Positivisme
adalah sebuah aliran kejiwaan yang sejak bagian ke – 2 abad XIX sampai sekarang
telah menjalankan pengaruhnya yang besar. Asas – asasnya telah dirumuskan oleh
seorang ahli filsafat Perancis Agus Comte (1798-1857) namun hal – hal tersebut
pada hakikatnya adalah ekpresi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan di
warnai oleh perkembangan pesat ilmu – ilmu eksakta berikut penerapan –
penerapannya di dalam teknik industri. Kesemuanya ini merupakan pengejawantahan
yang nyata – nyata gagasan kemajuan yang diraih oleh ilmu pengetahuan yang
telah dipropagandakan oleh kaum ensiklopedist dan ahli – ahli filsafat
kecerahan pada abad ke XVIII.
Comte telah
menemukan perkembangan pemikiran manusia mengikuti tiga fase yang menurutnya
terdiri dari suatu rentetan ketentuan – ketentuan umum yang sudah ditetapkan.
Yang penting
bagi Comte adalah stadium ilmiah, sebagai stadium terakhir dan tertinggi
pemikiran manusia, yang di capai pada abad XIX, diperluas menjadi suatu konsep
total, yang dapat disebarkan secara umum dan yang diatasnya dapat didirikan
suatu tertib sosial dan politik yang stabil setelah periode revolusi akhir abad
XVIII dan abad XIX. Ini lah yang pada hakikatnya menyebabkan menaruh perhatian
yang besar terhadap perancangan sebuah “physique sosiale ou sociologie”, yang
harus merampungkan keseluruhan pengetahuan ilmiah. Dengan cara demikian
pemikiran manusia, yang di atasnya praktek sosial perlu juga didasarkan menjadi
homogeny dan akan dibersihkan dari pengertian – pengertian teologis, metafisis
atau abstrak murni.
Ciri khas umum
suatu sikap positivis sampai kini dan di
sini masih terasa pengaruhnya, dan ide bahwa manusia mengenal suatu evolusi
melalui stadium pandangan – pandangan teologis yang sarat dengan unsur – unsur
irasional, menjurus kea rah sikap yang diilhami oleh pemikiran positif
nampaknya bagi banyak orang masih tetap merupakan skema yang menyakinkan untuk
menunjukan berlangsungnya kultur. Pada suatu sisi hukum ditinjau dari sudut
pandang positivis ditandai sebagai sebuah fakta sosial, yang dapat
diinterpretasi secara utilitaristis. Pada sisi lain postivisme filosofis umum
mempunyai keterkaitan dengan sebuah postivisme yuridis dalam arti yang mutlak
objek studi ilmu pengetahuan hukum adalah undang – undang postif yang diketahui
dan disistematisasi dalam bentuk kodifikasi – kodifikasi yang terselenggara
dalam abad XIX.[1]
Dengan demikian pakar hukum Belgia Francois Laurent merumuskan hukum itu “(… une
science qui devrait la stabilite’ de sciences exactes, pusqu’elle sur des
textes authentiques)”[2]
Positivisme hukum merupakan bagian yang tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu), dalam definisinya
yang paling tradisonal tentang hakekat hukum, dimaknai sebagai norma – norma
positif dalam sistem perundang – undangan.[3]
Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara
idealisme dan matrealisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan penjelasan seperti
itu mengacu kepada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon
Austin[4]
dan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang
sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme
hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret.
Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak
dapat di maknai sebagai berikut :
1.
Aliran
pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara ekslusif, dan
berakar pada peraturan perundang – undangan yang sedang berlaku saat ini.
2.
Sebagai
sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma
– norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrument
di dalam sebuah Negara.
Menurut
positivisme hukum, norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma hukum pula
bukan dengan non – norma hukum. Norma hukum positive akan diterima sebagai
doktrin yang aksiomatis sepanjang ia mengikuti The rule systematizing logic of legal science yang memuat asas ekslusi, subsumsi, derogasi dan non kontradiksi.[5]
Positivisme
hukum dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Negara
modern. [6]Sebelum
abad ke – 18 pikiran itu sudah hadir, dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran
Negara modern. Jauh sebelum tradisi untuk menuangkan atau menjadikan hukum iru
positif, masyarakat lebih menggunakan apa yang dikenal dengan intercational law atau customary law.
Postivisme hukum
mencoba menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum.
Latar belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan dunia hukum dari segala
sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum itu. Sistem normatif
yang berlaku umum itu dimanifestasikan di dalam kekuasaan Negara untuk
memberlakukan hukum dengan sarana kelengkapannya, yaitu sanksi. Tentang
hubungan hukum dan moral diakui oleh kaum positivisme hukum, bahkan hubungan
kedua hal tersebut sangat penting dalam kehidupan masyarakat meskipun hubungan
itu tidak nampak secara langsung.
Ada yan
berpandangan yang menyatakan bahwa hukum dan moral harus berkaitan satu sama
lain, sebab hukum moral memerintahkan muatan aktual hukum bantuan manusia
(hukum positif).
Hukum moral dan
hukum positif itu tidak berhubungan satu sama lain, sebab masing – masing
memiliki wilayah keberlakuannya sendiri, meskipun sebagai hukum yang lebih
tinggi, hukum moral menentukan validitas keberlakuannya hukum positif. Bila
hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, yang mengatur perbuatan batin
adalah kaidah yang lain yaitu hukum moral atau kaidah kesusilaan. Hukum positif
menyelengarakan kedamaian dan ketenangan hidup manusia di dalam masyarkat,
hukum moral justru berperan menyempurnakan kehidupan manusia tersebut.
Hukum dan
moralitas masing –masing memiliki otonomi ruang lingkup yang ekslusif. Hal ini
berarti validitas sebuah aturan hukum pertama – tama bergantung pada kriteria
hukum. Dalam pandangan positivisme hukum satu – satunya kriteria validitas
sebuah hukum adalah pandangan yang formal.
Positivisme
hukum mendefinisikan hukum sebagai kehendak yaitu perintah yang berasal dari
penguasa yang ditunjukan kepada semua warga Negara masyarakat politik (atau
Negara ) yang merdeka. Perintah ini memuat tujuan dan kekuatan untuk
menggunakan sanksi bagi mereka yang melawan atau melanggarnya.[7]
Positivisme
sosiologis tidak mengakui adanya hukum lain selain dari hukum yang telah
ditentukan atau ditetapkan oleh masyarakat. Norma – norma kritis yang ada
hubungannya dengan kesadaran akan keadilan di dalam hati manusia tidak memiliki
tempat di dalam sistem hukum sosiologis tersebut. Menurut pandangan ini, hukum
diterima dan diselidiki semata – mata sebagai gejala sosial. salah satu aliran
positivisme sosiologis ini adalah aliran pemikiran utilitarianisme yuridis.
Theo Huijbers menjelaskan bahwa dalam positivisme sosiologis, hukum ditanggapi
sebagai terbuka bagi kehidupan masyarkat, yang harus diselidiki melalui metode
– metode ilmiah. Aliran ini mencerminkan hubungan yang erat antara hukum dan
Negara.[8]
Bagi aliran
pemikiran hukum positif analistis hukum adalah perintah dari penguasa Negara.
Hakikat hukum menurut Jhon Austin (1790 – 1859) terletak pada unsur “perintah”
itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup.
Austin menyatakan “Law is a command are
which obliges a person or person … Laws and other commands are said to proceed
from superiors, and to bind or oblige inferiors”
Inti ajaran dari
Jhon Austin kurang lebih adalah sebagai berikut :
a.
Hukum
adalah perintah dari pihak yang berdaulat, sebagaimana dijelaskan oleh Austin, Positive law … is set by sovereign person,
or a sovereign body a person, to members of independent political society
wherein that person or body is sovereign or suprme”
b.
Ilmu
hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan – ketentuan
yang lain secara tegas dapat disebut demikian yaitu diterima tanpa memerhatikan
kebaikan atau keburukannya;
c.
Konsep
kedaulatan tentang Negara mewarnai hampir seluruh ajaran Austin, yang dapat
dibuat penjelasan singkat sebagai berikut :
1.
Kedaulatan
yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut Negara yang
bersifat internal maupun eksternal;
2.
Sifat
eksternal dari kedaulatan Negara tercermin pada hukum iternasional, sedangkan
sifat internal kedaulatan Negara tercermin pada hukum positif.
3.
Pelaksanaan
kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap kedaulatan Negara itu
berbeda – beda sesuai dengan kebutuhan subjeknya;
4.
Ada
perbedaan anatara ketaatan terhdap kedaulatan Negara dengan ketaatan terhadap
ancaman pendorong, misalnya, yang membedakan keduanya adalaha ligitimasi.
Kedaulatan Negara berdasarkan ligitimasi (didasarkan pada undang – undang) yang
berlaku dan di akui secara sah. Pada keataatan terhadap kedaulatan Negara,
subjeknya merasakan “ a moral duty to
obey” (ada kewajiban moral untuk mentatainya).
Austin menjelaskan bahwa pihak yang memiliki
kekuasaan yang menentukan apa yang
diperbolehkan dan yang dilarang, kekuasaan dari lembaga superior itu pula
memaksa orang lain untuk taat, sebagaimana di jelaskan Austin,
“..it is positive law, or
law strictly so called, by the institution of the present sovereign in the
character of politicall superior…The superiority that is styled sovereignity
ana independent political society which sovereignity implies, is distinguished
from other superiority and from other society are in a habbit of obedience or
submission to a determinated and common
superior : let that common superior be certain individual person, or a certain
body of individuals, is not habit of obedience to like superior…
Austin membedakan hukum dalam dua jenis (a) hukum dari
tuhan untuk manusia, dan (b) hukum yang dibuat oleh manusia, yang dapat
dibedakan lagi kedalam (1) hukum yang sebenarnya,dan (2) hukum tidak
sebenarnya. Hukum dalam arti sebenarnya ini disebut hukum positif meliputi
hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara
individu untuk melaksanakan hak – hak yang diberikan individu kepadanya. Hukum
yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari organisasi
atau club tertentu.[9]
Pengaruh
Aliran Positivisme Hukum Jhon Austin Terhadap Perkembangan Hukum Di Indonesia
Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang
terjadi dalam abad kesembilanbelas itu telah menimbulkan semangat serta sikap
yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Kita mengetahui,
bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yaitu ilmu
yang nantinya mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah ummat manusia, yang
semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman “tradisional”. Oleh pikiran
kritis ditunjukkan, betapa hukum tersebut tidak mempunyai dasar atau
merupakan hasil dari penalaran yang palsu (Dias, 1976:451). Penganut paham ini
akan senantiasa menggunakan parameter hukum positif bahkan cenderung
mengagung-agungkan hukum positif untuk melakukan penilaian terhadap
masalah dengan mekanisme hirarki perundang-undangan.
Pada umumnya, orang bisa melihat banyak dari para ahli teori sebelum Austin
mencontohkan sebuah pendekatan yang lebih “berorientasi masyarakat”, hukum yang
timbul dari nilai-nilai masyarakat atau kebutuhan, atau ekspresif dari
masyarakat adat atau moralitas. Sebaliknya, Austin adalah salah satu yang
pertama, dan salah satu yang paling khas, teori bahwa hukum dilihat sebagai
peraturan yang dipaksakan dari atas dari yang berwenang, lebih “top-down”
teori-teori hukum, seperti Austin, lebih cocok dengan lebih terpusat pada
pemerintah (dan teori-teori politik modern tentang pemerintah) dari zaman
modern. (Cotterrell 2003:pp.21-77).
Austin
adalah tokoh yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum
yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum
dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak
membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama.
John Austin
fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin, hukum merupakan
sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas dipisahkan dari moral.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa
yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi
apabila perintah itu dilanggar.
Prinsip
dasar positivisme hukum
adalah yang pertama merupakan suatu tatanan hukum negara berlaku bukan karena
mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan
karena mendapat bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang.
Selanjutnya dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya yang dipandang.
Hukum sebagai hukum hanya ada dengan bentuk formalnya.
Isi material
hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan
hukum, karena isi merupakan variabel yang bersifat sewenang-wenangan. Isi hukum
tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari
ilmu pengetahuan lain
Dengan
penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang
tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan) akan tercapai
kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat.
Aliran ini
mendekonstruksi kosep-konsep hukum aliran hukum alam, dari konsepnya yang
semula metafisik (hukum sebagai ius atau
asas-asas keadilan yang abstrak) kekonsepnya yang lebih positif (hukum sebagai lege
atau aturan perundang-undangan), oleh sebab itu harus dirumuskan secara
jelas dan pasti.
Secara epistimologi kata “positif” diturunkan dari bahasa Latin ponere-posui-positus
yang berati meletakan. Kata “meletakan” menunjukkan bahwa dalam positivisme
adalah sesuatu yang sudah tersaji (given). Dalam bidang hukum, sesuatu
yang tersaji itu adalah sumber hukum positif, yang sudah diletakkan oleh
penguasa politik.
Pemikiran postivisme dapat dibagi menjadi dua Postivisme Klasik tokohnya
antara lain John Austin dan Hans Kelsen dan Neopostivisme tokohnya antara lain
HLA Hart, Lon Fuller dan Dworkin. Dalam tulisan ini tidak dibahas seluruh tokoh
Postivisme, akan tetapi hanya mencoba John Austin. Tulisan ini mencoba memahami
secara sederhana pemikiran John Austin yakni “ Analitical Jurisprudence”.
Menurut Austin, filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan
membedakan keduanya, akan menimbulkan kekaburan baik intelektual maupun moral.
Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yakni yurisprudensi
analitis dan yurisprudensi normatif.
1. Yurisprudensi analitis (analytical jurisprudence), berkaitan dengan
tugas filsafat hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum
dan struktur hukum bagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum,
tanggungjawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya adalah contoh
pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai
titik tolak dalam menganalis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.
2. Yurisprudensi normatif (normative jurisprudence) berusaha
mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum
sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan antara lain
mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib mentaati hukum, manakah basis
validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini
berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.
Pemikiran Austin bertolak dari kenyataan yang terjadi di Negara Indonesia bahwa terdapat suatu kekuasaan yang
memberikan perintah-perintah, dan ada orang yang pada umunya mentaati
perintah-perintah tersebut. Apabila meraka tidak mematuhi perintah maka dijatuhi sanksi. Di Indonesia menitik beratkan terhadap keberadaan sanksi, disini sangatlah menjadi penting karena Austin tidak mempermasalahkan
dalam kenyataannya mereka patuh karena takut, karena rasa hormat atau karena
dipaksa. Menurut Austin, keberadaan sanksi di Indonesia adalah:
1.
Sanksi atau kepatuhan yang dipaksakan “the
evil” yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi.
2.
Sesuatu yang tidak enak yang tak dapat dipisahkan dari satu perintah.
3.
Suatu intimidasi dari yang berkehendak
yang berupa kata-kata atau tanda-tanda.
Di Indonesia untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur-unsur
yakni: (1) Adanya seorang penguasa (souvereighnity), (2) Perintah (command),
(3) Kewajiban Mentaatinya (duty), (4) sanksi bagi mereka yang tidak taat
(sanction).
Kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi
(the supreme political authority), yang berfungsi mengatur perilaku
anggota masyarakat. Adapaun yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau
juga sekelompok individu.
Syaratnya: (1)
individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang
dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok
individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi
sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto
dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada
siapa pun.[1]
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan
dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang
tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang
sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup
dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka
kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut
adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut.
Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan
ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi
Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung
hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki
kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan
perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan
masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan
tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat
cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan
dengan masyarakat.
2. Peraturan
perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum
atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum
(Bagir Manan. 1992:8).
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan
Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan
pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan
Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan
menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada
pada masa itu.
Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat
menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi
kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum
masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan
kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan
kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan
kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada
posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa tidak
dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan
perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari
ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang
telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana
perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun
untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan
disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi
syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat
khususnya perasaan keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari
Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang
dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti
ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan
perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum
ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist –
instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical
system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada
masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan
tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak
mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat
tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap
hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan
dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan
tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam
ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian
diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung
pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban, kesusilaan dan kepatutan.
Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana
mengusahakan agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi
ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang
sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup,
walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang
hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat,
meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh
penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari
hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya
jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak
sebenarnya.
Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin
tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk
menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi
tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama
manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu
dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum.
Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan
manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh
ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran
positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan
mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari
hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah
dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan
bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka
ataupun mau dan tidak mau.
Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan
sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang
otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah
sekali.[2]
Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa John Austin telah memberikan kontribusi
yang sangat besar terhadap pengetahuan tentang teori hukum maupun pengaruhnya
terhadap pengadilan di beberapa Negara.
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif
yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan
dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa
disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekan.”
(Bodenheimer, 1974:94). Jadi menurut Austin penguasa/pembuat
undang-undang (kedaulatan) membuat hukum(hukum positif) yang merupakan perintah
yang wajib dilaksanakan oleh warga negara, apabila tidak maka akan mendapatkan
sanksi.
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa aliran hukum positif yang analitis mempunyai suatu kekuatan
yakni aliran ini banyak dianut oleh para pemikir hukum di Barat di abad ke 19
dan awal abad ke-20. keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian
hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya.
Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah
berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif
yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik
kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung
membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan
absolut. Hal ini disebabkan karena adanya empat unsur penting dari ajaran John
Austin untuk dapat dinamakan hukum, yang di dalamnya terdiri dari perintah,
sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sehingga dengan empat unsur penting dari
hukum tersebut membuat para penguasa yang mebentuk ketentuan hukum dan
undang-undang menjadi suatu keputusan yang mutlak harus dilaksanakan tanpa
memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memberikan masukan-masukan yang
berkembang dan tumbuh dari dalam masyarakatnya sendiri. Semua ketentuan hukum
dan undang-undang yang terbentuk menjadi suatu perintah dan kewajiban yang
harus dijalankan dan ditaati, kemudian mempunyai sanksi yang mengikat para
pelaksana hukum menjadi secara langsung terikat karenanya.
Kemudian
yang terakhir bahwa semua pembuat ketentuan hukum dan undang-undang yang dalam
hal ini adalah pihak penguasa hanya dapat terlaksana jika pihak penguasa
sebagai pihak yang memerintah tersebut merupakan pihak yang berdaulat. Dari
ketentuan tersebut dapat dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun pihak
pemerintah yang berdaulat sebagai pembentuk ketentuan hukum dan undang-undang
sebetulnya tidak perlu dipertegas lagi, karena jelas suatu Negara yang telah
memiliki pemeritahan sendiri, rakyat sendiri dan wilayah sendiri tentunya sudah
merupakan sesuatu (dalam hal ini dapat disebut Negara) yang dianggap berdaulat
atau memiliki kedaulatan sendiri, dan juga sebenarnya dengan telah adanya
kedaulatan yang merupakan bagian dari suatu negara yang tidak dapat dipisahkan,
maka kedaulatan sudah merupakan bagian dari bentuk dan sistem politik
pemerintahan dalam negara itu sendiri.
Saran
Seyogyanya hukum di Indonesia tidak harus di
terapkan ajaran hukum menurut Austin adalah perintah – hukum dalam
masyarakat adalah perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan,
yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority),
yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki
kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1)
individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi
oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang
berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum
menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto dipatuhi
oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa
pun. Dengan demikian, Austin
mempertanggungjawabkan validitas hukum dengan merujuk pada asal usul
atau sumber yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk
menciptakan hukum.
Di lain sisi hukum tidak hanya mengaakan hanya kepastian hukum melainkan
ada beberapa hal tujuan hukum di anataranya meliputi keadilan dan kemanfaatan
selain dari kepastian hukum (positivistik), karena nilai – nilai itu sangat
penting agar terciptanya penegakan hukum yang di idam – idamkan di Negara
Indonesia sebagaimana tertuang dalam tujuan hukum. Dengan demikian, apabila
diterapkan secara keterkaitan satu sama lain atu salin berkoheren maka hukum di
Indonesia akan tercipta dengan baik.
[1] Lili Rasydi dan I.B.
Wyasa Putera, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mmandar Maju,
2003), hlm. 119.
[3] Darji
Darmodihardjo dan Shidarta berpendapat, positivisme hukum (aliran hukum
positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum yag seharusnya, antara das Sein dan das sollen), Lihat Darji Darmohardjo dan Shidarta , Pokok – pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004, halaman 113.
[4] Jhon
Austin dapat disebut sebagai salah satu tokoh penganut aliaran positivisme
hukum yang inti pemikirannya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hukum
adalah perintah pihak yang berdaulat, atau dalam bahasa aslinya “Law .. was the Command of sovereign, Bagi
Austin “No, Law, no sovereign no law.
b. Ilmu
hukum berkaitn dengan hukum positif atau dengan ketentuan lain yang secar tegas
dapat disebut demikian, yang diterima tanpa memerhatikan kebaikan atau
keburukannya;
c.
Konsep tentan kedaulatan Negara (doctrine of sovereignity) mewarnai hampir seluruhan ajaran Austin.
Lihat dalam Achmad Ali , Menguak Tabir
Hukum Satu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta, 2002,
halaman 266-267.
[6] Satjipto
Rahardjo, Menggugat Pemikiran Hukum
Positivistik di Era Reformasi, Makalah pada Seminar Nasioanl, Program
Doktor Undip Semarang, Sabtu 22 Juli 2000 halaman 4.
[7] Anthon F.
Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik
(Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Di Indoensia), Genta Publhising,
2010, halaman 77 s.d 80.
[8] Theo
Huijbers menyebutkan, positivisme sosiologis hukum dipandang sebagai bagian
kehidupan masyarakat, Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah, Jakarta Halaman 33. Namun harus diberikan catatan bahwa konsep
positivisme sosiologis yang dimaksud hukum gejala sosial, menunjuk pula kepada
apa yang disebut sebagai fakta – fakta empiric, sebagaimana ditegaskan Comte
dan Durkheim, bukan makna – makna simbolik (simbolik
interaksionis).
[9] Anthon F.
Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik
(Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Di Indoensia),Op.Chit, halaman 85
s.d 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar