
sekurang-kurangnya empat paradigma tentang hukum, dan sejumlah in betweens atau
“bentuk antara”nya. Darimana datangnya berbagai paradigma itu? Manakala diingat
bahwa paradigma adalah hasil gagasan kontroversial manusia sepanjang perjalanan
sejarah peradabannya, suatu produk pilihan dari kurun ke kurun yang dilakukan
para elit pemikir tatkala mereka harus mencari dan menemukan hukum yang paling
signifikan guna melestarikan eksistensi manusia sosio-politik manusia, maka tak
salah kalau Thomas Kuhn mendalilkan bahwa paradigma itu sesungguhnya merupakan
produk pergeseran pangkal berpikir manusia. Kuhn menggunakan istilah
‘paradigma’ tidak hanya untuk mengisaratkan adanya pola atau pangkal berpikir
yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik antara
berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut paradigm shift.2
Kuhn, seorang ahli fisika, dalam kapasitasnya
sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan sepanjang sejarah
peradaban yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan dapat mempertahankan
eksistensinya atas dasar kemampuannya mengembangkan pola atau model berpikir
yang sama guna mendefinisikan pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya
sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai “yang
normal dan yang paling benar”, untuk kemudian didayagunakan sebagai penunjang
kehidupan yang dipandangnya “paling normal dan paling benar” pula. Tetapi
bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik yang “tak
lekang di panas dan tak lapuk di hujan” tidaklah selamanya bisa bertahan dalam
jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi
pergeseran atau beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan
ilmunya itu dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the
paradigm shift.
Sejumlah
gugus pengetahuan yang “normal dan harus dikukuhi sebagai hal yang benar” ini
hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu tertentu, sampai suatu ketika tatkala
datang krisis; ialah ketika seluruh gugus teori pengetahuan yang “normal”
ternyata tak lagi dapat didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi
persoalan hidup yang bermunculan, demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan
yang mendorong orang untuk mencari teori-teori pengetahuan baru atas dasar
konsep-konsep yang baru pula untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa
dipecahkan bersaranakan pengetahuan-pengetahuan berparadigma lama, dengan
“beringsut untuk beralih” ke pengetahuan-pengetahuan baru yang dibangun atas
dasar paradigma yang baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola berpikir
paradigmatik yang lama ke yang baru.
Demikianlah, dalam percaturan pengetahuan dan ilmu hukum,
perkembangan intelektual manusia pun tidaklah pernah berlangsung secara
lempang-lempang dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a
mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi
kritik yang mengundang gejolak, ialah tatkala paradigma lama — sebagai “ilmu
yang dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya” — gagal menjawabi
masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan menerbitkan
anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma baru yang
bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini akan menjadi
sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan menyandingi
melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama. Apabila berhasil,
paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang meminggirkan
paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak akan lenyap begitu saja
dari percaturan.
Konsep paradigm shifts membuka kesadaran
bersama bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu – juga dalam percaturan hukum
— tak akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana “objektivitas” yang
mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang berjalan
dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan peneliti ilmiah
yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk bergerak secara
inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan baru, atau untuk
mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu sebenarnya sudah ada namun
yang selama ini terpendam dan terabaikan oleh kalangan yang selama ini berkukuh
pada paradigma lama yang diyakini telah berhasil menyajikan sehimpunan
pengetahuan yang “normal dan tak lagi diragukan legitimasinya”. Kehendak untuk
mencari dan menemukan alur pendekatan baru yang berbau bid’ah ini selalu saja
terjadi dalam sejarah falsafati dan keilmuan manusia, khususnya apabila terjadi
perubahan besar yang mendasar pada kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan
manusia warga masyarakat politik pada banyak permasalahan baru yang menghendaki
jawaban-jawaban yang baru pula.
The Ideal Law
Pertama-tama, yang paling klasik adalah The God’s law,
yang — antara lain menurut keyakinan para penganut agama-agama besar dari Timur
– tercipta di langit dan diturunkan sebagai wahyu ke penghuni bumi lewat para
rasul, dan dijabarkan serta disebarluaskan lewat para nabi dan para ulama
penerusnya. Inilah hukum yang meniscayakan terwujudnya tertib semesta, manifes
dalam bentuk keselarasan yang sempurna, bagus dan indah, merefleksikan kehendak
Tuhan yang telah final. Inilah hukum yang ideal, bersubstansi moral Tuhan dan
dengan demikian berkarakter normatif yang serba mengajari dan mengharuskan.
Inilah hukum yang oleh sebab itu berada di ranah Sollen: das Sollen Welt.
Inilah law as what ought to be.
Tatkala kehidupan berubah menuju ke bentuk-bentuk yang lebih
berformat dan berskala besar, hukum Tuhan sebagai hukum yang bersubstansi
ajaran moral yang tunggal dan final menjadi tak lagi fungsional dan efektif.
Inilah yang terjadi, sebagai salah satu contoh, tatkala komunitas Islam yang
semula berstatus sebagai minoritas — berkat ekspansinya semasa pasca-Rasyidun –
berubah menjadi negeri (dar) Islam yang besar dengan bentangan teritori
dari Andalusia sampai ke Afghanistan. Asas-asas kebaikan dan keindahan yang
termuat dalam ajaran wahyu memaksakan terjadinya positivisasi hukum dalam
bentuk rumusan-rumusan preskriptif yang baku, yang kian memperlihatkan
karakternya yang lebih formal daripada yang substantif. Inilah proses yang
mentransformasi hukum yang semula berkarakter substantif-moral (yang hendak
lebih berurusan dengan persoalan akhlak) ke bentuk hukum baru (yang lebih
cenderung bersifat preskriptif untuk mengontrol perilaku lahiriah).
Proses pergeseran transformatif seperti itu sesungguhnya tak
hanya terjadi pada hukum Islam, tetapi juga terjadi pada tribal law bangsa
Romawi. Hukum orang Romawi ini, yang semula berlaku dalam lingkup lokal dalam
wujud asas-asas saja, telah selesai tertransformasi menjadi kitab undang-undang
Ius Civilis Romanum pada zaman kekuasaan kaisar
Justinianus. Inilah kitab yang dimaksudkan untuk mengontrol standar perilaku
orang-orang Romawi, yang sepanjang abad telah tersebar di banyak koloni di
dataran benua yang membentang luas dari kawasan Irlandia sampai ke perbatasan
Persia. Sepanjang abad yang sama dengan alasan yang sama, hukum umat Nasrani
juga selesai tertransformasi menjadi hukum yang kian tak berkarakter normatif
melainkan kian befrsifat preskriptif, terwujud dalam sebuah kitab yang dikenali
dengan namanya : Ius Novum Canonici.
Pada abad pertengahan, berseiring dengan terbitnya abad
renesans, hukum Tuhan yang beresensi moral itu beroleh perangai kemanusiaan
tatkala moral Tuhan tak lagi dikonsepkan sebagai bagian dari wahyu yang turun
dari langit, melainkan sebagai “kata hati” yang bermukim secara kodrati dalam
sanubari setiap makhluk yang dilahirkan sebagai manusia. Kalaupun terjadi “kesepakatan”
antar-anggota masyarakat tentang norma hukum apa yang harus dipatuhi dalam
kehidupan, kesepakatan itu bukanlah terjadi karena adanya oerjanjian
antar-warga melainkan karena kepahaman bersama yang kodrati atas norma moral
sosial yang memunkinkan terwujudnya keselarasan dala,iduapn, bagaikan permainan
suatu ensemble gamelan di mana setiap individu pemain mengetahui apa yang
dimainkan karena setiap bagian dari partitur sudah terekam di benaknya.
The Rational Law
Pada abad renesans ini pula terjadinya pergeseran paradigma
hukum yang lebih lanjut, dari paradigma moral – yang terkadang malah didasari
keyakinan religious – ke paradigma yang rasional. Bersamaan dengan
mengedepannya paham hukum alam atau yang disebut juga hukum kodrat, banyak
pemikir di abad itu mengasumsikan suatu kebenaran bahwa kemungkinan kehidupan
bermasyarakat manusia tak hanya ditentukan oleh moral Tuhan yang tertanam
secara kodrati dalam diri manusia, melainkan pertama-tama berkat
rasionalitasnya yang kodrati pula.
Manusia rasional adalah manusia yang mendambakan kehidupan
yang bebas dan berpamrih kuat untuk memiliki materi sebagai bagian dari
kepenakatan hayatinya. Tetapi manusia yang rasional bisa memperhitungkan juga
bahwa kebebasan individual yang tanpa batas justru akan mengancam
keberlangsungan kebebasannya itu dan pada gilirannya juga akan mengganggu
keberlangsungan pemilikan atas materi yang diperlukan untuk melestarikan
eksistensinya sebagai individu. Dari sinilah datangnya penalaran yang rasional
bahwa kesepakatan antar-sesama — yang sama-sama berkodrat rasional — lewat
perjanjian yang akan mencegah sesama merugikan sesama. Inilah paradigma
kontrak-sosial yang menjadi dasar pembenar terjadinya negara dan hukum.
Paradigma kontrak sosial, yang mengkonsepkan hukum sebagai produk
perjanjian antara manusia-manusia yang rasional, menggeser konsep paradigmatik
sebelumnya yang meyakini hukum sebagai ekspresi moral. Hukum adalah konstruksi
rasional yang lugas untuk tidak mendefinisikan moral keadilan sebagai hasil
ajaran melainkan sebagai kesepakatan untuk berbagi hak dan berbagi kewajiban,
tanpa adanya ulah pemaksaan atau penyesatan oleh para pihak, pacta sunt
servanda. Inilah paradigma yang memberikan penjelasan sekaligus
pembenaran berlakunya konstitusi, undang-undang dan berbagai kontrak perdata
dan penolakan pada setiap titah penguasa yang tak didasari kesepakatan.
Paradigma kontrak sosial inipun memberikan dasar pembenar berlakunya kehidupan
bernegara yang demokratik, yang bahkan mmberikan dasar pembenar untuk
melancarkan revolusi manakala penguasa tak lagi mematuhi kesepakatannya dengan
rakyat sebagaimana termuat dalam konstitusi.
Sepanjang abad 19, dengan kian lanjutnya kehidupan nasional
dan industrial, penataan yang legal dan rasional berdasarkan hukum
undang-undang (ius positivum) pun kian menjadi kenyataan
sehari-hari. Topangan doktrinnya dirintis oleh sejumlah filosof rasionalis
berikut para pengikutnya, yang di bidang hukum lazim disebut kaum positivis
atau kaum legis (<lege = undang-undang), mulai dari Jean-Jacques Rousseau
dan Jeremy Bentham sampaipun ke John Austin, Hans Kelsen dan Herbert Hart.
Merekalah yang mencanangkan doktrin bahwa “tiada hukum tanpa adanya
undang-undang” berikut ikutannya tentang betapa supremasinya undang-undang itu.
Doktrin rechtsstaat pun memperkuat keniscayaan bahwa status hukum itu
demikian tingginya sehingga sesiapapun, tak terkecualinya para pembesar negara,
diniscayakan tunduk dan menghormati undang-undang yang merupakan produk
kesepakatan rakyat. Bahkan, di negeri-negeri bertradisi civil law,
bahkan hakim harus mengakui statusnya “hanya sebagai mulut yang membunyikan
bunyi undang-undang”
Datangnya abad 20 mengundang terjadinya suatu paradigm
shifts sekali lagi. Paradigma rational law kaum legis mulai dicabar
oleh pertanyaan kritis tentang “rasional dan rasionale siapakah yang
terakomodasi di dalam hukum undang-undang itu?”. Abad 20, berkat rintisan
filosof positivis Perancis bernama August Comte, adalah abad mulai
didayagunakananya metode sains untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pola perilaku
sosial yang sampai batas tertentu dapat diprediksikan terjadinya. Saintisme
sosial inilah yang mempertanyakan sejauh manakah undang-undang sebagai rational
law itu benar-benar rasional dalam maknanya yang saintifik, ataukah
kebenaran undang-undang itu baru diberangkatkan dari asumsi-asumsi yang
hipotetik belaka, seperti asumsi tentang obsesi manusia pada kebebasan dan pada
kehendaknya untuk mengejar kebahagiaan duniawi semata.
Saintisme sosial abad 20 nyata kalau telah menemukan
berbagai scientific laws (yang boleh juga diistilahi empirical laws)
tentang pola perilaku aktual warga masyarakat yang cukup berkeniscayaan, yang
acapkali justru mencabar keniscayaan yang dijamin undang-undang. Asumsi
kesetaraan antar-manusia sebagai makhluk yang menurut kodratnya sama-sama
rasional, ternyata tak terbukti kebenarannya dalam kehidupan sosial yang aktual
dan empirik manakala kesepakatan legislatif tidak kunjung menjamin kesetaraan
dalam hak-hak rakyat dalam ekonomi dan kehidupan politik. Saintisme sosial abad
20 menunjukkan dalam banyak persoalan bahwa hukum undang-undang yang berdoktrin
legisme murni sudah mengalami krisis paradigmatik, dan tak lagi dapat
menjalankan fungsinya untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegar
Mengatasi krisis dengan berbagai anomalinya, ‘ilmu hukum’
kian bergerak menuju ke kepribadiannya yang baru sebagai ‘studi hukum’ yang
memungkinkan kajian-kajian yang lebih bersifat ‘in between’ daripada
yang ‘murni’. Cara berpikir berhukum-hukum juga beringsut ke cara berpikir yang
tak lagi vertikal-deduktif melainkan lateral untuk “menyapa” kajian-kajian lain
yang non-yuridis agar setiap keputusan hukum dapat berfungsi lebih efektif dan
dengan demikian memperoleh signikansi sosialnya. Kajian-kajian tentang legal
text menjadi kian memasuki ranah socio-political contextnya, seperti
misalnya cabang-cabang kajian ‘hukum dan masyarakat, hukum dan ekonomi, hukum
dan teknologi, dan sebangsanya’, yang pada gilirannya mengundang aliran-aliran
baru dalamilmu hukum, seperti misalnya ‘the functional jurisprudence,
realism in jurispridence, the critical jurisprudence, dan semacamnya’.
Epilog
Alam masih beredar, duniapun masih berputar. Sejarahpun
masih belum menampakkan tanda-tandanya untuk “menutup buku”. Sejarah hukum
sebagai sejarah manusia dalam upayanya mengontrol tertibnya kehidupan masih
belum mencapai grand finalnya. Krisis demi krisis – berseiring dengan
pertumbuhkembangan masyarakat, dari yang lokal ke yang nasional, yang masih
bersiterus ke yang global – masih terjadi. Kontrol sosial berdasarkan moral
lokal yang acap juga religius telah tergeser dari posisinya sebagai arus besar,
untuk kemudian digantikan oleh yang rasional guna diefektifkan sebagai sarana
pengontrol kehidupan bermasyarakat dan bernegara modern, yang pada gilirannya
juga mesti menghadapi cabaran baru dari kaum saintis yang menyorongkan berbagai
empirical laws yang berlaku sebagai keniscayaan di luar kehendak
manusia.
Aliran –aliran pemikiran baru dalam kajian hukum amatlah
diharapkan, untuk bisa bertindak lebih jauh dari sebatas mengupayakan legal
reform seperti yang diupayakan oleh para politisi dan kaum professional.
Amat diharapkan terjadinya upaya yang lebih memasuki dunia pemikiran falsafati,
tidak hanya bermaksud untuk mengkritiki paradigma-paradigma hukum yang tengah
berlaku namun yang mungkin sudah obsolete dan karena itu hanya mengundang
anomalio-anomali saja. Alih-alih, upaya itu hendaklah juga bisa menemukan
paradigma baru yang lebih mampu memberikan arah dan dasar pembenar pada setiap law
reform yang tengah dikerjakan. Sayangnya, dunia hukum tengah mengalami
krisis para pemikir. Universitas yang semula berhakikat sebagai “komunitas para
guru dan para ilmuwan” (universitas magistrorum et scholarium) amat
disayangkan kini kian lebih banyak dipenuhi oleh project officers pemburu
rente daripada dipenuhi para pemikir pemburu paradigma yang menetukan masa
depan intelektualitas dan kearifan bangsa di masa depan. (Semoga Pusat Belajar
Epistema bisa mengisi kekurangan dan lowongan ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar